"O, kalau Pak Bardan dia umum saja, Pak," kata Pak Jumardin menganggap Abdul Muis sudah mengetahui doa pada umum yang ia maksudkan.Â
"Maksud doa umum gimana, Pak?" tanya Abdul Muis, agak bingung.
"Ya, doa selamat dunia dan akhirat saja. Keluarganya minta diberkahi Allah Swt, sehat, umur panjang dan rejeki lancar gitu aja, Pak," ujar Pak Jumardin menjelaskan. Abdul Muis manggut-manggut seolah mengerti.
Abdul Muis kali itu mencatat dalam ingatannya tentang doa umum sepeti yang dimaksud Pak Jumardin, untuk malam nanti akan ia tanyakan pada isterinya.
Shalat Jumat usai. Bedug ashar dan magrib bertalu. Waktu Isyak pun berlalu. Malam kian menjelang pagi. Abdul Muis masih terduduk di depan rumahnya. Sebuah catatan kiriman Suroh Al-Fatihah masih ia baca dengan seksama.
Deretan huruf dan angka-angka yang dibaca hari Jumat siang tadi, ia eja satu persatu. Sesaat, wajah Abdul Muis kemudian berubah agak sinis. Sesaat geleng-geleng kepala. Seperti ada yang mengganjal di hati dan tempurung kepalanya.
"Demikian murahnya keselamatan perjalanan hanya lima puluh ribu, seratus ribu! Minta doa sehat, setelah operasi ratusan juta hanya dengan lima ratus ribu? Doa minta berkah dunia dan akhirat hanya lima puluh ribu? Ck...ck...ck..," sekali lagi Abdul Muis menggelengkan kepala.
"Memang Allah dianggap apa? Bulu, kulit, darah daging, tulang dan urat syaraf, sudah dikaruniakan Allah sedemikian indah dengan gratis. Tapi minta doa selamat dunia akhirat, hanya seharga gorengan pinggir jalan! Hhh...!" Abdul Muis kesal dan membuang lembaran kertas itu ke tong sampah.**
Pkl.03.23. Bukit Lama - Palembang, 2 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H