Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Tinggal di Palembang

Penulis adalah Guru Ngaji di Rumah Tahfidz Rahmat Palembang, dan Penulis Buku "Revolusi Hati untuk Negeri" bekerja sebagai Jurnalis di KabarSumatera.com Palembang. (www.kabarsumatera.com) dan mengelola situs sastra : www.dangausastra.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Gorengan Dunia Akhirat

7 Agustus 2018   01:51 Diperbarui: 7 Agustus 2018   20:24 1253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: tribunnews.com

Ada sepuluh lembar lima ribuan yang kemudian jumlahnya dicatat di buku Kas. "Lima puluh ribu, Pak," ujar Abdul Muis meyakinkan Pak Komar.

"Silakan dimulai, Pak Ustadz," Pak Komar menyerahkan micropon kepada Abdul Muis. Tak pernah terbayang bila kali itu Abdul Muis didaulat memimpin doa. Ini benar-benar pengalaman pertama diminta mendoakan jemaah.

Spontan desir darah kian deras. Napas Abdul Muis sesaat tak beraturan. Bagaimana mungkin akan memimpin doa, sementara tradisi memimpin doa di tengah jemaah Jumat belum pernah dilihatnya. Tapi Abdul Muis tak kurang akal. Ia bisa menguasai diri, dan spontan berdiri.

"Jemaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah. Siang ini ada salah satu jemaah kita yang minta didoakan oleh sekalian jemaah. Oleh sebab itu, agar lebih afdhol doanya, saya mohon kepada sesepuh kita, Yang kami hormati Bapak Haji Ujang Maulana untuk memimpin doa," ujar Abdul Muis yang kemudian menyerahkan micropon kepada yang bersangkutan.

Siang itu, trik Abdul Muis telah menyelamtakan dirinya dari rasa malu karena tidak mengetahui bagaimana cara mendoakan jemaah masjid yang mengirim sumbangan di Hari Jumat. Siang itu, ia sedang belajar dari Pak Ujang tentang bagaimana memimpin doa bagi jemaah yang meminta kepada jemaah masjid.

Hanya cukup sekali, Abbdul Muis sudah mengetahui tradisi mendoakan warga saat menjelag Shalat Jumat. Selanjutnya, Abdul Muis beberapa kali harus belajar dari Rohimah, isterinya yang lahir dari keluarga kiai.

"Makanya belajar kirim Suroh Al-Fatihah dan berdoa bersama. Jangan cuma ceramah dan pengajian. Ini ilmu kemasyarakatan yang wajib abang bisa!" ujar Rohimah yang merasa kesal, karena suaminya selalu menolak kirim Suroh Al-Fatihah dan doa bersama.

"Doa itu kan sendiri-sendiri. Permintaannya juga berbeda-beda antara satu sama lain. Mana bisalah doanya berbeda, terus kita mengamini! Itu kan tidak ada perintah nabi doa keras-keras. Kata Nabi berdoalah dengan lemah lembut. Ya, cukup dalam hati dan dengan kerendahatian. Nggak perlu bersama-sama kayak di masjid itu keras-keras! Tidak ada nabi mengajarkan begitu! Kalau kata kami, itu Bid'ah!" Abdul Muis masih membantah mengirim Suroh Al-Fatihah dan doa bersama.

"Abang ini, apa-apa bid'ah, apa-apa bid'ah! Kalau semua bid'ah, di masjid kalau adzan nggak usah pakai pengeras suara. Memang dulu waktu zaman nabi apa ada micropon dan pengeras suara?! Apa itu juga bid'ah?!" Rohimah memancing perdebatan malam itu.

"Ini urusan doa kok malah merembet ke micropon segala?!" Abdul Muis tak mau kalah.

"Ya, katanya yang tidak diajarkan Nabi semua bid'ah? Kalau gitu, jemaah haji naik peswat juga bid'ah?! Kalau bid'ah ya suruh aja jemaah haji itu renang atau naik onta!" Rohimah menaikkan tensi debat malam itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun