Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Tinggal di Palembang

Penulis adalah Guru Ngaji di Rumah Tahfidz Rahmat Palembang, dan Penulis Buku "Revolusi Hati untuk Negeri" bekerja sebagai Jurnalis di KabarSumatera.com Palembang. (www.kabarsumatera.com) dan mengelola situs sastra : www.dangausastra.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mencari Figur Pemimpin dari Dalam Masjid

3 Oktober 2016   15:45 Diperbarui: 3 Oktober 2016   15:52 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Kompas.com

Suatu ketika, saya sedang berjalan-jalan pagi bersama rekan-rekan saya. Tibalah kami di sebuah jembatan. Diatas jembatan, sudah tentu kami sempat melihat ke permukaan air—tempat kami berlalu. “Banyak sampah begitu, dapat adipura,” kata Uki teman saya. “Yang diberi adipura itu, kepedulian pemimpinnya terhadap di kebersihan kota. Soal sampah, ya tetap sampah. Mungkin waktu adipura itu diberikan, si pemberi tidak melihat dulu ke jembatan ini”, Kata saya mencoba menjelaskan.

“Kalau pemimpinnya peduli terhadap kebersihan, tidak mungkin sampah akan menumpuk di sungai ini”, Uki membantah.

“Ki, soal bersih-bersih itu, tanggungjawab bersama,  sejak dari Ketua RT, masyarakat, sampai ke Presiden. Sebab, kebersihan itu bagian dari kebutuhan kita”. Kemudian, kami berlalu dari atas jembatan.

**

Itulah realitas masyarakat kita. Berbagai persoalan, dari masalah sampah, sampai kebijakan politik, identik menjadi tugas pemimpin secara struktural; RT, Kades, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri sampai ke Presiden.  Selain itu, ini gambaran, bagaimana masyarakat juga masih memaknakan pemimpin hanya pada pemimpin struktural, bukan pada sebuah tanggungjawab masing-masing kedirian manusia. Tentunya, ini juga bukan kesalahan masyarakat secara utuh, tetapi juga bukan “kebenaran” para pemegang kebijakan. (pemimpin struktural).

Dalam persoalan ini, ada komunikasi yang terputus. Pemahaman kita terhadap “pemimpin” belum sama. Mungkin, diantara anda juga masih berpikiran, pemimpin identik dengan para pemimpin yang ada di jabatan struktural. (Sejak dari ketua RT sampai ke Presiden). Padahal, jika kita menyimak hadits Rasul, semua kita adalah pemimpin. Kullukum Raa’in, Wakullukum Masulun ‘An Ro’iyyatihi (Setiap kita adalah Pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya).

Hadits ini, merupakan “penguat” status ke-khalifahan manusia—sekaligus untuk membangun kesadaran kembali, untuk menyamakan pemahaman terhadap pertanyaan, siapa pemimpin itu? Dari hadist itu jelas. Pemimpin bukan hanya para pemegang jabatan struktural pemerintahan, perusahaan, atau dimana saja lembaganya. Namun lebih luas lagi. Kita adalah semua pemimpin! Sekali lagi, kita semua adalah pemimpin! Termasuk remaja juga menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri.

Komponen kata, yang kemudian menyertai judul tulisan ini adalah “Masjid”. Dalama judul diatas, masjid saya tulis dengan tanda petik (“) di depan dan di belakang. Tanda itu bukan tidak ada makna tentunya. Saya ingin mengajak kita semua, untuk memahami masjid, bukan sekedar bangunan gedung yang megah dengan kubbah diatasnya. Lalu di dinding tertulis huruf-huruf arab dan sebagainya.

Tetapi lebih dari itu, masjid adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang membawa niat baik. Dari dalam Masjid, angin kebaikan dan kedamaian itu harus senantiasa ditebarkan ke setiap ruang-ruang kosong, baik yang ada di perdusunan, perkotaan, gedung mewah, atau di ruang-ruang kosong dalam kedirian kita.  Sebab, tidak jarang, tanpa disengaja, kita selalu mengisi “kota amal” di dalam masjid, berkumpul setiap jumat,  atau bahkan menjadi penceramah, tetapi “semangat masjid” itu, tidak atau belum mampu menembus—untuk kemudian mengisi denyut dan urat nadi setiap kita.

Akibatnya, sekalipun kita menjadi sosok yang selalu ada di dalam masjid, tetapi dalam menjalani hidup, kita selalu menjadi orang yang jauh dari “masjid”. Hidup selalu “gersang”, terjebak dengan budaya konsumerisme, hedonisme yang lebih banyak meninggalkan nilai-nilai “masjid” itu sendiri.  Untuk itu, saya mengajak   kita semua, untuk senantiasa menjadikan “masjid” sebagai “penyedap rasa” dalam hidup, sekaligus—menjadi tempat pijakan bagaimana kita menjadi pemimpin di bumi ini.

 Niat baik

Jauh sebelum kita sampai di masjid, dari rumah, kita harus lebih menanamkan niat baik, gerangan apa yang akan diperbuat dimasjid. Sebab, tempat tujuan boleh saja “suci” atau tapi niat belum tentu baik. Ada saja, seseorang ke masjid hanya karena “enak dan tidak enak”, dengan para petinggi di perusahaan, atau karena mempunyai jabatan struktural di masjid, sehingga harus ada di masjid. Atau karena tidak enak dengan Mertua dan anak, yang kebetulan, lebih rajin ke Masjid.

Dengan keharusan kita menanamkan niat baik sebelum ke masjid, itu sama halnya, dalam setiap putaran hidup, yang akan menyelamatkan kita di setiap tempat adalah niat baik. Insya Allah, kemanapun anda berada, jika “niat baik” yang selalu ada dalam kedirian kita, mudah-mudahan  keselamatan akan bersama anda.

Memupuk rasa hormat

Setelah kita sampai di masjid, setiap muslim disunnahkan untuk melakukan sholat tahiyatul masjid (shalat penghormatan)–kepada “rumah Allah”. Dalam keseharian, shalat tahiyatul masjid identik dengan “penambahan pahala”, diluar shalat wajib.  Bahkan dibenak kita, sering memposisikan  shalat tahiyatul masjid,  sebagai sarana “pencuci dosa” kecil, yang mungkin hari itu secara sengaja atau tidak telah kita lakukan.

Terlepas dengan kebesaran Allah Swt, yang mungkin juga memberi nilai terhadap shalat tahiyatul masjid, tapi esensi dari shalat tahiyatul masjid bukan sekedar ibadah ritual belaka. Lebih dari itu, shalat tahiyatul masjid mengajarkan ibadah sosial-untuk kemudian “wajib”  kita praktik-kan dalam keseharian. Paling tidak, shalat tahiyatul masjid ini, bisa membangkitkan sikap hormat kita kepada siapa saja, tanpa memandang pangkat dan jabatan.

Apakah dia gubernur, bupati, atau bahkan seorang tukang becak sekalipun—semua harus tetap dihormati. Sebab, antara kita, menurut Allah Swt, tidak ada beda, yang membedakan kita, bukan status struktural kemanusiaan, tetapi hanya nilai-nilai taqwa. Tentu saja, taqwa dalam artian bukan sekedar menghambakan diri dengan Allah Swt melalui ibadah ritual, tetapi lebih dari itu, juga harus “mengabdi” pada Allah melalui  ibadah sosial. Termasuk  memupuk rasa hormat antar sesama, juga bagian upaya kita untuk menjadi orang yang bertaqwa.

Membangun kedamaian

Di setiap masjid, selalu ada jamaah. Ada imam dan ada makmum. Ada yang di depan ada yang dibelakang. Semua berjalan dengan damai. Rangakaian ritualitas itu, berjalan secara sakral dan kultural. Sekalipun, secara struktural, imam merupakan “pemimpin” dari makmum, tetapi  memunculkan imam—sebagai salah pimpinan shalat, tanpa ada sikut-menyikut dan saling jegal.

Realitas ini, sudah tentu jauh berbeda dengan dinamika politik—saat menjelang suksesi pimpinan di negeri ini. Sejak dari bagi-bagi uang, kaos, stiker, obral janji, sampai permintaan perlindungan dan dukungan dari kalangan preman-pun harus dilakukan. Ini pertanda, masjid yang selama ini disumbang, diberi bantuan material dengan beragam jenisnya, tidak mampu “menyusup” ke relung hati di setiap kita—tidak mampu menggerakkan “semangat masjid” dalam kedirian kita. Bagi kita, kesepahaman dan kesepakatan memposisikan imam di masjid tanpa ada saling iri dan dengki, sudah seharusnya mewujud dalam aktifitas batin dan fisik kita.

Membudayakan daya kritis

Kesalahan dan ke-alpaan, bisa saja terjadi di dalam masjid.  Apakah dilakukan imam atau makmum. Tentunya, salah dan lupa ini, tidak lepas dari relatifitas dan keterbatasan manusia sebagai hamba Allah Swt. Namun, dari  persoalan ini, kita dapat mengambil satu pelajaran (i’tibar) untuk kemudian diwujudkan dalam keseharian kita.

Mungkin, kita pernah melihat atau menemui seorang imam yang salah, lupa atau bahkan batal dalam shalat. Bagi imam yang merasa batal, diwajibkan atas mereka agar segera ke-pinggir, setelah sebelumnya   memberi “isyarat tanpa kata” kepada makmum–menandakan imam sudah batal shalat. Tanpa ada diskusi panjang, makmum yang berada di belakangnya imam, wajib menggantikan, tanpa menyusun lebih dulu jamaah baru. Tugas makmum yang kemudian menjadi imam melanjutkan jamaah sampai shalat selesai.

Sementara, jika imam hanya salah atau lupa membaca ayat, maka makmum wajib memberi teguran, dengan membenarkan ayat yang dibaca, atau mengucapkan “subhanallah”, jika imam lupa jumlah rakaat.

Dalam shalat, yang notabene  adalah ibadah ritual  kepada Allah Swt, tetap saja ada peluang makmum untuk melakukan kritik terhadap imam. Ini artinya, dalam tatanan kenegaraan kita, di wilayah manapun–sejak tingkat keluarga, RT, RW—sampai di level presiden, “makmum”—yang disimbolkan dengan rakyat, berhak untuk mengkritik kesalahan imam (baca ; pemimpin).

Dari dalam masjid, kita kembali mendapat satu “petuah” lagi, tentang bagaimana kita harus senantiasa menerima kritik dan saran, darimanapun asalnya. Jika dalam ibadah ritual kepada Allah Swt saja, tetap mengedepankan kritik dari makmum, apatah lagi kita dalam keseharian.  Ini merupakan evaluasi bagi kita semua, sejak para pemimpin struktural, atau bagi siapa saja, agar senantiasa menerima kritik. Jika anda seorang bapak dan Ibu, maka sudah harus siap menerima kritik dan saran dari putra-putri anda.

Jika anda seorang pejabat, sudah seharusnya menyiapkan diri sebelum menjadi pejabat—untuk menerima kritik dan saran sepedas apapun bentuknya. Jika anda remaja, anda juga harus siap menerima kritik dari teman-teman sebaya. Tetapi, jika kita masih menjadi orang yang menolak kritik dan saran dari lingkungannya, sama saja kita menjadi manusia anti kritik, menjadi manusia yang tidak ingin maju, sekaligus kita sudah berniat untuk menjadi “Tuhan”, sebagai sumber kebenaran.

Jujur dan sadar ruang

Dalam kedirian manusia kebanyakan, posisi selalu menjadi pembenar terhadap semua sikap dan kebijakan yang dikeluarkan.  Seorang Bapak dan Ibu, sering merasa paling benar dari pada putra-putrinya. Sehingga, jika dibelakang hari ada protes dari putra-putrinya, yang muncul kemudian kemarahan. Ini sama dengan potret kehidupan yang selama ini kita lihat.

Misalnya, ada sebuah perda atau peraturan, apapun bentuknya, ternyata dikemudian hari mengundang protes dari rakyat atau karyawan, yang muncul kemudian bukan kompromi untuk mencari jalan keluar, tetapi sebaliknya; pemegang kebijakan justeru melakukan tindakan represif—yang tidak manusiawi. Kadang dengan kekerasan aparat, dengan PHK atau dengan tindakan lain, yang lebih menindas.

Padahal, kalau mau jujur, rakyat adalah representasi dari  sistem pemerintahan, perusahaan, atau lembaga apapun namanya. Rakyat ada, maka Pemimpin ada.  Bukan terbalik. Pemimpin ada, maka rakyat ada. Tapi kesan yang kemudian muncul, menjadi terbalik. Rakyat selalu diposisikan sebagai “pengemis”, yang setiap saat harus meminta-minta kepada atasan. Tentu saja, kenyataan ini sangat jauh berbeda dengan filosfi dari nilai-nilai “ke-masjid-an” yang selama ini mungkin pernah kita singgahi.

Oleh sebab itu, menjadi pemimpin dalam shalat jamaah, atau dalam konteks pemerintahan, imam bisa saja batal, atau salah dalam memutuskan sesuatu. Dalam posisi “batal” itu, sudah menjadi kewajiban bagi imam,(baca; pemimpin)  untuk segera meninggalkan  “jabatannya” sebagai pemimpin shalat—untuk kemudian mempersilakan makmum lain yang menggantikan, atau minimal, segera meng-evaluasi diri.

Ini artinya, sosok imam (baca; pemimpin) sekalipun sudah dilegitimasi oleh makmum (baca ; rakyat) bukan serta merta menjadi pembenar segala kebijakan. Demikian juga dalam sistem pemerintahan di negeri ini. Inilah yang saya sebut sebagai sadar ruang. Sadar dengan relatifitas dan keterbatasan sebagai khalifah di bumi.

Berpijak dari sikap imam yang batal diatas, mengakui kesalahan atau “kebatalan” tidak harus menunggu ada aksi dari “makmum”. Justeru “imam” sendirilah yang harus lebih dulu mengakuinya. Tentu saja, ini menjadi bagian pelajaran dalam keseharian kita, agar kita senantiasa jujur terhadap diri sendiri.

Mengakui kesalahan, memang bukan hal yang mudah. Tetapi, mengakui kesalahan dan kekurangan diri, bukanlah kehinaan. Justeru sebaliknya, merasa paling benar dan tidak bersedia mengakui kesalahan dan kekurangan diri, sama saja dengan mendzalimi  diri sendiri. Maka yang penting, bagi kita sebagai para pemimpin kedirian kita adalah sadar ruang, bukan hanya sekedar  “sadar uang”.

Membangun kakuatan

Setelah shalat jamaah,  sudah menjadi tradisi dikalangan umat muslim, selalu bersalam-salaman antara satu dan lainnya. Imam dengan makmum, atau antara makmum dengan makmum lainnya. Bersalaman, secara fisik adalah persentuhan antar kulit dan kulit. Tapi lebih dari itu, dengan bersalaman, minimal dapat membuat sentuhan batin antar sesama, untuk memper-erat silaturahmi. Sebab dengan silaturahmi ini, makmum dan imam akan saling menguatkan, bukan sebaliknya—saling menjatuhkan.

Bersalaman, juga dimaknakan sebagai simbol, bagaimana antara makmum dan imam tidak ada jarak yang membuat mereka tidak bisa saling tegur sapa. Seorang imam, harus senantasa bertemu dengan makmum, bukan saja secara batin, tetapi juga bertemu secara fisik, sebagaimana imam dan makmum saling bersalaman secara fisik. Itulah simbol, bagaimana seorang pemimpin ideal yang mudah-mudahan ditunggu oleh banyak makmum. Ini berbeda jauh dengan realitas kita.

Seperti yang sering kita lihat, seorang pimpinan struktural di sebuah pemerintahan, perusahaan dan lembaga apapun namanya, tidak jarang “lupa” dengan rakyatnya, setelah duduk diatas kursi singgasana. Ironisnya, rakyat kemudian juga tidak kenal dengan nama dan wajah pemimpinnya. Kedepan, inilah yang harus dihindari. Maka, imam dan makmum harus tetap “bersalam-salaman”.

Upaya membangun kekuatan ummat ini, juga tergambar dalam barisan shalat. Sebelum shalat dimulai, imam selalu memberi “komando” kepada makmum, untuk merapatkan barisan (shaf).  Secara filosofis, ini gambaran pentingnya persatuan dan menguatkan barisan. Tujuannya, sebagai “benteng” umat muslim dalam mengantisipasi kemungkinan serangan lawan, baik yang bersifat internal atau eksternal, atau yang sifatnya fisik dan idelogis.

Demikian pula, seorang pemimpin, harus  mampu mempersatukan ummat yang notabene memiliki karakter yang berbeda-beda (plural) .  Dengan sendirinya, seorang imam (baca; pemimpin) juga harus memiliki kemampuan “lebih” untuk membaca dan menyerap kepentingan para makmum dengan bermacam watak dan profesinya, baik secara psikologis atau secara fisik.

Masih banyak lagi nilai-nilai filosofi dari dalam masjid, dan bagaimana kita semua harus belajar mencari—sekaligus menjadi figur pemimpin yang memiliki “semangat masjid”. Tetapi, diharapkan, yang sedikit ini dapat memberi sedikit pencerdasan kita semua, untuk menata hidup ini dengan semangat masjid. Bangunan Masjid, boleh saja jauh dari rumah kita, tapi “mendirikan masjid” dalam setiap batin dan rohani kita, menjadi tanggungjawab kita semua. Amin ya robbal ‘alamiin. (*)

Tanjung Enim – 2004

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun