Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Tinggal di Palembang

Penulis adalah Guru Ngaji di Rumah Tahfidz Rahmat Palembang, dan Penulis Buku "Revolusi Hati untuk Negeri" bekerja sebagai Jurnalis di KabarSumatera.com Palembang. (www.kabarsumatera.com) dan mengelola situs sastra : www.dangausastra.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mencari Figur Pemimpin dari Dalam Masjid

3 Oktober 2016   15:45 Diperbarui: 3 Oktober 2016   15:52 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Kompas.com

Sementara, jika imam hanya salah atau lupa membaca ayat, maka makmum wajib memberi teguran, dengan membenarkan ayat yang dibaca, atau mengucapkan “subhanallah”, jika imam lupa jumlah rakaat.

Dalam shalat, yang notabene  adalah ibadah ritual  kepada Allah Swt, tetap saja ada peluang makmum untuk melakukan kritik terhadap imam. Ini artinya, dalam tatanan kenegaraan kita, di wilayah manapun–sejak tingkat keluarga, RT, RW—sampai di level presiden, “makmum”—yang disimbolkan dengan rakyat, berhak untuk mengkritik kesalahan imam (baca ; pemimpin).

Dari dalam masjid, kita kembali mendapat satu “petuah” lagi, tentang bagaimana kita harus senantiasa menerima kritik dan saran, darimanapun asalnya. Jika dalam ibadah ritual kepada Allah Swt saja, tetap mengedepankan kritik dari makmum, apatah lagi kita dalam keseharian.  Ini merupakan evaluasi bagi kita semua, sejak para pemimpin struktural, atau bagi siapa saja, agar senantiasa menerima kritik. Jika anda seorang bapak dan Ibu, maka sudah harus siap menerima kritik dan saran dari putra-putri anda.

Jika anda seorang pejabat, sudah seharusnya menyiapkan diri sebelum menjadi pejabat—untuk menerima kritik dan saran sepedas apapun bentuknya. Jika anda remaja, anda juga harus siap menerima kritik dari teman-teman sebaya. Tetapi, jika kita masih menjadi orang yang menolak kritik dan saran dari lingkungannya, sama saja kita menjadi manusia anti kritik, menjadi manusia yang tidak ingin maju, sekaligus kita sudah berniat untuk menjadi “Tuhan”, sebagai sumber kebenaran.

Jujur dan sadar ruang

Dalam kedirian manusia kebanyakan, posisi selalu menjadi pembenar terhadap semua sikap dan kebijakan yang dikeluarkan.  Seorang Bapak dan Ibu, sering merasa paling benar dari pada putra-putrinya. Sehingga, jika dibelakang hari ada protes dari putra-putrinya, yang muncul kemudian kemarahan. Ini sama dengan potret kehidupan yang selama ini kita lihat.

Misalnya, ada sebuah perda atau peraturan, apapun bentuknya, ternyata dikemudian hari mengundang protes dari rakyat atau karyawan, yang muncul kemudian bukan kompromi untuk mencari jalan keluar, tetapi sebaliknya; pemegang kebijakan justeru melakukan tindakan represif—yang tidak manusiawi. Kadang dengan kekerasan aparat, dengan PHK atau dengan tindakan lain, yang lebih menindas.

Padahal, kalau mau jujur, rakyat adalah representasi dari  sistem pemerintahan, perusahaan, atau lembaga apapun namanya. Rakyat ada, maka Pemimpin ada.  Bukan terbalik. Pemimpin ada, maka rakyat ada. Tapi kesan yang kemudian muncul, menjadi terbalik. Rakyat selalu diposisikan sebagai “pengemis”, yang setiap saat harus meminta-minta kepada atasan. Tentu saja, kenyataan ini sangat jauh berbeda dengan filosfi dari nilai-nilai “ke-masjid-an” yang selama ini mungkin pernah kita singgahi.

Oleh sebab itu, menjadi pemimpin dalam shalat jamaah, atau dalam konteks pemerintahan, imam bisa saja batal, atau salah dalam memutuskan sesuatu. Dalam posisi “batal” itu, sudah menjadi kewajiban bagi imam,(baca; pemimpin)  untuk segera meninggalkan  “jabatannya” sebagai pemimpin shalat—untuk kemudian mempersilakan makmum lain yang menggantikan, atau minimal, segera meng-evaluasi diri.

Ini artinya, sosok imam (baca; pemimpin) sekalipun sudah dilegitimasi oleh makmum (baca ; rakyat) bukan serta merta menjadi pembenar segala kebijakan. Demikian juga dalam sistem pemerintahan di negeri ini. Inilah yang saya sebut sebagai sadar ruang. Sadar dengan relatifitas dan keterbatasan sebagai khalifah di bumi.

Berpijak dari sikap imam yang batal diatas, mengakui kesalahan atau “kebatalan” tidak harus menunggu ada aksi dari “makmum”. Justeru “imam” sendirilah yang harus lebih dulu mengakuinya. Tentu saja, ini menjadi bagian pelajaran dalam keseharian kita, agar kita senantiasa jujur terhadap diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun