Jauh sebelum kita sampai di masjid, dari rumah, kita harus lebih menanamkan niat baik, gerangan apa yang akan diperbuat dimasjid. Sebab, tempat tujuan boleh saja “suci” atau tapi niat belum tentu baik. Ada saja, seseorang ke masjid hanya karena “enak dan tidak enak”, dengan para petinggi di perusahaan, atau karena mempunyai jabatan struktural di masjid, sehingga harus ada di masjid. Atau karena tidak enak dengan Mertua dan anak, yang kebetulan, lebih rajin ke Masjid.
Dengan keharusan kita menanamkan niat baik sebelum ke masjid, itu sama halnya, dalam setiap putaran hidup, yang akan menyelamatkan kita di setiap tempat adalah niat baik. Insya Allah, kemanapun anda berada, jika “niat baik” yang selalu ada dalam kedirian kita, mudah-mudahan keselamatan akan bersama anda.
Memupuk rasa hormat
Setelah kita sampai di masjid, setiap muslim disunnahkan untuk melakukan sholat tahiyatul masjid (shalat penghormatan)–kepada “rumah Allah”. Dalam keseharian, shalat tahiyatul masjid identik dengan “penambahan pahala”, diluar shalat wajib. Bahkan dibenak kita, sering memposisikan shalat tahiyatul masjid, sebagai sarana “pencuci dosa” kecil, yang mungkin hari itu secara sengaja atau tidak telah kita lakukan.
Terlepas dengan kebesaran Allah Swt, yang mungkin juga memberi nilai terhadap shalat tahiyatul masjid, tapi esensi dari shalat tahiyatul masjid bukan sekedar ibadah ritual belaka. Lebih dari itu, shalat tahiyatul masjid mengajarkan ibadah sosial-untuk kemudian “wajib” kita praktik-kan dalam keseharian. Paling tidak, shalat tahiyatul masjid ini, bisa membangkitkan sikap hormat kita kepada siapa saja, tanpa memandang pangkat dan jabatan.
Apakah dia gubernur, bupati, atau bahkan seorang tukang becak sekalipun—semua harus tetap dihormati. Sebab, antara kita, menurut Allah Swt, tidak ada beda, yang membedakan kita, bukan status struktural kemanusiaan, tetapi hanya nilai-nilai taqwa. Tentu saja, taqwa dalam artian bukan sekedar menghambakan diri dengan Allah Swt melalui ibadah ritual, tetapi lebih dari itu, juga harus “mengabdi” pada Allah melalui ibadah sosial. Termasuk memupuk rasa hormat antar sesama, juga bagian upaya kita untuk menjadi orang yang bertaqwa.
Membangun kedamaian
Di setiap masjid, selalu ada jamaah. Ada imam dan ada makmum. Ada yang di depan ada yang dibelakang. Semua berjalan dengan damai. Rangakaian ritualitas itu, berjalan secara sakral dan kultural. Sekalipun, secara struktural, imam merupakan “pemimpin” dari makmum, tetapi memunculkan imam—sebagai salah pimpinan shalat, tanpa ada sikut-menyikut dan saling jegal.
Realitas ini, sudah tentu jauh berbeda dengan dinamika politik—saat menjelang suksesi pimpinan di negeri ini. Sejak dari bagi-bagi uang, kaos, stiker, obral janji, sampai permintaan perlindungan dan dukungan dari kalangan preman-pun harus dilakukan. Ini pertanda, masjid yang selama ini disumbang, diberi bantuan material dengan beragam jenisnya, tidak mampu “menyusup” ke relung hati di setiap kita—tidak mampu menggerakkan “semangat masjid” dalam kedirian kita. Bagi kita, kesepahaman dan kesepakatan memposisikan imam di masjid tanpa ada saling iri dan dengki, sudah seharusnya mewujud dalam aktifitas batin dan fisik kita.
Membudayakan daya kritis
Kesalahan dan ke-alpaan, bisa saja terjadi di dalam masjid. Apakah dilakukan imam atau makmum. Tentunya, salah dan lupa ini, tidak lepas dari relatifitas dan keterbatasan manusia sebagai hamba Allah Swt. Namun, dari persoalan ini, kita dapat mengambil satu pelajaran (i’tibar) untuk kemudian diwujudkan dalam keseharian kita.
Mungkin, kita pernah melihat atau menemui seorang imam yang salah, lupa atau bahkan batal dalam shalat. Bagi imam yang merasa batal, diwajibkan atas mereka agar segera ke-pinggir, setelah sebelumnya memberi “isyarat tanpa kata” kepada makmum–menandakan imam sudah batal shalat. Tanpa ada diskusi panjang, makmum yang berada di belakangnya imam, wajib menggantikan, tanpa menyusun lebih dulu jamaah baru. Tugas makmum yang kemudian menjadi imam melanjutkan jamaah sampai shalat selesai.