Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Tinggal di Palembang

Penulis adalah Guru Ngaji di Rumah Tahfidz Rahmat Palembang, dan Penulis Buku "Revolusi Hati untuk Negeri" bekerja sebagai Jurnalis di KabarSumatera.com Palembang. (www.kabarsumatera.com) dan mengelola situs sastra : www.dangausastra.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Wartawan Ikan Seluang

13 Oktober 2015   23:07 Diperbarui: 13 Oktober 2015   23:42 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Tung, aku tak pernah percaya dengan isu itu. Aku, kenal dengan kau. Dan aku yakin kau melakukan itu,” SMS lain mendukung dan menguatkan.

“Tung, memang begitulah risikonya berdiri di tengah dua penguasa yang sedang berseteru. Ada yang bilang : gajah sama gajah berantem, anak kancil mati terjepit,” SMS lain masuk lagi.

“Kau jadi korban, Tung. Itu hanya efek konflik keluarga. Kau kena Tsunami keluarga besar penguasa. Yakinlah, Tuhan tidak pernah akan salah memilih mana emas dan mana loyang,” SMS Kang Ayik dari Tanjung tak ketinggalan. Ayik adalah mitra kerjaku di Tanjung Enim saat aku masih aktif di Radio Bukit Asam di tahun 2008. Rupanya Ayik ikut juga dengar desas-desusku.

“Sungguh kuat badai yang menimpaku. Fitnah itu demikian tajam menhunjamku. Tapi aku yakin, kebenaran akan segera terungkap,” aku menulis statusku di FB, yang kemudian banyak mengundang tanggapan. Tapi aku tak kuasa menjelaskan. Sebab itu aib keluarga besar ownerku.

“Itu aurat yang harus aku jaga. Itu masalah privat,” kataku mengelak dari desakan sejumlah teman yang ingin tahu geragan apa yang tengah terjadi, hingga aku terjungkal dari koran yang aku pimpin.

“Anggap saja ini dinamika. Risiko orang mau besar ya begini. Ada yang senang, ada yang tidak senang. Ada fitnah ada juga yang memuji. Biasalah! Jangan sekelas aku, para nabi sebeum menerima wahyu juga dapat gidaan dari para syetan. Ya, aku anggap ini godaan syetan aja, aku dan teman wartawan juga pembawa pesan para nabi : kebenaran,” kataku.

Argumentasiku sebagian dipercaya. Tapi sebagian lagi tak memercayainya. Siapa yang tidak tergiur dengan uang Rp 10 mliar dibagi dua, aku dan orang terdekat owner? Itu juga katanya. Aliran jurnalisme katanya sepertinya sudah kuat mengalir di setiap relung hati sebagian jurnalis di Sumatera Selatan. Sehingga diantara mereka lebih memercayai “katanya” dari pada melakukan ferifikasi ke sumber yang sebenarnya. “Biasalah, Tung, namanya juga wartawan humas,” celetuk Pardi, wartawan kampus yang sudah banyak berguru dengan Andreas Harsono.

Sampai akhirnya aku kembali ke kampus, aku tak pernah mengklarifikasi tentang kebenaran itu. Sebab, siapa yang akan percaya dengan perkataanku, sementara yang aku hadapi adalah gajah. Sementara aku hanya ketimun. Tapi aku bersyukur karena aku bukan ketimu busuk. Aku juga bukan wartawan ikan seluang. Aku adalah tokoh dalam ketimun emas yang menghancurkan raksasa dengan jeratan biji ketimun. Kini biji ketimun sudah kutebar. Tinggal meunuggu waktu, kapan jeratan akar ketimun itu akan mengnacurkan raksasa. Hanya Tuhanlah Yang maha Tahu.

 

Makrayu-Palembang, 7 Juli 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun