“Ah, kamu bisa aja, Dik. Konyol kamu. Mosok ada ikan oportunis,” Wikram tak percaya.
“Karakter manusia itu kan sebagian ada juga yang mirip-mirip binatang. Oportunis, egoistik dan masih banyak lagi. Tapi kalau manusia, kata orang bijak adalah hewan yang berpikir. Disitulah perbedaan hewan dan manusia,” ujar Jono mendebat.
“Ya, tapi nggak usah ikut-ikutan karakter hewan yang ndak benerlah, Dik. Jadi wartawan itu nggak usah neko-neko. Fokus aja dan jangan hiraukan omongan orang. Yang penting kita berjalan pada rel yang sudah digariskan oleh sistem, nggak usah kesana-sini, nanti arahmu ndak jelas,” ujar Wikram. Kali ini Jono kena doktrin seniornya.
Tapi benar saja, rentang waktu 25 tahun Wikram benar-benar jadi raja media di wilayah Sumatera. Nyaris semua media yang lahir lebih dulu dilibas oleh Harian Musi Raya. Sayangnya aku sempat belajar dengan Wikram hanya dua tahun. Berbeda dengan Jono yang setia belajar dengan Wikram hingga dia purna bakti di tahun 2014. Bahkan Jono kemudian menerbitkan sebuah koran harian berlairan politik kiriminal. Terakhir aku bertemu denga Jono di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II di tahun 2012 saat dirinya akan liputan ke Australia. Sementara aku kebetulan kali itu mendapat paket umroh hadiah dari lomba penulisan dalam Jounalis Muslim Award di Bandung.
Jono dan juga aku, kini sama-sama berdiri sejajar. Memiliki sebuah Koran Harian. Jono memimpin Koran Harian Sumatera Daily. Sementara aku memimpin Koran Harian Rakyat Sumatera. Sesekali aku dan Jono komunikasi seadanya. Tapi tidak terlalu sesering waktu kami masih dalam satu kantor. Kali itu aku dan Jono sudah sibuk dengan urusannya masing-masing. Dengan jalur redaksionalnya sendiri-sendiri. Hanya sesekali aku menyapa via FB atau twitter.
Bahkan Jono juga hanya bisa mengucapkan bela sungkawa melalui FB dan Twitter saat Koranku tutup dua tahun silam. Diantara rekan wartawan, yang mereka tahu hanya menuduh kalau aku membawa lari Rp 10 miliar yang dikucurkan investor.
“Tung, aku turut berduka atas matinya koranmu. Tapi aku yakin orang-orang seperti kita tidak pernah akan mati berkarya, sebelum kematian sebenarnya menjemput. Salam kreatif dan terus berkarya, Bung!” itu tulisan terakhir Jono, sebeum akhirnya koran Jono juga punya nasib sama setahun berikutnya. Aku juga tak mengerti apa alasan prinsip yang membuat Jono dan aku punya nasib serupa.
Tapi satu pekan setelah pentupan, banyak SMS masuk yang menyoal diriku.
“Mantap, 10 miliar cair,” SMS itu benar-benar menusuk hati.
“Kapan pesta bung. Kabarnya 10 miliar menaglir sampai jauh,” SMS lainnya masuk.
“Mana idelaisme-mu yang dulu. Haruskah 10 miliar melibas hati nuranimu, Bung!?” SMS yang lain kian memukul aku.