“Sekarang kalau adik disuruh pilih, mau jadi anak pintar atau jadi anak bodoh?” kisah isteri saya lagi.
“Pilih pintarlah, Bunda! Adik nggak mau jadi anak bodoh!” ujar isteri saya menirukan jawaban Kahfi kali itu.
“Nah, kalau Pe-Er-nya yang mengerjakan Bunda, nanti yang pintar, Bunda atau adik?” isteri saya mengajak Kahfi berpikir.
“Tapi adik ingin, Bunda yang mengerjakan Pe-Er. Sekaliii saja, Bunda,” ujar isteri saya menirukan Kahfi yang seolah memohon.
“Katanya mau jadi anak pintar. Kalau ingin pintar, kira-kira menurut adik yang lebih bagus nyontek atau adik sendiri yang mengerjakan Pe-Er?” tanya isteri saya.
“Mengerjakan sendiri!” Kahfi spontan menjawab dengan lugas.
“Lalu apa kata anak kita?” tanya saya lagi.
“Tapi kenapa ibunya kawan adik mau mengerajakn Pe-Er mereka?” isteri saya melanjutkan protes anak saya.
“Karena ibunya kawan-kawan adik tidak ingin kawan adik itu pintar. Mereka sedang menuyuh kawan-kawan adik bodoh, makanya Pe-Er-nya dituliskan ibunya. Mau Adik bodoh seperti mereka?!” Pertanyaan kali itu menekan kembali logika anak saya.
“Itu namanya proses awal pembentukan generasi koruptor, Bun!” kata saya spontan.
“Aaah, mana mau tahu mereka. Tahunya mereka anaknya Pe-Er-nya selesai. Persyetan dengan koruptor. Mereka tidak berpikir efek menyontek sekian puluh tahun mendatang,” isteri saya masih menyimpan kekesalan terhadap ulah para ibu di sekolah itu.