“Tapi itu pembodohan, Yah!” jawab isteri saya.
“Ya bagaimana lagi. Bukan kita yang mau kok. Kan mereka yang minta?!” kilah saya.
BACA : KAMPANYE HITAM? TUHAN SEDANG BERMAIN BOLA
“Iya juga, sih. Bunda juga nggak enak kalau melarang ibu-ibu itu. Apalagi mereka teman-teman Bunda. Diantara mereka ada yang tetangga. Sebagian lagi wali dari murid ngaji kita. Nanti kalau dilarang, kita dibialng sok inilah, sok itulah. Cuma sekadar Pe-er saja tidak mau berbagi! Mereka pasti berkata seperti itu. Yang penting anak kita aman,” kata isteri saya.
“Terus hubugannya dengan protes anak kita?” saya mengingatkan awal pembicaraan.
“Itulah, Yah. Pulang sekolah, Kahfi tiba-tiba ngomong : Bunda, enak bener kawan-kawan adik. Pe-Er-nya dituliskan ibunya. Wajar kalau nilai mereka seratus terus, Bun. Punya adik dak pernah seratus. Sekali-kali adik boleh dong Per-Er-nya Bunda yang mengerjakan seperti kawan-kawan?” ujar isteri saya menirukan protes anak saya di siang itu.
“Lalu apa jawab Bunda?” tanya saya.
“Bunda jawab : Boleh, nanti Bunda yang kerjakan Per-Er adik. Tapi jawab dulu pertanyaan Bunda,” isteri saya berkisah.
“Hmmm!” saya masih menunggu cerita selanjutnya. Mata saya menatap isteri saya.
“Sekarang Bunda tanya : yang sekarang sekolah, Bunda atau adik?” kisah isteri saya tentang dialog mereka berdua.
“Adik!” jawab Kahfi spontan.