Cerpen Imron Supriyadi
Siapa bilang Tuhan tak bisa mati! Tuhan bisa saja mati! Tuhan
sering dibunuh oleh semua. Bukan saja aku, tetapi, kau dan kita!
Ya semua telah melakukan pembunuhan Tuhan. Bukan seorang Kiai. Bukan seorang Bikku dan Pasteur. Bukan pula seorang Suster, sampai seorang birokrat dan para kaum gembel, semua juga melakukan pembunuhan Tuhan. Maka Tuhan pun bisa mati. Kalau dulu Nietzsche mempermaklumkan kematian Tuhan. Kini, aku mengatakan, Tuhan pun bisa mati. Tuhan sering terbunuh oleh kita. Bahkan kita sengaja membunuhNya.
Kemarin, Warman teman kerjaku menceritakan bagaimana Tuhan telah tergadai oleh sepiring nasi. Lalu ditempat lain, Tuhan diperjual-belikan sebanding dengan harga kangkung. Tuhan sudah bisa ditawar. Tuhan dihargai murah. Tuhan diperdaya, dengan dalih mempertahankan hidup.
Belum lagi puluhan pedagang lainnya, turut melakukan hal yang sama. Mereka membuang, dan menginjak Tuhan di hadapan para pembeli dengan terang-terangan.
Pada sebuah kedai malam, tempat berkerumunnya para perempuan dan laki-laki. Kembali, Tuhan diperdaya. Tuhan dibutakan sama sekali. Dan proses pembunuhan Tuhan pun kembali terjadi. Tuhan benar-benar ditiadakan, sekalipun ketiadaan itu adaalah Tuhan. Tawa dan canda, membawa mereka semakin mengubur Tuhan.Â
Larangan bukan lagi yang mesti ditakuti. Semua mereka jalani, tanpa lagi melihat Tuhan. Dan di dalam kamar remang, Tuhan pun terselip di balik kasur. Terlibas oleh dengus napas yang memburu hingga pagi tiba.
Dalam gedung pemerintah, tempat berkumpulnya orang-orang yang mengaku mewakili rakyat. Ada seribu lagi cara orang-orang membunuh Tuhan. Ketika sebuah pabrik dilaporkan melakukan pencemaran. Maka, ratusan orang pun berduyun-duyun membawa nama Tuhan ke gedung itu. Katanya, demi lestarinya bumi Tuhan.Â
Maka berteriaklah orang-orang tadi. Begitu juga orang-orang yang suka berkerumun di gedung pemerintah itu. Mereka bicara lantang. Seakan Tuhan berada di samping kanan kiri mereka.Â
Lalu mengatasnamakan pelestarian lingkungan, demi terjaganya sungai titipan Tuhan, mereka memperdebatkan, sampai tak ada ujung pangkalnya.