Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Tinggal di Palembang

Penulis adalah Guru Ngaji di Rumah Tahfidz Rahmat Palembang, dan Penulis Buku "Revolusi Hati untuk Negeri" bekerja sebagai Jurnalis di KabarSumatera.com Palembang. (www.kabarsumatera.com) dan mengelola situs sastra : www.dangausastra.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sedang Tuhan pun Bisa Mati

3 Agustus 2016   10:52 Diperbarui: 21 September 2017   13:20 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Esoknya, surat kabar bicara, limbah pabrik dianggap selesai. Bumi Tuhan kembali dinyatakan bersih dari pencemaran. Mulut-mulut pun terbeli oleh segepok rupiah. Maka suara Tuhan pun tergadai lagi. Kerusakan dianggap perbaikan. Perbaikan diangap mengganggu stabilitas pabrik. Mereka lalu membuat Tuhan menjadi Tuli. Orang-orang telah membutakan Tuhan dari ketidak-butaan. 

Maka, mereka juga telah membuat Tuhan menjadi mati. Tuhan telah Mati dalam kedirian mereka. Mati dalam detak jantungnya, sehingga Tuhan bisa seenaknya dipanggil dan diusir kapan saja. Tuhan tak ubahnya seperti seorang pembantu. Ia dipanggil ketika dibutuhkan. Lalu diusir ketika tidak lagi dibutuhkan. Tuhan hanya sekedar barang pelengkap. Tak ada yang berarti apa-apa. Ternyata Tuhan benar-benar mati. Mereka telah membunuhNya.

Pada sebuah mihrab masjid, atau di gereja dan Vihara. Bukan saja para kiai, pastur, dan bikku , mereka juga sama melakukan pembunuhan Tuhan. Kujumpai orang-orang yang mengaku moralis itu berjibaku dengan kediriannya manusia yang paling dekat dengan Tuhan.

Kiai, dengan ceramah dan petuah-petuahnya, menidurkan kaumnya menjadi kaum yang suka menghitung pahala. Para Kiai sudah mengajari umatnya, mengukur ibadah dengan angka-angka. Ibadah ritual sudah bisa dihitung dengan material. 

Demikian pula pastur, dan bikku. Melakukan pendekatan diri kepada Tuhan, tanpa mempertanyakan di mana ia tinggal, dan berapa jumlah orang lagi yang masih merasakan lapar dan haus. Bukan kiai, pastur, dan bikku, mereka semua membunuh Tuhan, sambil mereka asyik melakukan onani spiritual. Seolah, sorga telah menjadi milik mereka.

Tetapi, malam kemarin, Malaikat mengabariku. Katanya, "Pada saatnya nanti, di hadapan Tuhan, banyak manusia yang terbalik. Ada ulama, kiai, pasteur dan bikku masuk neraka. Tetapi tidak sedikit para preman dan maling masuk sorga."

Ketika para kaum moralis itu bertanya, maka Tuhan pun menjawab, "Kalian adalah manusia-manusia egois. Kalian merasa bahwa hanya kalian saja yang berhak atas sorga. Bukan! Bukan sama sekali. 

Sebab, ketaatan, bukan saja memuji dan memujaku sepanjang hari. Hei, kalian semua, para kiai, bikku dan pastur, ternyata, dalam ketataan, kalian telah mengesampingkan semua keadaan yang namanya lapar, kehausan, keterbelakangan, dan ketertindasan. Kenapa kalian hanya diam dengan keadaan seperti itu? 

Kenapa kalian tidak perjuangkan juga, sebagaimana kalian berjuang untuk mendapatkan sorga?" Semua begong. Dan tertunduk malu. Sebuah kekuatan asing tiba-tiba menarik mereka dengan kasar. Hanya lengkingan saja yang terdengar. Kemudian suara gemuruh meningkahinya.

Lalu, kematian Tuhan pun terjadi di berbagai kantor pemerintah, swasta dan kantor agama sekalipun. Sekelompok orang berduyun-duyun melamar di lembaga agama. Katanya, mereka berniat untuk lebih dekat dengan Tuhan. 

Dengan berbagai cara, mereka lalu masuk ke dalamnya, setelah sebelumnya, mereka juga harus menggadaikan Tuhan dalam diri mereka dengan harga 15 sampai 20 juta rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun