Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas dan pecinta literasi

Blog ini merupakan kelanjutan dari blog pada akun kompasiana dengan link: https://www.kompasiana.com/sulfizasangjuara 🙏❤️

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akar Tionghoa di Rumah Gadang

1 April 2023   23:14 Diperbarui: 1 April 2023   23:34 2449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akar Tionghoa tangah duo ganggang. Sumber: Ir. Mahmud Hasan dalam buku 'Rumah Adat Minangkabau'.

'Akar Tionghoa' merupakan motif ukiran tradisional Minangkabau yang sangat istimewa. Selain memperkaya daya estetik Rumah Gadang, akar Tionghoa juga mengukuhkan kebudayaan Tionghoa 'terutama kebudayaan etnis Tionghoa perantau' dalam konstelasi kebudayaan Minangkabau

Keberadaan 'akar Tionghoa' di Rumah Gadang membuktikan masyarakat tradisional Minangkabau (Orang Minang) menjunjung toleransi, egaliter, keberagaman, dan persaudaraan multibudaya.

Selain memiliki filosofi yang terjalin dalam konstelasi filosofi ukiran-ukiran tradisional Minangkabau di Rumah Gadang, keberadaan ragam hias "akar Tionghoa' mengindikasikan leluhur masyarakat tradisional Minangkabau dengan leluhur etnis Tionghoa telah menjalin sinergi dan kolaborasi dalam membangun peradaban di masa kejayaan Kerajaan Pagaruyung.

Kebudayaan Merantau

'Akar Tionghoa' dalam ragam hias seni ukir Minangkabau berupa tumbuhan yang merambat, mengakar, dan saling kait-mengait antara satu sama lain. Walaupun sudah menjalar kemana-mana, tumbuhan tersebut tidak terputus dengan akar umbinya.  
Motif akar Tionghoa merepresentasikan kebudayaan etnis Tionghoa yang merantau. Selama berabad-abad mereka dikenal sebagai etnis perantau dengan kualitas keuletan, kekuatan, kerja keras, dan keteguhan pendirian yang luar biasa.  

Walaupun sudah merantau jauh, etnis Tionghoa tidak lupa dengan akar budaya, bangsa, keluarga, leluhur, bangsa, dan budaya mereka. Bahkan, etnis Tionghoa bangga dengan kebudayaan mereka, sehingga selalu berusaha menumbuhkembangkan dan mengukuhkan kebudayaan Tionghoa di mana pun mereka merantau. Indikasi-indikasi tersebut diperkuat tujuan etnis Tionghoa merantau yang termaktub prasasti pada sebuah makam di Bukit Sentiong dengan bunyi:            

Kita orang tionghoa merantau ke sini supaya orang kaya dapat dikubur, dan orang yang miskin jangan sampai terbengkalai, maka kami membeli tanah ini dan bikin thong sua ini. Semua orang Tionghoa boleh dikubur di sini dan membangun ruang istirahat di sebelahnya untuk istirahat orang yang membersihkan tempat.  

Prasasti di makam Bukit Sentiong. Sumber: Toako Kho Yan Sin/FB: Hendri Kho
Prasasti di makam Bukit Sentiong. Sumber: Toako Kho Yan Sin/FB: Hendri Kho
Berdasarkan prasasti di Bukit Sentiong, tujuan etnis Tionghoa merantau adalah untuk memperjuangkan kehidupan etnis Tionghoa dalam usaha mendapatkan kemakmuran dan kesejahteraan kolektif.

Orang Minang memiliki tradisi yang sama dengan etnis Tionghoa, yaitu sama-sama suka merantau. Merantau dikenal sebagai tradisi Orang Minang dari generasi ke generasi. Bahkan, Orang Minang khususnya laki-laki, seolah memiliki kewajiban merantau. Kecintaan kaum laki-laki Orang Minang masa lampau untuk merantau tercermin dalam pepatah adat yang sangat legendaris, sebagai berikut.

karatau madang di hulu
babuah babungo balun
marantau bujang dahulu
di rumah baguno balun

 
keratau madang di hulu
berbuah berbunga belum
merantau bujang dahulu
di rumah berguna belum

Pepatah-petitih tersebut menegaskan bahwa tujuan merantau adalah untuk mengubah menjadi lebih baik. Daripada menjadi seseorang yang tidak berguna di negeri sendiri, lebih baik merantau. Melalui merantau, seseorang bisa membagikan pengalaman (keahlian/keterampilan) yang dimilikinya di kampung halaman, sehingga bisa bermanfaat bagi kaum di negeri rantau. Melalui merantau, seseorang juga bisa menggali ilmu pengetahuan baru, mengembangkan relasi, mempelajari keahlian (keterampilan) baru, dan tentunya berperan aktif dalam berkarya untuk membangun negeri rantau.    

Agama Islam yang dianut sebagian besar Orang Minang pun menganjurkan merantau sebagaimana anjuran Imam Syafii (767-820 M). Anjuran Imam Syafii untuk merantau tercermin dalam bait-bait berikut:    

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa
jika di dalam hutan.

(Imam Syafii  dikutip dari Negeri Lima Menara karya A. Fuadi)  

Merantaulah. Gapailah setinggi-tingginya
impianmu. Bepergianlah. Maka ada lima keutamaan untukmu
Melipur duka dan memulai penghidupan baru
Memperkaya budi, pergaulan yang terpuji,
serta meluaskan ilmu.

(Syair syair Imam Syafii - dikutip dari Rantau Satu Muara karya A. Fuadi)

Keunggulan etnis Tionghoa perantau menjadikan mereka sebagai teladan bagi Orang Minang yang merantau. Tidak heran bila akar Tionghoa menjadi salah satu ukiran utama di Rumah Gadang sebagaimana yang tercermin dalam pepatah-petitih berikut:

Ukia aka induak ukiran, gambaran hiduik sa alam nangko, aka nan jadi isi buahnyo, nan tanpak aka bapiuah ibarat nan bapakai, pakaian adat jo limbago. Awal maso dahulu cino nan jadi ukurannyo, aka labiah bicaro tajam, baguru barajo maso itu, dilukih kayu sabilah, kiasan pilin aka cino (Ukir akar merupakan induk ukiran, gambaran hidup keseluruhan alam ini, akar yang menjadi buahnya, yang tampak akar berpilin, kias ibarat yang dipakai, pakaian adat dengan lembaga. Awal masa dahulu, Tionghoa yang menjadi bandingan, akal lebih bicara tajam, berguru belajar masa itu, dilukis kayu sebilah, kiasan berpilin akar Tionghoa).      

Penempatan akar Tionghoa pada Rumah Gadang mencerminkan penghormatan yang luar biasa pada leluhur etnis Tionghoa. Masing-masing motif ukiran tradisional Minangkabau, termasuk ukiran akar Tionghoa, memiliki filosofi atau nilai-nilai luhur yang menjadi materi edukasi pembentukan karakter masyarakat tradisonal Minangkabau. 

Keberadaan akar Tionghoa terjalin erat dengan seluruh motif ukiran-ukiran tradisional Minangkabau lainnya di rumah adat Minangkabau yang lazim disebut Rumah Gadang. Sepengetahuan penulis, hanya akar Tionghoa motif ukiran yang merepresentasikan keberadaan kebudayaan bangsa lain dalam konstelasi kebudayaan Minangkabau dalam motif ukiran.

Di Rumah Gadang pada umumnya terdapat empat jenis Akar Tionghoa dengan penempatan sebagai berikut:  
 
[1] Aka Tionghoa terdapat pada dinding dampa-dampa dan pintu.

Akar Tionghoa (tercantum/tertulis sebagai 'aka cino'). Sumber: Sumber: Ir. Mahmud Hasan dalam buku 'Rumah Adat Minangkabau'
Akar Tionghoa (tercantum/tertulis sebagai 'aka cino'). Sumber: Sumber: Ir. Mahmud Hasan dalam buku 'Rumah Adat Minangkabau'


[2] Aka Tionghoa sagagang terdapat pada papan lambai lambai garebeh.

Akar Tionghoa saganggang. Sumber: Ir. Mahmud Hasan dalam buku 'Rumah Adat Minangkabau'.
Akar Tionghoa saganggang. Sumber: Ir. Mahmud Hasan dalam buku 'Rumah Adat Minangkabau'.


[3] Aka Tionghoa tangah duo gagang terdapat pada pada kasau besar.

Akar Tionghoa tangah duo ganggang. Sumber: Ir. Mahmud Hasan dalam buku 'Rumah Adat Minangkabau'.
Akar Tionghoa tangah duo ganggang. Sumber: Ir. Mahmud Hasan dalam buku 'Rumah Adat Minangkabau'.


[4] Aka Tionghoa duo gagang terdapat pada bingkai papan dinding cucuran.                
 

Akar Tionghoa duo ganggang. Sumber: Ir. Mahmud Hasan dalam buku 'Rumah Adat Minangkabau'.
Akar Tionghoa duo ganggang. Sumber: Ir. Mahmud Hasan dalam buku 'Rumah Adat Minangkabau'.


Kebudayaan Tionghoa Perantau di Ranah Minang

Keberhasilan etnis Tionghoa falam merantau di Ranah Minang tidak lepas dari kemampuan etnis Tionghoa perantau dalam beradaptasi. Etnis Tionghoa melakukan akulturasi, asimilasi, dan berbagai inovasi supaya kebudayaan Tionghoa bisa ditumbukembangkan di mana pun mereka berada.  

Agar lebih jelas, kita bisa analisis kebudayaan Tionghoa dengan menggunakan konsepsi Koentjaraningrat dengan menggunakan kebudayaan etnis Tionghoa di Kampung Pondok sebagai subjek analisis.                

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan merupakan suatu sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat; yang dimiliki oleh manusia melalui proses belajar yang dilakukannya (1979: 186).

Bila kita konsepsi kebudayaan Tionghoa berdasarkan teori Koentjaraningrat, maka akan kita temukan rumusan bahwa kebudayaan Tionghoa merupakan suatu sistem gagasan dan rasa etnis Tionghoa, tindakan etnis Tionghoa, serta karya yang dihasilkan etnis Tionghoa dalam kehidupan bermasyarakat; yang dimiliki oleh etnis Tionghoa melalui proses belajar yang dilakukannya.
       
Koentjaraningrat mengemukakan bahwa terdapat tujuh unsur pembentuk kebudayaan (Koentjaraningrat, 1979: 203-204), yaitu: 1) bahasa; 2) kesenian; 3) sistem religi/kepercayaan; 4) sistem teknologi; 5) sistem mata pencaharian; 6) sistem organisasi sosial; dan 7) sistem ilmu pengetahuan.

Berdasarkan konspesi tersebut, kita akan menemukaan rumusan kebudayaan Tionghoa di Kampung Pondok, sebagai berikut:

Bahasa

Kampung Pondok merupakan sebuah kelurahan yang terletak di Kecamatan Padang Barat Provinsi Sumatera Barat. Derah ini dikenal sebagai komplek pemukiman etnis Tionghoa selama berabad-abad.

Bahasa utama (bahasa daerah) merupakan merupakan unsur kebudayaan yang paling mencolok dalam kehidupan etnis Tionghoa yang bermukim di Kampung Pondok. Berbeda dengan etnis Tionghoa di daerah-daerah lain yang banyak mahir menggunakan bahasa khas Tionghoa, etnis Tionghoa di Kampung Pondok menggunakan bahasa Minang sebagai bahasa utama dan nyaris tidak ada yang bisa menggunakan satu pun bahasa khas Tionghoa.

Dialek bahasa Minang di Kampung Pondok yang dipengaruhi dialek bahasa khas Tionghoa. Hal ini mengindikasikan bahwa penutur awal bahasa Minang Pondok merupakan etnis Tionghoa yang meiliki kecerdasan linguistik bahasa Tionghoa. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara bahasa Minang Pondok dengan bahasa Minang, sehingga mudah untuk dipahami para penutur bahasa Minang.

Kita tidak menafikkan bahwa dalam bahasa Minang di Kampung Pondok memang terdapat istilah tertentu yang tidak umum seperti istilah untuk kata sapaan. Kata sapaan dalam bahasa Minang di Kampung Pondok dinilai sebagai perpaduan antara istilah bahasa daerah Minang dan bahasa khas Tionghoa. Tetapi, kasus tersebut lazim terjadi dalam persebaran bahasa daerah Minangkabau. Di mana, beberapa daerah memiliki dialek masing-masing dan kata sapaan yang hanya berlaku di daerah yang bersangkutan.

Penggunaan bahasa Minang sebagai bahasa utama etnis Tonghoa di Kampung Pondok mengindikasikan bahwa telah terjadinya hibrida kebangsaan, dari kebangsaan tunggal menjadi kebangsaan ganda. Tiongkok secara konvensional bukan lagi Tanah Air mereka dan Tionghoa secara konvensional bukan lagi bangsa bagi mereka.  

Walaupun secara geneologi etnis Tionghoa Kampung Pondok merupakan keturunan Tionghoa dan berasal dari Tiongkok,  Minang-lah bangsa mereka dan Ranah Minang lah yang menjadi Tanah Air mereka. Di sisi lain, leluhur Orang Minang di Kampung Pondok menerima mereka untuk memilih Minang sebagai bangsa dan Ranah Minang sebagai Tanah Air. Tidak mengherankan, bila kehidupan etnis Tionghoa di Kampung Pondok bebas konflik rasial.

Kita tidak menafikkan terjadinya pergesekan-pergesekan antaretnis yang menimbulkan ketidaknyamanan di Kampung Pondok. Tetapi, ketidaknyamanan tersebut sekadar ketidaknyamanan yang wajar seperti persaingan ekonomi antarpedagang yang lazim terjadi di Pasar Kongsi, sehingga tidak menyulut konflik sosial besar-besaran.  

Pada masa kerusuhan anti-Tionghoa 1998, mayoritas mayarakat Minang tidak terprovokasi. Orang Minang Kampung Pondok siap melindungi etnis Tionghoa di Kampung Pondok.
   
Menurut ahli sejarah sekaligus akademisi Universitas Negeri Pedang, Erniwati, sebagaimana yang dilansir kanal Youtube Padangkita.com (12 Februari 2021) banyak etnis Tionghoa yang memiliki toko dengan Orang Minang sebagai karyawan. Dengan demikian, ancaman bagi etnis Tionghoa berarti ancaman bagi Orang Minang. Sebab, Orang Minang yang menjadi karyawan toko milik etnis Tionghoa tergantung secara ekonomi pada etnis Tionghoa pemilik toko.

Menurut hemat penulis, bila sekadar motif ekonomi, Orang Minang yang menjadi karyawan di toko milik etnis Tionghoa Kampung Pondok, bisa saja mencari pekerjaan di daerah lain dengan pemilik usaha Non Tionghoa. Untuk apa mereka mempertaruhkan nyawa demi pekerjaan atau kemakmuran ekonomi yang bisa mereka dapatkan di tempat lain?            

Selama ini, akrab ditelinga kita jargon bahasa sebagai identitas pembentuk bangsa. Bila kita korelasikan penggunaan bahasa Minang sebagai bahasa utama etnis Tionghoa di Kampung Pondok dengan tindakan Orang Minang yang melindungi etnis Tionghoa Kampung Pondok pada masa kerusuhan 1998, maka bisa kita simpulkan bahwa bagi etnis Tionghoa Kampung Pondok: Kampung Pondok adalah Tanah Air dan Minang adalah bangsa mereka. Di sisi lain, bagi Orang Minang di Kampung Pondok terutama, penduduk lokal, etnis Tionghoa di Kampung Pondok adalah saudara mereka sebangsa dan se-Tanah Air.  
 
Kesenian

Sebagaimana masyarakat etnis Tionghoa pada umumnya, masyarakat etnis Tionghoa Kampung Pondok mengembangkan kesenian khas Tiongkok, seperti tarian 'barongsai' dan 'wushu'. Di luar 'tarian barongsai' dan 'wushu', terdapat pula kesenian 'gambang' dan 'sipasan'.

Wushu merupakan seni bela diri khas Tiongkok. Secara bahasa, 'wushu' terdiri atas dua kata, 'wu' berarti ilmu perang dan 'shu' berarti seni. Dengan demikian, 'wushu' dapat diartikan sebagai seni untuk berperang atau seni beladiri.

Kesenian gambang terdiri atas gambang sebagai instrumen utamanya. Pada praktiknya, gambang digabungkan dengan beberapa instrumen tradisional dari daerah Tiongkok seperti kecapi, suling serta beberapa instrumen akustik lainnya seperti gitar, biola, saxophone, string bass, trumpet, dan clarinet.

Selain itu, terdapat pula tradisi 'sipasan' yang menjadi bagian dari kesenian yang dikembangkan etnis Tionghoa Kampung Pondok. Sipasan merupakan tiruan lipan berkepala dan berekor naga. Badan sipasan berupa tandu berpayung yang dilengkapi kursi untuk diduduki puluhan anak. Sipasan diangkat dan diarak oleh lelaki dewasa terlatih. Konon, sipasan sebagai kesenian Tionghoa hanya ada di dunia, yaitu Padang dan Taiwan. Karena itu, kita patut berbangga dengan keberadaan sipasan di Kampung Pondok.        

Walaupun memiliki perbedaan genre yang signifikan, semua bentuk kesenian etnis Tionghoa di Kampung pondok tersebut mengerucut pada satu filosofi: kerjasama. Kerja sama juga berarti sinergitas dan kolaborasi.

Wushu mengharuskan kerjasama otot-otot motorik yang terlatih. Kesenian gambang mengharuskan kerjasama berbagai instrumen musik untuk menghasilkan nada yang tidak sekadar merdu, tetapi juga mengandung magis dan menyentuh kalbu. Tarian barongsai tidak bisa dimainkan atau ditarikan oleh satu orang. Sipasan mengharuskan kerjasama ratusan orang; mulai dari mempersiapkan ratusan tandu yang membentuk sipasan, para pemikul, pemandu, rute jalan yang bisa ditempuh, dan dan berbagai kerja berat lainnya.  

Seluruh kesenian khas Tionghoa tersebut selalu mencuat dalam perayaan Imlek di Indonesia khususnya di Kota Padang. Walaupun berasal dari kebudayaan Tionghoa, segala kesenian tersebut telah beradaptasi dan menjalani proses akulturasi dengan kebudayaan Minangkabau. Hal ini terlihat dari pementasan seni pertunjukan Minangkabau nyaris tidak pernah absen dalam pertunjukan seni dari kebudayaan Tionghoa. Bahkan, kebudayaan Minangkabau dalam kesenian dari kebudayaan Tionghoa bisa disatupadukan, seperti anak-anak yang memakai pakaian adat Minangkabau dalam kesenian 'sipasan'.  

Penggunaan bahasa Minang oleh etnis Tionghoa dalam kerumunan perayaan Imlek, terutama etnis Tionghoa dari Kampung Pondok, (bahasa Minang Pondok) dalam keramaian perayaan Imlek semakin menegaskan proses adaptasi etnis Tionghoa di Kampung Pondok berlangsung secara total.

Dengan demikian, kesenian Tionghoa bukan sekadar seni pertunjukan yang menghadirkan sekadar cita rasa estetik; melainkan berfungi sebagai sarana sosialisasi, menumbuhkan perasaan kekeluargaan, serta semangat persatuan dan kesatuan antar etnis Tionghoa dengan seluruh lapisan masyarakat khususnya dengan Orang Minang.      

Sistem Religi/Kepercayaan

Pada dasarnya, sistem religi/kepercayaan etnis Tionghoa adalah Tridarma atau gabungan dari Buddha, Taoisme, dan Konghucu. Sejauh jangkauan pengetahuan penulis, ketiga sistem religi/kepercayaan etnis Tionghoa memiliki perbedaan yang signifikan dengan agama yang dipahami secara konvensional oleh mayoritas masyarakat di Indonesia yang menganut agama-agama Abrahamik khususnya Islam. Dalam artian, sistem religi/kepercayaan etnis Tionghoa lebih mengarah pada kebudayaan yang memiliki nilai spiritualitas dan tidak mengikat seperti agama-agama konvensional.  

Buddha yang dibawa Siddharta Gautama tidak diniatkan sebagai agama. Justru, Buddha menolak segala bentuk peribadatan. Buddha muncul karena agama konvensional di zaman kehidupan Gautama, rentan dimanipulasi oleh pihak yang memiliki hak otoritas dan cenderung bersifat dogmatis/doktrinir yang dipenuhi harapan fatalistik.  Implikasinya, agama di zaman kehidupan Gautama tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan spiritual seperti ketenangan hati (jiwa) dan pikiran.  

Ajaran Buddha atau dikenal Buddhisme penuh dengan praktik meditasi yang dalam dunia kedokteran dikenal sebagai praktik relaksasi, penyembuhan trauma, dan pemulihan kerusakan sistem saraf.

Tripitaka yang dikenal sebagai kitab suci Buddha berisi nasihat-nasihat yang sering dimunculkan dalam bentuk kisah atau cerita rakyat. Banyak nasihat dalam Tripitaka yang bersifat universal. Seseorang bisa bisa menjalankan nasihat dalam Tivitaka tanpa perlu menganut Buddha. Bahkan, banyak aturan perilaku dan moralitas konvensional yang sesuai dengan ajaran Buddha.

Penempatan Buddha sebagai agama resmi di Indonesia sesungguhnya sering menjadi perdebatan para ahli Buddhisme. Upaya penempatan Buddha sebagai agama resmi mengakibatkan perubahan pemaknaan ajaran Gautama dari ajaran Buddha yang menekankan pada spiritualitas tanpa insitusi beralih menjadi spiritualitas di bawah payung institusi religi; dari ajaran yang menolak segala bentuk perubadatan, menjadi ajaran yang rentan dinilai memiliki peribadatan khusus. Ajaran Buddha yang semulanya tidak memerlukan rumah ibadah menjadi agama yang menghadirkan rumah ibadah yang disebut vihara. Ritual agama Buddha yang menghadirkan patung-patung Buddha menimbulkan secara tidak langsung upaya penempatan Gautama sebagai tuhan.

Padahal, inti dari ajaran Buddha adalah berbuat baik dan tujuan menjalani ajaran Buddha adalah menjadi orang baik. Seseorang yang berbuat baik dan memiliki tujuan menjadi orang baik sesungguhnya telah memenuhi konsep hidup Buddhisme meskipun tidak menganut Buddha. Itulah sebabnya Buddha relatif jauh dari konflik kepentingan yang dilatarbelakangi agama.  

Sebagaimana Buddha, Taoisme dan Konghucu sesungguhnya tidak bisa dinilai sebagai agama dalam pengertian konvensional. Ketiganya tidak memiliki sosok yang bisa disebut seagai mesias, rasul, nabi, ataupun tuhan.

Sosok Gautama yang membawa ajaran Buddha adalah seorang filsuf atau cendikiawan. Demikian pula dengan Laozhi yang membawa ajaran Taoisme (Daoisme) dan Konghucu yang membawa ajaran Konfusianisme, sama-sama filsuf atau cendikiawan.

Ajaran Tridharma yang dikenal sebagai agama etnis Tionghoa sesungguhnya lebih mengarah pada sistem pemikiran yang banyak memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan filsafat timur. Bila ajaran Buddha menekankan pada spiritulitas yang terkait dengan hubungan dengan diri sendiri atau kesalehan eksistensial, Taoisme mengarah pada spiritualitas yang terkait dengan hubungan antarsesama manusia atau lazim disebut sebagai kesalehan sosial. Di sisi lain, Konghucu memusatkan spiritualitas pada konektivitas manusia dengan alam atau lazim disebut sebagai kesalehan lingkungan.

Tidak heran bila konsep sistem religi/kepercayaan etnis Tionghoa dikenal sebagai Tridarma di bawah satu atap tempat ibadah yang disebut Kelenteng. Di Kampung Pondok dikenal kelenteng See Hien Kiong. Ritual-ritualnya menekankan penghormatan pada leluhur. Sebab, pada dasarnya, ketiga sistem religi/kepercayaan tersebut bukan agama yang dinilai secara konvensional, baik monoteisme ataupun politeisme, melainkan filosofi kehidupan untuk menuntun manusia mengatasi penderitaan, serta menjadi manusia yang berbudi luhur dan berbudi pekerti mulia.                          

Sistem teknologi

Sebagai bagian dari masyarakat modern, sistem teknologi etnis Tionghoa di Sumatera Barat khususnya Kampung Pondok, sudah beradaptasi dengan perkembangan teknologi global. Indikasi ini bisa kita lihat di toko-toko eletronik yang dimiliki atau dikelola etnis Tionghoa di Kampung Pondok.

Selain teknologi yang bersifat konvensional, terdapat pula beberapa teknologi khas Tionghoa lainnya, seperti teknologi pemakaman dengan kremasi (krematorium), teknologi pangan dengan pengadaan mesin pembuat mie, hingga teknologi di bidang kesehatan berupa obat herbal dan akupuntur. Jejeran teknologi ini sudah tidak bisa lagi memenuhi sebagai unsur kebudayaan yang menadi ciri khas etnis Tionghoa karena sudah adopsi masyarakat dari etnis lainnya dan menjadi milik umum.    

Arsitektur merupakan merepresentasikan salah satu dari segelintir teknologi yang merepresentasikan identitas Tionghoa. Ciri khas arsitektur tersebut dipengaruhi filsafat dari ajaran Tridarma' Konfusianisme, Taoisme, dan Budhisme.

Pengaruh tridarma dalam arsitektur khas Tionghoa, terutama Taoisme, terlihat pada konsep konsep keseimbangan dalam kehidupan yang diatur dualitas Yin-Yang dan Feng Shui. Dalam ajaran Taoisme, Yin-Yang dikenal sebagai dualitas energi kehidupan. Sisi Yang sebagai energi positif, jantan, terang, kuat, buatan manusia. Sisi Yin digambarkan sebagai energi negatif, betina, gelap, menyerap elemen.

Di sisi lain, terdapat pula Feng Shui dalam arsitektur khas etnis Tionghoa. Feng Shui merupakan kompas kehidupan yang mengatur keseimbangan elemen alam seperti angin, air, tanah dan logam. Penerapan feng shui dalam bangunan bertujuan supaya manusia bisa memanfaatkan gaya-gaya alam dari bumi dan menyeimbangkan Yin dan Yang dalam pendirian bangunan. Bagunan yang sesuai dengan aturan feng shui dipercaya membantu manusia untuk memperoleh energi kehidupan (Qi) berupa kesehatan dan vitalitas yang berkualitas tinggi.  

Selain arsitektur pada bangunan, ornamen Tiongkok turut menyemarakkan bangunan khas Tionghoa di Kampung Pondok seperti kaligrafi Tiongkok (kanji) dan lampion. Keberadaan patung leluhur (disebut sebagai dewa-dewa) semakin menyempurnakan eksistensi kebudayaan Tiongkok pada bangunan warga Tionghoa di Kampung Pondok.

Sistem mata pencaharian

Sebagaimana etnis Minang umumnya, mayoritas etnis Tionghoa Kampung Pondok menjadikan perdagangan sebagai mata pencaharian utama. Pedagang etnis Tinghoa Kampung Pondok dikenal sebagai pedagang yang ulet, tekun bekerja, hemat, dan suka bekerja keras. Karakter tersebut sesungguhnya sudah ada dalam diri seluruh pedagang, termasuk pedagang dari kalangan Orang Minang.

Keunggulan pedagang Tionghoa terletak pada keahlian dalam membangun jaringan kerja global. Sementara pedagang Minang cenderung ke arah ritel atau kaki lima, pedagang Tionghoa sudah mampu menggerakkan arus ekspor-impor. Implikasinya, penghasilan pedagang Tionghoa jauh lebih besar daripada pedagang Minang konvensional.

Keahlian etnis Tionghoa dalam ekspor-impor sudah mencuat jauh sebelum pendudukan pemerintah kolonial dengan kebijakan segregasi ras yang menghancuran hubungan persaudaraan antara Minang dan Tionghoa. Tidak heran bila terdapat motif ukiran akar Tionghoa di Rumah Gadang. Di mana leluhur Orang Minang menganjurkan generasi muda Minang untuk belajar pada keahlian yang dimiliki etnis Tionghoa perantau.      

Kendati demikian, keahlian berdagang dalam ekspor-impor cenderung bersifat turunan dan tidak dimiliki mayoritas etnis Tionghoa. Orangtua Tionghoa yang memiliki keahlian berdagang di sektor ekspor-impor cenderung mewariskan keahliannya pada keturunannya. Di sisi lain, Orangtua Tionghoa dari kalangan pedagang biasa cenderung harus memulai usaha dari titik nol sebagaimana yang lazim kita saksikan di Pasar Kongsi. 


Sistem organisasi sosial

Sebagaimana yang tercermin dalam kesenian Tionghoa Kampung Pondok, kerja sama merupakan spirit tunggal yang mengikat etnis Tionghoa. Hal ini ditegaskan Riniwaty Makmur melalui buku Orang Padang Tionghoa (PT. Kompas Media Nusantara, 2018) dalam tarian barongsai terkandung filosofi etnis Tionghoa, yaitu hidup jangan sendiri-sendiri, tetapi hendaklah bersama-sama.

Himpunan Bersatu Teguh (HBT) dan Himpunan Tjinta Teman (HTT) merupakan dua organisasi besar yang menjadi induk dari sistem organisasi sosial etnis Tionghoa Kampung Pondok. Organisasi besar tersebut dikenal juga dengan sebutan kongsi besar. Tidak hanya membantu penyelenggaraan pemakaman, tetapi kedua organisasi tersebut juga aktif mendamping, membantu, dan menuntun etnis Tionghoa dalam mengatasi berbagai masa krisis.

HBT dan HTT merupakan berkah bagi etnis Tionghoa di Indonesia khususnya Sumatera Barat. HBT dan HTT mewarisi visi kongsi besar kejayaan etnis Tionghoa masa lampau. Di mana HBT dan HTT benar-benar berjuang untuk mengakomodasi, memartabatkan, memanusiakan, dan mengupayakan kehidupan yang layak bagi etnis Tionghoa.

Berkat HBT dan HTT, nyaris tidak kita temukan geladangan dari etnis Tionghoa di Sumatera Barat khususnya di kawasan Kota Padang. Bagi etnis Tionghoa yang termasuk dalam kategori miskin, kedua kongsi memberikan bantuan sembako. Bahkan, para pemimpin HBT dan HTT yang dikenal dengan panggilan akrab tuako dari zaman ke zaman rela berkorban untuk mengupayakan kehidupan yang layak bagi etnis Tionghoa. 

Tidak heran, pasca gempa bumi yang meluluh-lantakkan Kota Padang pada 2009, etnis Tionghoa khususnya di Kampung Pondok, relatif cepat bangkit dan pulih. Dalam rentang waktu kurang dari dua tahun, etnis Tionghoa yang menjadi warga Kampung Pondok telah kembali ke Kampung Pondok. Pedagang Tionghoa di Kampung Pondok yang mengungsi ke daerah lain sudah kembali menggelar dagangan di toko pribadi atau Pasar Kongsi.  


Bila 'akar Tionghoa' kita koneksikan dengan ukiran lainnya di Rumah Gadang, maka prinsip hidup kerja sama yang dibina HBT dan HTT sangat relevan dengan filosofi yang terkandung dalam motif ukiran bada mudiak' (ikan teri mudik) dan 'itiak pulang patang' (itik pulang petang). Dengan demikian, semakin teguh pula indikasi bahwa keberadaan akar Tionghoa pada Rumah Gadang selaras dengan kearifan lokal Minangkabau yang direpresentasikan motif ukiran dan terkoneksi dengan filosofi yang terkandung dalam motif-motif ukiran lainnya di Rumah Gadang.          

Sistem ilmu pengetahuan

Pada dasarnya, sistem ilmu pengetahuan etnis Tionghoa modern tidak jauh berbeda dengan sistem ilmu pengetahuan sebagian besar warga Indonesia. Pendidikan formal yang telah ditanamkan di Nusantara sejak masa pendududkan kolonial Belanda. Tidak heran, dari segi-segi tertentu, sistem pendidikan etnis Tionghoa di masa sekarang, memiliki sisi yang seragam dengan sistem pendidikan yang dimiliki etnis lain di Indonesia, termasuk Orang Minang.  

Walaupun demikian, ajaran Tridarma Taoisme, Buddhisme, dan Konghucu tetap memengaruhi sistem ilmu pengetahuan etnis Tionghoa modern terutama di Kampung Pondok.  Mayoritas etnis Tionghoa yang masih menjalankan tradisi Tridarma meskipun sudah menjalani pendidikan formal atau telah meninggalkan agama leluhur, seperti tradisi makan mie pada hari ulang tahun.

Tradisi makan mie pada hari ulang tahun dipercaya akan memperpanjang umur. Bila kita telusuri sejarah masa lampau etnis Tionghoa, makan mie di hari ulang tahun memang akan memperpanjang umur sebab kelaparan telah menjadi bagian kehidupan dalam lembaran sejarah Tionghoa, baik di Tiongkok ataupun di Nusantara. Sehingga, bila tersedia mie dan bisa menyantap mie di hari ulang tahun, dijadikan sebagai tradisi atau ritual yang memperpanjang usia.

Akar Tionghoa dari Masa ke Masa

Nama motif akar Tionghoa cenderung masih sulit untuk ditemukan dalam literatur kebudayaan Minangkabau konvensional. Sebab, sebagian besar literatur kebudayaan Minangkabau konvensional masih menggunakan aka cino untuk menyebutkan nama motif ukiran ini dan mayoritas Orang Minang masih menggunakan cino untuk menyebut Tionghoa.  

Penggunaan istilah cino (Cina) dalam bahasa daerah Minangkabau konvensional, terutama untuk menyebutkan nama motif ukiran aka cino, tidak memiliki konotasi negatif. Keberadaan istilah cino pada konteks ini menekankan istilah yang digunakan Orang Minang untuk memanggil leluhur etnis Tionghoa. Penempatan ukiran ini di Rumah Gadang merupakan sebuah penghormatan dan mengindikasikan bahwa istilah cino memiliki konotasi positif, sebagaimana tercermin pada pepatah-petitih adat sebagai berikut.    

Rumah gadang basandi batu, atok ijuak dindiang baukia, bak bintang bakilau, tiang gaharu lantai cendana, terali gadiang dilarik, bubungan burak ka tabang, paran gambaran ula ngiang, bamacam macam ukiran cino, batatah jo aia ameh, salo mayalo jo aia perak, tuturan karo bajuntai, anjuang batingkek ba alun-alun, tampek paranginan puti disitu, lumbuang bajaja di halaman, rangkiang tujuah babarih, sabuah sibayau-bayau, untuak panolong dagang nan lalu, sabuah sitijau lauik, untuk panolong korong jo kampuang, lumbuang nan banyak untuak makan anak kamanakan.

(Rumah adat bersendi batu, atapnya dari ijuk dindingnya berukir, bagai bintang berkilau, tiangnya dari gaharu lantainya dari cendana, teralinya gading dilarik, bubungannya seperti burak akan terbang, tiangnya bergambar ular naga, terdapat bermacam-macam ukiran Cina, bertatah dengan air emas, disela dengan air perak, tuturan airnya seperti kera sedang berjuntai. Anjungannya bertingkat dan mempunyai alun-alun, tempat memandang tuan puteri, lumbung padinya berjajar di halaman rumah, rangking penyimpan padi tujuh berbaris, sebuah si bayau-bayau, untuk penolong para musafir yang lewat, sebuah lagi si tinjau laut, untuk penolong masyarakat kampung halaman, sedangkan lumbung yang lain untuk makan anak kemanakan).

Indikasi tersebut diperkuat dengan keberadaan baju guntiang cino dalam pakaian tradisional Minangkabau. Baju guntiang Cino (baju gunting Cina) adalah baju dengan reka bentuk pakaian khas Tionghoa. Dewasa ini, baju guntiang cino identik dengan baju tanpa krah pada bagian leher. Baju ini lazim dipakai kaum pria dalam upacara adat seperti pakaian penghulu. Penggunaan baju guntiang cino dalam upacara adat Minangkabau semakin meneguhkan pengaruh kebudayaan Tionghoa yang telah diteguhkan ragam hias aka cino.                

Istilah cino dikenal luas di Sumatera Barat jauh sebelum peraturan wijkenstelsel dan kebijakan politik devide et impera yang ditetapkan pemerintah kolonial Belanda di Nusantara yang berdampak istilah cino (Chinese/Chinezen) memiliki konotasi negatif dan diskriminatif.  

Selain itu, istilah cino dalam masyarakat tradisional Minangkabau juga telah merakyat di Sumatera Barat jauh sebelum gerakan kebudayaan yang dipelopori oleh Tiong Hwa Hwe Koan (THHK) mempopulerkan istilah Tionghoa sekitar tahun 1900 atau terbitnya keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE 06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 yang menjadi dasar Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam penggantian istilah China menjadi Tionghoa. Tidak heran, istilah cino masih bertahan, baik dalam penggunaan bahasa sehari-hari atau literatur kebudayaan Minangkabau konvensional.  

Walaupun istilah Tionghoa belum digunakan secara luas di Sumatera Barat dan literatur kebudayaan Minangkabau konvensional masih menggunakan Cino untuk penyebutan leluhur etnis Tionghoa, kita sebaiknya mulai merintis penggunaannya terutama dalam literatur kebudayaan Minangkabau. Dalam artian, 'aka cino', bila kita terjemahkan sesuai konteks kekinian, menjadi Akar Tionghoa. Selain meredam potensi kesalahan persepsi atau perasaan tidak nyaman, penggunaan istilah Tionghoa akan lebih mendekatkan etnis Tionghoa dengan kebudayaan Minangkabau dan mengukuhkan eksistensi etnis Tionghoa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat tradisonal Minangkabau.

Dengan kata lain, penggunaan 'akar Tionghoa' dalam bahasa Indonesia atau 'aka Tionghoa' dalam bahasa Minang, motif 'aka cino' dikembalikan pada esensinya sebagai salah satu motif ukiran yang dikeramatkan dan dihormati, sehingga menjadi salah satu motif ukiran induk yang ditempatkan di Rumah Gadang.
       
Akar Tionghoa di Tengah Pusaran Sejarah

Motif ukiran akar Tionghoa pada yang ditempatkan pada Rumah Gadang merepresentasikan akulturasi budaya yang luar biasa. Motif ukiran menjadi saksi bahwa leuhur etnis Tionghoa di Ranah Minang tidak sekadar mampu beradaptasi, tetapi juga memiliki visi perdamaian dan persaudaraan sebagaimana yang tercermin dalam muhibah Laksamana Cheng Ho pada abad ke-15, berhasil menjadi sosok yang diteladani bagi Orang Minang. Jejak sejarah tersebut masih terlihat dalam kebudayaan Tionghoa di Kampung Pondok.    

Fenomena tersebut terbilang langka, baik di Indonesia ataupun dunia terutama pada masa diaspora etnis Tionghoa secara besar-besaran. Di masa itu, diaspora dengan jalan kekerasan menjadi sesuatu yang lumrah, sebagaimana yang telah dipraktikkan bangsa-bangsa yang pernah mencengkramkan pemerintah kolonial di Nusantara atau penaklukan antaretnis kerajaan-kerajaan sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.    

Tentunya, kita tidak menafikkan lembaran sejarah yang diwarnai tindakan etnis Tionghoa di Ranah Minang di luar spektrum moral. Misalnya, tindakan oknum etnis Tionghoa yang memicu tragedi kanso dan tersingkirnya etnis Tionghoa di Pariaman. Hingga sekarang, tragedi kanso masih menyebar luas, terutama media sosial dengan kanal YouTube. Oknum-oknum yang memiliki sentimen rasial atau pihak yang memiliki kepentingan tertentu terutama politik, sering mereproduksi dan menyebarluaskan materi tragedi kanso dengan cara generealisasi.        

Padahal, tindakan tersebut harus kita sadari bukan tindakan kolektif etnis Tionghoa, sehingga tidak bijak bila dijadikan sebagai generalisasi pada karakter etnis Tionghoa secara keseluruhan dan dan tidak adil ditempatkan sebagai label diri Orang Tionghoa.

Generalisasi atau pukul rata merupakan kesalahan persepsi dalam komunikasi yang sangat berbahaya, tidak adil, dan tidak berprikemanusiaan. Tindakan ini membuat seseorang dijatuhi hukuman atau menderita atas kejahatan atau dosa yang tidak dilakukannya. Dalam artian, generalisasi sangat identik dengan fitnah sebagaimana tragedi kanso dari perspektif generaliasi.

Walaupun etnis Tionghoa menyingkir dari Pariaman sebagai dampak dari tragedi kanso, Rumah Gadang yang dilengkapi dengan ukiran 'akar Tionghoa' belum musnah di Pariaman. Bila realitas ini tidak cukup untuk membuktikan perilaku negatif oknum Tionghoa yang memicu tragedi kanso bukan sebagai perilaku kolektif, maka kita harus ingat bahwa sejarah telah membuktikan kontribusi positif etnis Tionghoa pada Indonesia terutama Sumatera Barat. Beberapa kontribusi etnis Tionghoa untuk Sumatera Barat dapat kita cermati berikut ini:

[1] Kapten Lie Goan Hoat

Masjid Saadah yang terletak di Kenagarian Gurun, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar. Dibangun pada 1910 atas donai Datuk Paduko Intan seorang saudagar terkenal asal Jorong Gurun serta tokoh etnis Tionghoa di Kota Padang bernama Kapten Lie Goan Hoat.

Kontribusi Kapten Lie Goan Hoat dalam pembangunan Masjid Saadah menjadikan kebudayaan Tionghoa mendapatkan tempat kehormatan untuk diabadikan dalam arsitektur Masjid Saadah. Sentuhan kebudayaan Tionghoa terlihat pada undak-undak atap majid yang menyerupai bangunan dengan cita rasa arsitektur khas Tiongkok dan ornamen dinding luar masjid.

[2] Sho Bun Seng


Dalam lembaran sejarah Padang terkenal pula kepahlawanan Sho Bun Seng. Sho lahir di Kutaraja, Aceh, 12 November 1911. Sejak tahun 1937, Sho aktif dengan Tionghoa Padang dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Repubik Indonesia. Sho bergabung dalam Batalyon Pagaruyung yang ditugaskan di berbagai daerah khususnya di Sumatera Barat dengan keahlian utama di bidang telik sandi.

Sho tetap merawat jiwa kepahlawanan di era kemerdekaan dengan menjalani kehidupan sederhana, kerja keras, dan aktif membantu orang-orang yang kesulitan. Sho tidak akan segan-segan memberikan bantuan materi meskipun dirinya kekurangan atau harus berhutang. Ketika dirinya menerima rapel pensiunan militer dengan dana jutaan rupiah, ia hanya mengambil beberapa ratus ribu, selebihnya dibagi-bagikan untuk rekan-rekannya yang membutuhkan.      

[3] Pembangunan Gedung Pertama Universitas Andalas

Berdasarkan artikel yang dipublikasikan di platform digital niadilova.wordpress.com (titi mangsa 02/03/2017), pada 1951, sepasang pengantin Tionghoa Padang, turut menyumbangkan uang senilai 10.000 (nilai yang cukup besar di masa itu) sebagai bagian dari dana pembangunan gedung pertama Universitas Andalas.  

Artikel tersebut bersumber dari Majalah Garuda, No. 12, 25 Maret 1951: 14-15 yang disalin ulang Dr. Suryadi yang berkarir di Universitas Leiden.

[4] Kapitan Lie Ma Saaij
       
Kapitan Lie Ma Saaij (1815-1819) tidak hanya dikenal sebagai tokoh Tionghoa memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi dan gemar mendermakan harta. Kontribusinya tidak terbatas untuk kalangan etnis Tionghoa semata, seperti pembangunan Kelenteng Se Hien Kiong (Kwan Im Teng) yang terbakar habis pada 1861, tetapi juga meluas ke seluruh penjuru negeri seperti memberikan sumbangan materi yang sangat besar bagi korban bencana alam Aceh dan Bengkulu.

Sejarah mencatat, Lie Ma Saaij memberikan sumbangan sebanyak satu kapal bagi korban bencana alam letusan Krakatau 27 Agustus 1883 di daerah Bengkulu. Atas kontribusi tersebut, Lie Ma Saaij dianugerahi salah satu jabatan tertinggi di kalangan Tionghoa  sebagai Mayor Titulair dee Chineezen Padang pada 28 November 1883.    

Pada awal berdirinya Observatorium Lembang, pemerintah Belanda mengutarakan itikad untuk membeli teropong bintang milik Lie Ma Saaij. Alih-alih menjualnya, para ahli waris memutuskan untuk menyumbangkan dengan harapan teropong bintang tersebut bisa bermanfaat bagi masyarakat. Kini, teropong bintang tersebut menjadi salah satu koleksi penting Observatorium Booscha di Lembang, Bandung.        
 
Tentunya, masih banyak kontribusi-kontribusi positif etnis Tionghoa dalam kemanusiaan. Kontribusi-kontribusi positif itulah yang semestinya diangkat ke permukaan, bukan sejarah kelam yang dipicu perbuatan sebagian (segelintir) etnis Tionghoa yang telah menjadi renik-renik sejarah. Apalagi, dalam seluruh etnis, selalu terdapat individu-individu yang melakukan tindakan yang berseberangan dengan spektrum moral.

 
Membangkit Batang Terendam   

Meskipun secara genealogi etnis Tionghoa memiliki silsilah yang berbeda dengan etnis-etnis yang tergabung sebagai masyarakat tradisional Minangkabau, akar Tionghoa yang terukir abadi di Rumah Gadang, merupakan warisan leluhur masyarakat tradisional Minangkabau yang meneguhkan eksistensi etnis Tionghoa keturunan Sumatera Barat sebagai dunsanak (saudara) masyarakat tradisional Minangkabau. Selain itu, akar Tionghoa memastikan bahwa Ranah Minang sebagai Tanah Air bagi keturunan etnis Tionghoa di Sumatera Barat.

Kemunduran kejayaan Kerajaan Pagaruyung mengakibatkan redupnya pengaruh Kebudayaan Tionghoa di Ranah Minang. Konflik multidimensi yang dipicu kebijakan segregasi ras pada masa pendudukan pemerintah kolonial Belanda memiliki kontribusi yang sangat besar dalam terkikisnya kebudayaan Tionghoa di Ranah Minang dan menghanguskan eksistensi tionghoa sebagai 'dunsanak' dalam memori kolektif Orang Minang. Etnis Tionghoa yang semulanya dikenal sebagai bangsa lain dalam konteks keberagaman sebagaimana harmoni warna-warna pelangi, menjadi bangsa lain dalam konteks minoritas dan 'sang liyan' (the other).          

Perubahan zaman, dari zaman pendudukan kolonial menjadi zaman kemerdekaan, belum optimal dalam membangkitkan semangat kolektif masyarakat Sumatera Barat untuk menggali kebudayaan warisan leluhur dan menjadikannya sebagai bagian dari jati diri.

Tidak heran bila, mayoritas generasi Minangkabau ataupun generasi Orang Minang Tionghoa di masa sekarang, cenderung tidak akrab lagi dengan filosofi akar Tionghoa. Implikasinya, mayoritas masyarakat tradisional Minangkabau dan Orang Minang Tionghoa, tidak bisa menentukan atau membedakan motif akar tionghoa dengan motif ukiran tradisional Minangkabau lainnya ketika menyaksikan secara langsung di Rumah Gadang.

Implikasinya, spirit zaman yang terkandung dalam akar Tionghoa sulit untuk diwarisi masyarakat tradisional Minangkabau ataupun etnis Tionghoa, terutama kalangan generasi muda. Ukiran akar Tionghoa menjadi sekadar hiasan yang memiliki fungsi estetik tanpa kandungan filosofis yang diserap sebagai bagian dari jati diri bangsa.

Padahal, eksistensi akar Tionghoa sangat penting bagi masyarakat Indonesia terutama bagi Orang Minang dan Orang Tionghoa Minang. Keberadaan akar Tionghoa melukiskan jalinan sinergi dan kolaborasi antarbangsa yang berbeda dalam membangun peradaban.

Perlu adanya kerjasama lintas sektoral yang menjalin relasi masyarakat tradisional Minangkabau dan etnis Tionghoa untuk menghidupkan dan melestarikan filosofi akar Tionghoa di Era Mutakhir. Dalam tradisi Minangkabau tindakan ini lazim disebut mambangkik batang tarandam atau membangkitkan batang terendam dalam bahasa Indonesia.  

Bila diselenggarakan, upaya ini tidak hanya memicu pelestarian ukiran tradisional Minangkabau dan Rumah Gadang, tetapi juga menumbuhkan benih-benih kolaborasi dan sinergitas untuk membangun peradaban Minangkabau di Era Mutakhir.

Referensi


Erniwati. 2007. Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak.


Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi II, Pokok-pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta.


Marthala, Agusti Efi. 20014. Penghulu dan Filosofi Pakaian Kebesaran, Konsep Kepemimpinan Tradisional Minangkabau.Bandung: Humaniora.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun