Sebagaimana Buddha, Taoisme dan Konghucu sesungguhnya tidak bisa dinilai sebagai agama dalam pengertian konvensional. Ketiganya tidak memiliki sosok yang bisa disebut seagai mesias, rasul, nabi, ataupun tuhan.
Sosok Gautama yang membawa ajaran Buddha adalah seorang filsuf atau cendikiawan. Demikian pula dengan Laozhi yang membawa ajaran Taoisme (Daoisme) dan Konghucu yang membawa ajaran Konfusianisme, sama-sama filsuf atau cendikiawan.
Ajaran Tridharma yang dikenal sebagai agama etnis Tionghoa sesungguhnya lebih mengarah pada sistem pemikiran yang banyak memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan filsafat timur. Bila ajaran Buddha menekankan pada spiritulitas yang terkait dengan hubungan dengan diri sendiri atau kesalehan eksistensial, Taoisme mengarah pada spiritualitas yang terkait dengan hubungan antarsesama manusia atau lazim disebut sebagai kesalehan sosial. Di sisi lain, Konghucu memusatkan spiritualitas pada konektivitas manusia dengan alam atau lazim disebut sebagai kesalehan lingkungan.
Tidak heran bila konsep sistem religi/kepercayaan etnis Tionghoa dikenal sebagai Tridarma di bawah satu atap tempat ibadah yang disebut Kelenteng. Di Kampung Pondok dikenal kelenteng See Hien Kiong. Ritual-ritualnya menekankan penghormatan pada leluhur. Sebab, pada dasarnya, ketiga sistem religi/kepercayaan tersebut bukan agama yang dinilai secara konvensional, baik monoteisme ataupun politeisme, melainkan filosofi kehidupan untuk menuntun manusia mengatasi penderitaan, serta menjadi manusia yang berbudi luhur dan berbudi pekerti mulia.
Sistem teknologi
Sebagai bagian dari masyarakat modern, sistem teknologi etnis Tionghoa di Sumatera Barat khususnya Kampung Pondok, sudah beradaptasi dengan perkembangan teknologi global. Indikasi ini bisa kita lihat di toko-toko eletronik yang dimiliki atau dikelola etnis Tionghoa di Kampung Pondok.
Selain teknologi yang bersifat konvensional, terdapat pula beberapa teknologi khas Tionghoa lainnya, seperti teknologi pemakaman dengan kremasi (krematorium), teknologi pangan dengan pengadaan mesin pembuat mie, hingga teknologi di bidang kesehatan berupa obat herbal dan akupuntur. Jejeran teknologi ini sudah tidak bisa lagi memenuhi sebagai unsur kebudayaan yang menadi ciri khas etnis Tionghoa karena sudah adopsi masyarakat dari etnis lainnya dan menjadi milik umum.
Arsitektur merupakan merepresentasikan salah satu dari segelintir teknologi yang merepresentasikan identitas Tionghoa. Ciri khas arsitektur tersebut dipengaruhi filsafat dari ajaran Tridarma' Konfusianisme, Taoisme, dan Budhisme.
Pengaruh tridarma dalam arsitektur khas Tionghoa, terutama Taoisme, terlihat pada konsep konsep keseimbangan dalam kehidupan yang diatur dualitas Yin-Yang dan Feng Shui. Dalam ajaran Taoisme, Yin-Yang dikenal sebagai dualitas energi kehidupan. Sisi Yang sebagai energi positif, jantan, terang, kuat, buatan manusia. Sisi Yin digambarkan sebagai energi negatif, betina, gelap, menyerap elemen.
Di sisi lain, terdapat pula Feng Shui dalam arsitektur khas etnis Tionghoa. Feng Shui merupakan kompas kehidupan yang mengatur keseimbangan elemen alam seperti angin, air, tanah dan logam. Penerapan feng shui dalam bangunan bertujuan supaya manusia bisa memanfaatkan gaya-gaya alam dari bumi dan menyeimbangkan Yin dan Yang dalam pendirian bangunan. Bagunan yang sesuai dengan aturan feng shui dipercaya membantu manusia untuk memperoleh energi kehidupan (Qi) berupa kesehatan dan vitalitas yang berkualitas tinggi.
Selain arsitektur pada bangunan, ornamen Tiongkok turut menyemarakkan bangunan khas Tionghoa di Kampung Pondok seperti kaligrafi Tiongkok (kanji) dan lampion. Keberadaan patung leluhur (disebut sebagai dewa-dewa) semakin menyempurnakan eksistensi kebudayaan Tiongkok pada bangunan warga Tionghoa di Kampung Pondok.