Wushu mengharuskan kerjasama otot-otot motorik yang terlatih. Kesenian gambang mengharuskan kerjasama berbagai instrumen musik untuk menghasilkan nada yang tidak sekadar merdu, tetapi juga mengandung magis dan menyentuh kalbu. Tarian barongsai tidak bisa dimainkan atau ditarikan oleh satu orang. Sipasan mengharuskan kerjasama ratusan orang; mulai dari mempersiapkan ratusan tandu yang membentuk sipasan, para pemikul, pemandu, rute jalan yang bisa ditempuh, dan dan berbagai kerja berat lainnya.
Seluruh kesenian khas Tionghoa tersebut selalu mencuat dalam perayaan Imlek di Indonesia khususnya di Kota Padang. Walaupun berasal dari kebudayaan Tionghoa, segala kesenian tersebut telah beradaptasi dan menjalani proses akulturasi dengan kebudayaan Minangkabau. Hal ini terlihat dari pementasan seni pertunjukan Minangkabau nyaris tidak pernah absen dalam pertunjukan seni dari kebudayaan Tionghoa. Bahkan, kebudayaan Minangkabau dalam kesenian dari kebudayaan Tionghoa bisa disatupadukan, seperti anak-anak yang memakai pakaian adat Minangkabau dalam kesenian 'sipasan'.
Penggunaan bahasa Minang oleh etnis Tionghoa dalam kerumunan perayaan Imlek, terutama etnis Tionghoa dari Kampung Pondok, (bahasa Minang Pondok) dalam keramaian perayaan Imlek semakin menegaskan proses adaptasi etnis Tionghoa di Kampung Pondok berlangsung secara total.
Dengan demikian, kesenian Tionghoa bukan sekadar seni pertunjukan yang menghadirkan sekadar cita rasa estetik; melainkan berfungi sebagai sarana sosialisasi, menumbuhkan perasaan kekeluargaan, serta semangat persatuan dan kesatuan antar etnis Tionghoa dengan seluruh lapisan masyarakat khususnya dengan Orang Minang.
Sistem Religi/Kepercayaan
Pada dasarnya, sistem religi/kepercayaan etnis Tionghoa adalah Tridarma atau gabungan dari Buddha, Taoisme, dan Konghucu. Sejauh jangkauan pengetahuan penulis, ketiga sistem religi/kepercayaan etnis Tionghoa memiliki perbedaan yang signifikan dengan agama yang dipahami secara konvensional oleh mayoritas masyarakat di Indonesia yang menganut agama-agama Abrahamik khususnya Islam. Dalam artian, sistem religi/kepercayaan etnis Tionghoa lebih mengarah pada kebudayaan yang memiliki nilai spiritualitas dan tidak mengikat seperti agama-agama konvensional.
Buddha yang dibawa Siddharta Gautama tidak diniatkan sebagai agama. Justru, Buddha menolak segala bentuk peribadatan. Buddha muncul karena agama konvensional di zaman kehidupan Gautama, rentan dimanipulasi oleh pihak yang memiliki hak otoritas dan cenderung bersifat dogmatis/doktrinir yang dipenuhi harapan fatalistik. Implikasinya, agama di zaman kehidupan Gautama tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan spiritual seperti ketenangan hati (jiwa) dan pikiran.
Ajaran Buddha atau dikenal Buddhisme penuh dengan praktik meditasi yang dalam dunia kedokteran dikenal sebagai praktik relaksasi, penyembuhan trauma, dan pemulihan kerusakan sistem saraf.
Tripitaka yang dikenal sebagai kitab suci Buddha berisi nasihat-nasihat yang sering dimunculkan dalam bentuk kisah atau cerita rakyat. Banyak nasihat dalam Tripitaka yang bersifat universal. Seseorang bisa bisa menjalankan nasihat dalam Tivitaka tanpa perlu menganut Buddha. Bahkan, banyak aturan perilaku dan moralitas konvensional yang sesuai dengan ajaran Buddha.
Penempatan Buddha sebagai agama resmi di Indonesia sesungguhnya sering menjadi perdebatan para ahli Buddhisme. Upaya penempatan Buddha sebagai agama resmi mengakibatkan perubahan pemaknaan ajaran Gautama dari ajaran Buddha yang menekankan pada spiritualitas tanpa insitusi beralih menjadi spiritualitas di bawah payung institusi religi; dari ajaran yang menolak segala bentuk perubadatan, menjadi ajaran yang rentan dinilai memiliki peribadatan khusus. Ajaran Buddha yang semulanya tidak memerlukan rumah ibadah menjadi agama yang menghadirkan rumah ibadah yang disebut vihara. Ritual agama Buddha yang menghadirkan patung-patung Buddha menimbulkan secara tidak langsung upaya penempatan Gautama sebagai tuhan.
Padahal, inti dari ajaran Buddha adalah berbuat baik dan tujuan menjalani ajaran Buddha adalah menjadi orang baik. Seseorang yang berbuat baik dan memiliki tujuan menjadi orang baik sesungguhnya telah memenuhi konsep hidup Buddhisme meskipun tidak menganut Buddha. Itulah sebabnya Buddha relatif jauh dari konflik kepentingan yang dilatarbelakangi agama.