Pepatah-petitih tersebut menegaskan bahwa tujuan merantau adalah untuk mengubah menjadi lebih baik. Daripada menjadi seseorang yang tidak berguna di negeri sendiri, lebih baik merantau. Melalui merantau, seseorang bisa membagikan pengalaman (keahlian/keterampilan) yang dimilikinya di kampung halaman, sehingga bisa bermanfaat bagi kaum di negeri rantau. Melalui merantau, seseorang juga bisa menggali ilmu pengetahuan baru, mengembangkan relasi, mempelajari keahlian (keterampilan) baru, dan tentunya berperan aktif dalam berkarya untuk membangun negeri rantau.
Agama Islam yang dianut sebagian besar Orang Minang pun menganjurkan merantau sebagaimana anjuran Imam Syafii (767-820 M). Anjuran Imam Syafii untuk merantau tercermin dalam bait-bait berikut:
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa
jika di dalam hutan.
(Imam Syafii dikutip dari Negeri Lima Menara karya A. Fuadi)
Merantaulah. Gapailah setinggi-tingginya
impianmu. Bepergianlah. Maka ada lima keutamaan untukmu
Melipur duka dan memulai penghidupan baru
Memperkaya budi, pergaulan yang terpuji,
serta meluaskan ilmu.
(Syair syair Imam Syafii - dikutip dari Rantau Satu Muara karya A. Fuadi)
Keunggulan etnis Tionghoa perantau menjadikan mereka sebagai teladan bagi Orang Minang yang merantau. Tidak heran bila akar Tionghoa menjadi salah satu ukiran utama di Rumah Gadang sebagaimana yang tercermin dalam pepatah-petitih berikut: