Mohon tunggu...
Eka Fitriani
Eka Fitriani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Mahasiswa Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Syarat Kerja Berpenampilan Menarik: Diskriminasi Berkedok Estetika?

13 Juni 2024   01:20 Diperbarui: 13 Juni 2024   01:26 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di Indonesia, seringkali kita masih menemukan lowongan pekerjaan yang menambahkan persyaratan "berpenampilan menarik". Meskipun terlihat sepele, frasa ini sebenarnya memiliki potensi besar untuk memicu diskriminasi dan mengesampingkan kelompok tertentu. 

Pada dasarnya, persyaratan tersebut menempatkan penilaian subjektif pada aspek fisik seseorang, yang tidak relevan dengan kemampuan atau kualifikasi pekerjaan yang sebenarnya diperlukan. Hal ini dapat mengakibatkan diskriminasi terhadap individu-individu yang mungkin tidak memenuhi standar kecantikan yang ditetapkan oleh norma-norma sosial atau budaya tertentu. 

Selain itu, persyaratan "berpenampilan menarik" juga dapat menjadi alasan bagi perusahaan untuk lebih memilih kandidat yang memiliki penampilan fisik yang dianggap "ideal", tanpa memperhatikan keahlian atau pengalaman kerja yang lebih penting untuk posisi tersebut. 

Dengan demikian, upaya untuk mengurangi atau menghapus frasa ini dari lowongan pekerjaan menjadi langkah yang penting dalam memastikan adanya kesempatan kerja yang adil dan setara bagi semua orang. 

Apa yang Dimaksud dengan "Berpenampilan Menarik"?

Istilah "berpenampilan menarik" sering kali diartikan secara sempit, merujuk pada standar kecantikan dan ketampanan fisik yang umumnya diterima oleh masyarakat. Standar ini seringkali mencakup aspek-aspek seperti memiliki wajah yang dianggap cantik atau tampan secara konvensional, tubuh yang dianggap ideal menurut norma sosial, rambut yang terawat dan tertata dengan rapi, serta memakai pakaian yang dianggap modis atau sesuai dengan tren mode terkini. 

Penafsiran ini seringkali menyebabkan penekanan yang berlebihan pada penampilan fisik, seringkali mengabaikan keunikan dan keindahan yang beragam di dalam masyarakat. Sementara itu, kecantikan sejati dapat ditemukan dalam berbagai bentuk dan ekspresi, melampaui batasan-batasan sempit yang ditetapkan oleh standar keindahan yang seringkali bersifat subjektif.

Dampak Negatif Syarat "Berpenampilan Menarik"

Penerapan kriteria ini dalam proses rekrutmen kerja membawa konsekuensi negatif yang tidak dapat diabaikan. Salah satu dampak utamanya adalah potensi terjadinya diskriminasi. Pelamar kerja yang tidak memenuhi standar kecantikan atau ketampanan yang ditetapkan oleh perusahaan dapat secara otomatis tersingkir, meskipun mereka memiliki kualifikasi dan kompetensi yang sesuai. Hal ini tidak hanya melanggar prinsip kesetaraan dan keadilan dalam dunia kerja, tetapi juga dapat merugikan perusahaan dengan kehilangan bakat dan potensi yang berharga.

Dampak selanjutnya adalah penyempitan peluang kerja bagi kelompok-kelompok tertentu. Misalnya, bagi penyandang disabilitas, individu dengan warna kulit gelap, atau mereka yang memiliki ciri fisik tidak sesuai dengan norma, persyaratan ini menjadi penghalang untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini menciptakan ketidaksetaraan yang tidak seharusnya ada dalam dunia kerja yang inklusif dan beragam.

Selain itu, penerapan kriteria "berpenampilan menarik" juga dapat memperkuat stereotip yang tidak sehat. Stereotip bahwa penampilan fisik lebih penting daripada kemampuan dan kompetensi dalam menentukan kesuksesan di dunia kerja dapat merugikan semua pihak. Ini tidak hanya merugikan individu yang tidak memenuhi standar kecantikan, tetapi juga merugikan perusahaan dengan mempersempit basis talenta mereka.

Tidak hanya itu, syarat ini juga dapat menimbulkan dampak psikologis yang negatif bagi para pelamar. Mereka yang merasa tidak memenuhi standar kecantikan dan ketampanan dapat mengalami rasa tidak percaya diri dan kecemasan, yang pada gilirannya dapat menghambat performa mereka dalam proses rekrutmen. Ini berpotensi merugikan kedua belah pihak, dengan pelamar yang berpotensi melewatkan peluang karir dan perusahaan yang kehilangan bakat berharga.

Terakhir, dalam beberapa kasus, syarat "berpenampilan menarik" dapat digunakan sebagai alat untuk mengeksploitasi pekerja, terutama perempuan. Pemberian standar kecantikan yang tidak realistis dan menuntut mereka untuk mengubah penampilan demi mendapatkan pekerjaan menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak adil. Hal ini menciptakan ketidakstabilan dalam hubungan kerja dan mengabaikan nilai-nilai etika yang seharusnya mengatur dunia kerja yang profesional dan bermartabat.

Kontra di Indonesia

Di Indonesia, kecaman terhadap kriteria "penampilan menarik" dalam seleksi lowongan pekerjaan semakin meningkat. Berbagai kelompok masyarakat sipil dan aktivis tenaga kerja telah mengeluarkan kritik terhadap praktik ini yang dianggap diskriminatif.

Pada tahun 2020, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengecam syarat "penampilan menarik" dalam rekrutmen kerja dan menyerukan pemerintah untuk menghapusnya. KPI menegaskan bahwa kriteria tersebut melanggar hak asasi manusia dan merupakan bentuk diskriminasi gender.

Dalam upaya melawan praktik diskriminatif ini, masyarakat menggunakan media sosial dengan tagar #StopDiskriminasiPenampilan. Tagar ini menjadi platform bagi individu untuk berbagi pengalaman pribadi terkait diskriminasi dan memperjuangkan perubahan dalam sistem rekrutmen kerja.

Menuju Dunia Kerja yang Adil dan Inklusif

Untuk menciptakan dunia kerja yang lebih inklusif dan adil, langkah-langkah konkret harus diambil untuk menghapus syarat "berpenampilan menarik" dari lowongan kerja. Pertama-tama, pemerintah perlu mengeluarkan peraturan yang jelas yang melarang penggunaan syarat tersebut dalam proses rekrutmen. Langkah ini penting untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan mendorong praktik yang lebih adil di pasar kerja.

Selain itu, pendidikan dan kesadaran masyarakat juga perlu ditingkatkan. Edukasi tentang bahaya diskriminasi dalam rekrutmen berdasarkan penampilan fisik harus disebarkan secara luas. Dengan demikian, masyarakat akan lebih sadar akan pentingnya menghargai keberagaman dan menghindari diskriminasi dalam dunia kerja.

Selanjutnya, perusahaan harus menerapkan praktik rekrutmen yang adil. Mereka harus fokus pada kompetensi, kualifikasi, dan pengalaman pelamar kerja, bukan pada penampilan fisik mereka. Ini akan memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk diperlakukan secara adil dalam proses rekrutmen.

Tidak hanya itu, budaya inklusif di tempat kerja juga harus dibangun. Ini melibatkan menciptakan lingkungan kerja yang menghargai keberagaman dan menolak segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi berdasarkan penampilan fisik. Dengan menciptakan budaya yang inklusif, karyawan akan merasa lebih dihargai dan termotivasi untuk berkontribusi secara positif.

Dengan upaya bersama dari berbagai pihak, diharapkan dunia kerja di Indonesia dapat menjadi ruang yang lebih adil dan terbuka bagi semua orang, terlepas dari penampilan fisik mereka. Langkah-langkah konkret ini akan membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua individu untuk berkembang dan berkontribusi.

Sebagai penulis, saya yakin bahwa langkah-langkah untuk menghapus syarat "berpenampilan menarik" dari lowongan kerja adalah langkah yang sangat penting dalam membangun dunia kerja yang lebih adil dan inklusif. Diskriminasi berdasarkan penampilan fisik tidak hanya tidak adil, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip keberagaman dan kesetaraan yang seharusnya menjadi pondasi masyarakat yang maju.

Saya percaya bahwa pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam mengeluarkan peraturan yang melarang praktik diskriminatif ini. Langkah ini akan memberikan dasar hukum yang kuat dan mengirimkan pesan yang jelas bahwa diskriminasi tidak akan ditoleransi dalam proses rekrutmen.

Selain itu, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghargai keberagaman dan menghindari diskriminasi juga merupakan langkah yang krusial. Edukasi tentang dampak negatif dari diskriminasi berdasarkan penampilan fisik akan membantu mengubah persepsi masyarakat dan mendorong adopsi praktik yang lebih inklusif di tempat kerja.

Praktik rekrutmen yang adil dan fokus pada kompetensi, kualifikasi, dan pengalaman juga sangat penting. Setiap individu harus memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pekerjaan berdasarkan kualifikasi dan potensi mereka, bukan berdasarkan penampilan fisik mereka.

Terakhir, menciptakan budaya kerja yang inklusif adalah kunci untuk memastikan bahwa setiap orang merasa dihargai dan didukung dalam lingkungan kerja mereka. Ini tidak hanya menciptakan tempat kerja yang lebih positif dan produktif, tetapi juga memperkuat komitmen kita sebagai masyarakat untuk membangun dunia yang lebih adil dan setara bagi semua orang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun