Tidak hanya itu, syarat ini juga dapat menimbulkan dampak psikologis yang negatif bagi para pelamar. Mereka yang merasa tidak memenuhi standar kecantikan dan ketampanan dapat mengalami rasa tidak percaya diri dan kecemasan, yang pada gilirannya dapat menghambat performa mereka dalam proses rekrutmen. Ini berpotensi merugikan kedua belah pihak, dengan pelamar yang berpotensi melewatkan peluang karir dan perusahaan yang kehilangan bakat berharga.
Terakhir, dalam beberapa kasus, syarat "berpenampilan menarik" dapat digunakan sebagai alat untuk mengeksploitasi pekerja, terutama perempuan. Pemberian standar kecantikan yang tidak realistis dan menuntut mereka untuk mengubah penampilan demi mendapatkan pekerjaan menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak adil. Hal ini menciptakan ketidakstabilan dalam hubungan kerja dan mengabaikan nilai-nilai etika yang seharusnya mengatur dunia kerja yang profesional dan bermartabat.
Kontra di Indonesia
Di Indonesia, kecaman terhadap kriteria "penampilan menarik" dalam seleksi lowongan pekerjaan semakin meningkat. Berbagai kelompok masyarakat sipil dan aktivis tenaga kerja telah mengeluarkan kritik terhadap praktik ini yang dianggap diskriminatif.
Pada tahun 2020, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengecam syarat "penampilan menarik" dalam rekrutmen kerja dan menyerukan pemerintah untuk menghapusnya. KPI menegaskan bahwa kriteria tersebut melanggar hak asasi manusia dan merupakan bentuk diskriminasi gender.
Dalam upaya melawan praktik diskriminatif ini, masyarakat menggunakan media sosial dengan tagar #StopDiskriminasiPenampilan. Tagar ini menjadi platform bagi individu untuk berbagi pengalaman pribadi terkait diskriminasi dan memperjuangkan perubahan dalam sistem rekrutmen kerja.
Menuju Dunia Kerja yang Adil dan Inklusif
Untuk menciptakan dunia kerja yang lebih inklusif dan adil, langkah-langkah konkret harus diambil untuk menghapus syarat "berpenampilan menarik" dari lowongan kerja. Pertama-tama, pemerintah perlu mengeluarkan peraturan yang jelas yang melarang penggunaan syarat tersebut dalam proses rekrutmen. Langkah ini penting untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan mendorong praktik yang lebih adil di pasar kerja.
Selain itu, pendidikan dan kesadaran masyarakat juga perlu ditingkatkan. Edukasi tentang bahaya diskriminasi dalam rekrutmen berdasarkan penampilan fisik harus disebarkan secara luas. Dengan demikian, masyarakat akan lebih sadar akan pentingnya menghargai keberagaman dan menghindari diskriminasi dalam dunia kerja.
Selanjutnya, perusahaan harus menerapkan praktik rekrutmen yang adil. Mereka harus fokus pada kompetensi, kualifikasi, dan pengalaman pelamar kerja, bukan pada penampilan fisik mereka. Ini akan memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk diperlakukan secara adil dalam proses rekrutmen.
Tidak hanya itu, budaya inklusif di tempat kerja juga harus dibangun. Ini melibatkan menciptakan lingkungan kerja yang menghargai keberagaman dan menolak segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi berdasarkan penampilan fisik. Dengan menciptakan budaya yang inklusif, karyawan akan merasa lebih dihargai dan termotivasi untuk berkontribusi secara positif.