Bayangkan, bisa-bisanya orang menjual tuak kepada bujang-bujang di bawah umur, biarpun alasan ekonomi, gila itu namanya.
Kedua, generasi ngacengan tumbuh di daerah yang jauh dari kontrol moral. Â Saya tidak hendak menjamin bahwa orang yang berpendidikan tidak berpotensi melakukan pelecehan, karena kasusnya banyak, guru mencabuli murid dsb, bahkan yang lulusan pesantren sekalipun.
Kontrol moral tidak bisa hanya dilakukan dari luar, melainkan juga harus didasarkan atas kesadaran tentang hal-hal semacam itu. Â Generasi ngacengan ini, kadang bukannya tidak mendapat pendidikan tentang moral, namun sikap individual itu menghalangi kesadaran mereka soal empati yang menjadi landasan pendidikan moral. Â Tepat apabila pelaku pencabulan juga dihukum untuk dicabuli ganti, dicabuli oleh gorila misalnya.
Ketiga, generasi ngacengan ini jelas memiliki ketidak mampuan untuk memanage otongnya dengan baik. Â Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan untuk memenuhi keinginannya sendiri dengan cara yang melanggar norma-norma yang ada. Â Individualisme yang cenderung eksploitatif serta kurangnya kesadaran akan susila memicu mereka untuk melakukan hal-hal demikian.
Jika ditanya adakah cara untuk mengobati atau vaksinasi terhadap generasi ngacengan ini, maka jawabannya, ada, yaitu berhentilah untuk tidak peduli. Â Juga, dilarang ngaceng di sembarang tempat!.
Â
*tulisan ini pernah dimuat di http://www.pojoksamber.com/generasi-ngacengan/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H