Miris!, biadab!, asu!, jiaangkreek!.
Â
Ingin rasanya saya mengencingi wajah-wajah keduabelas tersangka yang dengan keji memperkosa anak SMP hingga meninggal itu, tapi sayang, saya sudah kencing tadi. Â Peristiwa memilukan yang terjadi di Rejang Lebong, Bengkulu itu harusnya menjadi puncak yang mengawali momentum besar kita untuk membuka mata, bahwa, Indonesia ini sedang dalam keadaan rawan pelecehan seksual.
Â
Bagaimana tidak, selain kasus diperkosa sampai matinya anak umur 14 tahun oleh 14 pemuda setelah mabuk 14 liter tuak, lalu jenazahnya ditemukan membusuk di hutan tanggal 4 bulan 4 kemarin, di kota Metro ada lagi kasus pelecehan seksual kepada anak TK yang diduga dilakukan justru oleh penjaga di dalam lingkungan institusi pendidikan itu sendiri, di tempat yang harusnya aman bagi siapa saja, terutama anak-anak.
Â
Kasus-kasus di atas hanyalah beberapa frame dari sekian panjang rentetan potret kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Indonesia. Â Menilik data KPAI dari tahun 2010 hingga 2014, ada lebih dari 12 juta kasus pelanggaran seksual kepada anak Indonesia. Â Jika dibuat permisalan, kasus di atas hanya sejumlah dua potong frame dari sekitar 12 juta frame kasus atau 300.000 roll negatif film yang jika dibentangkan akan mencapai 365 kilometer. Â Itu baru terhadap anak, dan belum data 2015-2016, bagaimana total secara global?.
Â
Ada apa dengan negara yang katanya kental dengan budaya religius ini?, jika kita menengok ke India yang sarat dengan ragam aliran spiritual itu, mungkin pikiran nakal kita akan menghubungkan tingkat religiusitas terhadap tingkat kekerasan seksual, alih-alih mengharapkan keduanya berbanding terbalik, justru kita malah melihat garis-garis dalam diagram statistik itu seolah mesra berjalan ke arah yang sama. Â Arab?, Malaysia?, silahkan cari tahu sendiri datanya.
Â
Berbagai teori tentang sebab-musabab terjadinya aksi pelecehan dikemukakan oleh para pakar, rancangan dan ide-ide hukum untuk membuat jera para pelaku digelontorkan, termasuk hukuman kebiri(Saya jadi ingat almarhum kucing saya dulu yang mati kesepian selepas dikebiri). Â Tapi efektifkah menekan angka pelecehan seksual?, tidak juga, buktinya makin banyak saja kasusnya.
Â
Saya pikir, hal-hal semacam ini bermula dari kebiasaan untuk tidak peduli. Â Masyarakat kita sudah keracunan sikap individualis-apatis, sehingga abai terhadap lingkungan dan apa saja yang ada di luar dari bagian entitas kita sendiri. Â Ketidakpedulian itu, yang membuka celah terhadap kejahatan-kejahatan yang terjadi di sekitar kita. Â Sikap individualistik yang linier dengan kapitalis memunculkan tingkah ke'aku'an yang lebih anarkis dengan memandang apa yang ada di luar itu "tidak penting", kecuali bermanfaat bagi diri sendiri. Â Sehingga, yang timbul adalah usaha untuk mengeksploitasi segalanya untuk memuaskan hasrat pribadi.
Â
Celakanya, meminjam istilah dari salah satu kawan saya, kita ini sekarang dikepung oleh sekelompok 'generasi ngacengan'. Â Yaitu generasi yang dikit-dikit ngaceng ketika lihat sesuatu yang menurutnya sensual, lebih sering berpikir untuk keperluan burungnya sendiri, disertai gagap pengetahuan, latah terhadap hal negatif dan terkikis sisi humanis-nya.
Â
Kemajuan teknologi yang kerap jadi kambing hitam itu lebih disalahpahami oleh generasi ngacengan ini sebagai media untuk mengeksplorasi hal-hal negatif, misal, streaming film porno.
Â
Apa pasal terciptanya generasi ngacengan ini?. Â Pertama jelas paham individualis yang menyerang dan mengelilingi masyarakat kita. Â Di satu sisi, masyarakat dijauhkan dari rasa tanggung jawab untuk menjaga pendidikan moral generasi penerus, karena sudah terlalu pusing berfikir tentang masalah ekonomi.
Â
Di sisi lain, bakal generasi ngacengan ini juga yang terbiasa diabaikan serta tidak mendapat pengetahuan yang cukup untuk menjadi manusia, yang ada, mereka yang terbiasa 'sendiri' ini terpupuk bibit individualisme-nya, justru mendapat asupan hal-hal yang asusila secara bebas tanpa pendampingan.
Â
Bayangkan, bisa-bisanya orang menjual tuak kepada bujang-bujang di bawah umur, biarpun alasan ekonomi, gila itu namanya.
Kedua, generasi ngacengan tumbuh di daerah yang jauh dari kontrol moral. Â Saya tidak hendak menjamin bahwa orang yang berpendidikan tidak berpotensi melakukan pelecehan, karena kasusnya banyak, guru mencabuli murid dsb, bahkan yang lulusan pesantren sekalipun.
Kontrol moral tidak bisa hanya dilakukan dari luar, melainkan juga harus didasarkan atas kesadaran tentang hal-hal semacam itu. Â Generasi ngacengan ini, kadang bukannya tidak mendapat pendidikan tentang moral, namun sikap individual itu menghalangi kesadaran mereka soal empati yang menjadi landasan pendidikan moral. Â Tepat apabila pelaku pencabulan juga dihukum untuk dicabuli ganti, dicabuli oleh gorila misalnya.
Ketiga, generasi ngacengan ini jelas memiliki ketidak mampuan untuk memanage otongnya dengan baik. Â Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan untuk memenuhi keinginannya sendiri dengan cara yang melanggar norma-norma yang ada. Â Individualisme yang cenderung eksploitatif serta kurangnya kesadaran akan susila memicu mereka untuk melakukan hal-hal demikian.
Jika ditanya adakah cara untuk mengobati atau vaksinasi terhadap generasi ngacengan ini, maka jawabannya, ada, yaitu berhentilah untuk tidak peduli. Â Juga, dilarang ngaceng di sembarang tempat!.
Â
*tulisan ini pernah dimuat di http://www.pojoksamber.com/generasi-ngacengan/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H