Konsep Kekuasaan -- Politik Plato
Kekuasaan itu sendiri berarti kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain dan bertindak menurut keinginan sendiri (Budiardjo, 2009). Kekuasaan memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan arah kebijakan nasional. Melalui kekuatan besar yang dimiliki penguasa, ia mengontrol tindakan warganya melalui perangkat represif, membuat mereka patuh mematuhi semua perintah dan perintah penguasa. Tentu saja syarat perintah yang harus dipatuhi membawa manfaat dan kebaikan, tetapi perintah yang mendatangkan malapetaka dan merugikan pemerintah tidak perlu dipatuhi, bahkan dikritik atau ditolak. Misalnya melalui kemandirian masyarakat sebagai unit masyarakat madani.
Sebab filsafat politik itu merupakan konsepsi ideal mengenai suatu negara dan kekuasaan, di mana kepentingan bersama dipertaruhkan, dan kepentingan bersama dapat dicapai melalui pengetahuan politik yang baik. Setidaknya menurut Aristoteles atau Plato, filsafat politik ibaratkan sebuah obat bagi penyakit (konflik) agar dapat disembuhkan. Bahkan jika suatu konflik sosial tersebut sulit untuk diselesaikan atau ditenangkan.
Filsafat politik merupakan upaya untuk mencari kebahagiaan atau kesenangan sejati. Kesenangan dan kebahagiaan tertinggi itu dapat dicapai ketika orang-orang dalam konteks politik tidak hanya mengutamakan kesenangan sensual (indrawi). Kebahagiaan politik akan datang ketika orang -- orang lebih menomor satukan kesenangan di dunia idela (sebuah dunia ideal yang terdapat di dalam dunia ideal pula). Oleh karena itu, Plato berkeyakinan bahwa suatu negara akan mewujudkan cita-citanya, dimana semua warganya senang jika negara tersebut di pimpin oleh; raja filsuf. Orang yang sudah mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi adalah Raja Filsuf (dalam terminologi filosofis Plato).
Konsep Kepemimpinan Plato
Plato percaya bahwa manusia memiliki tiga bagian utama. Tiga bagian itu terdiri dari bagian kepala, bagian dada, dan bagian perut. Kepalamu adalah kebijaksanaan, hatimu adalah nafsu, dan perutmu penuh dengan nafsu. Pada konteks kali ini, pemimpin yang ideal adalah orang bijak yang kepalanya (akal) adalah panglima, mereka yang percaya pada akal bisa menjadi pengarah dan sebagai pemimpin baik yang menggunakan akal ketimbang bagian tubuh lainnya. Sedangkan orang yang lebih menggunakan semangat hati yang terbakar -- bakar (dada) lebih ideal menjadi seorang prajurit, dan mereka yang mengutamakan perut lebih ideal menjadi seorang pedagang.
Gagasan Plato bermula dari situasi genting di Athena pascaserangan Sparta. Negara-kota Athena membentuk sistem demokrasi yang akhirnya dihancurkan oleh serangan brutal Negara Kota Sparta, yang merupakan salah satu negara-kota paling kuat di Yunani kuno, negara-kota Sparta membentuk sistem komandan militer dengan kebijakan bahwa setiap warga negara adalah seorang prajurit yang siap dimobilisasi untuk pertempuran besar dan penyerangan negara kota lain. (Menurut Suhelmi, 2007)
Politik Plato merupakan reaksi atas kehancuran negaranya sendiri oleh invasi negara lain, sehingga tidak mengherankan jika filosofi politiknya memengaruhi model pemerintahannya. Pemerintah menghadapi kesulitan dan mungkin menghadapi kebangkrutan elit penguasa. Oleh karena itu, inti dari gagasan Plato adalah bagaimana pemerintahan yang ideal dapat dibentuk menjadi pemerintahan yang kuat, adil, adil dan makmur.
Model bangsa Plato adalah model parenting yang menekankan ide kepemimpinan dan kebaikan. Sayangnya, kisah raja atau ratu seorang filsuf tidak selalu cocok untuk dunia politik (gua gelap). Di bawah keadaan ini, dialektika keadilan dan pendidikan raja atau ratu filsuf masa depan didirikan. Logo raja atau ratu filsuf terdiri dari dua risalah mistik tentang eskatologi.
Menurut Plato, suatu pemerintahan harus dan lebih cocok dipimpin oleh seorang filsuf, seseorang dengan kecerdasan intelektual, cerdik, pandai atau cendikiawan. Maka dari itu kedudukan pemerintahan tidak terbuka bagi semua orang kecuali orang -- orang yang bijaksana dan cerdas yang berhak atas takhta. Pemikiran Plato mengenai seorang filsuf yang lebih pantas menjadi pemimpin memiliki alasan, baginya seorang filsafat lebih mengetahui dan paham mengenai persoalan kehidupan dan jika dibandingkan dengan orang biasa maka tidak sama, karena pada umumnya orang biasa kurang memahami akan hal itu. Alasan lainnya adalah bagi Plato, seorang filsafat memiliki pengetahuan yang amat luas, maka dari itu seorang filsafat akan lebih tahu dalam menentukan kebijakan pemerintahan yang tepat dan cepat dari banyaknya persoalan masalah di kehidupan masyarakat.
Mengikuti inspirasi-inspirasi Plato mengenai training sebagai calon pemimpin masa depan, kita bisa melihat contoh kepemimpinan Northouse ketika ini, yg sinkron menggunakan Plato buat menemukan contoh otentik. Alasan buat ini merupakan bahwa properti & kebenaran Platon, sebagaimana adanya, bisa sebagai mungkin, atau hal-hal tunduk & berkecimpung dalam ketika yg sama.