Mengapa ayah tega membiarkan ibu berlayar
dalam samudra kepedihan seorang diri
Laci memori usang ini menyimpan seribu pertanyaan
dalam bungkam
Sampai detik ini aku tak pernah tahu ayahku kemana. Sudahlah, aku tak begitu berharap banyak padanya. Entah sudah berkalang tanah aku juga tak tahu. Tapi, hari demi hari kulewati kekecewaan demi kekecewaan pada ayahku. Dalam setiap sujudku, aku berharap pada Tuhan semoga penderitaan yang diderita ibuku dapat berakhir.
Biarlah sesosok ayah menjadi bayangan semu dalam kehidupanku. Selamat tinggal padamu, walau kita tak pernah bertemu, takkan pernah kubangun menara kerinduan untukmu.
Selamat tinggal untukmu ayah, aku takkan mengenangmu kembali. Karena hari telah berlalu mengatupkan diri laksana teratai mengakhiri hari.
"Jadilah sosok wanita yang tangguh dan berani menghadapi apapun dalam kehidupan nanti. Dan jadilah jiwa yang merdeka dan bergerak di udara", kata- kata terakhir yang ibu ucapkan padaku yang sampai saat ini terpatri dalam hatiku.
***
Tiga tahun kemudian ibuku tidak bekerja di garment lagi. Dengan mesin usang yang ada di rumah, ibu sekarang bekerja sebagai penawar jasa. Menjahit potongan-potongan kain dan dijadikan sebuah taplak meja dan alas kaki. Begitu unik kreasi ibuku. Dan aku pun kembali tinggal bersamanya. Aku bangga memiliki ibu, ia seperti lentera yang selalu menerangi jejak langkahku.
Hari ini kujalani aktivitasku selayaknya hari-hari sebelumnya. Telepon genggamku tiba-tiba berdering. Saat kuangkat, "Hallo, selamat pagi! Dengan siapa?" tanyaku lirih.