Mohon tunggu...
Justin Alfret Jaflean
Justin Alfret Jaflean Mohon Tunggu... Pustakawan - Mahasiswa

Just to learn to develop linguistic skills!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

24 Jam Bersama Hobertina

22 September 2024   18:48 Diperbarui: 22 September 2024   19:40 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Olivia, begitu orang-orang memangilnya di manapun dia berada. Tetapi aku memanggilnya Hobertina, ia adalah tunanganku sekaligus teman masa kecilku.

Hobertina mengidap penyakit jantung bawaan   yang bisa kambuh kapan saja, meskipun begitu ia selalu nampak ceria menghadapi hari-harinya bersamaku. Ia memiliki watak yang keras, sehingga apa yang ia inginkan akan ia usahakan hingga ia dapatkan. Meskipun begitu ia memiliki hati yang lembut dan sangat rendah hati, itulah mengapa aku mencintainya dan bahkan nekat melamarnya di saat kami masih di bangku kuliah.

Sejak remaja ia punya mimpi yang besar agar bisa ke negeri kincir angin, Belanda. Ia selalu tertarik dengan apapun yang berhubungan dengan negara itu dan setiap kali bersamaku ia selalu mengutarakan mimpinya itu. 

"Aku pengen lihat kincir angin"

"Aku pengen jalan-jalan ke Amsterdam"

"Aku pengen naik perahu di Rotterdam"

Ungkapan-ungkapan itu sudah tak asing di telingaku walaupun kadang aku risih, aku selalu setia mendengar setiap curahan hatinya tentang impian-impiannya itu.

"Kapan?? Halu mulu!!"

Itulah kata-kata yang ku lontarkan untuk mengintimidasinya setiap kali ia membahas tentang impiannya ke Belanda, aku sengaja berkata ketus agar ia melupakan angan-angan dan mimpinya yang ketinggian itu. Namun seberapa banyak aku mengintimidasinya, ia tak pernah goyah pada pendirian akan mimpinya karena aku tahu wataknya yang memang keras.

Hari terus berlalu, hingga tak terasa besok hari ulang tahun Hobertina dan aku akan memberi kejutan kepadanya malam nanti.

Aku pun berangkat kerja dengan ceria sambil memikirkan hadiah yang cocok untuknya.

Aku yang saat itu sedang bekerja terkejut tatkala mendengar kabar kalau penyakit jantung Hobertina kambuh lagi dan ia tak sadarkan diri sehingga sedang berada di rumah sakit. Aku pun meninggalkan pekerjaanku dan bergegas ke rumah sakit dengan tergesa-gesa.

Sesampainya di sana, seluruh tubuhku seketika lemas melihat kondisinya yang nampak lemah terbaring dengan wajahnya yang sangat pucat. Aku tak habis pikir, mengapa justru orang-orang yang tangguh yang seringkali menderita sepertinya.

"Apa yang harus ku lakukan untuknya?"

Hanya kalimat itu yang selalu ku tanyakan pada diriku setiap kali ia terbaring lemas seperti itu, aku sangat mencintainya dan sangat takut kehilangan dirinya. Aku bahkan rela jika menggantikan posisinya saking besarnya rasa sayangku padanya, apapun akan ku lakukan untuk keselamatannya.

Aku melirik arlojiku, sudah pukul 10 malam dan sudah 12 jam berlalu setelah kedatanganku namun Hobertina belum menunjukan tanda-tanda ia akan sadar. Aku hanya terus berdoa dan harap-harap cemas semoga ia bisa segera sadarkan diri. 

Hatiku semakin perih tatkala waktu menunjukan jam 12 malam, perlahan air mataku menetes.

Aku berjalan mendekati ranjangnya dengan mataku yang masih sembap dan basah. 

"Selamat Ulang Tahun Sayang, semoga cepat sembuh." 

Aku berbisik lirih di telinganya dan mencium keningnya, ku genggam tangannya dan terus menangis hingga tanpa sadar aku pun terlelap di sampingnya.

Samar-samar kepalaku rasanya di elus-elus, sontak aku pun terbangun dari tidurku. Aku pun tak bisa menahan rasa senangku melihat Hobertina yang sudah duduk di hadapanku, aku pun memeluknya dengan haru.

Tak lama kemudian perawat pun datang dan memeriksa kondisinya, keadaanya sudah membaik, ia hanya butuh waktu istirahat yang cukup agar segera pulih. Mendengar hal itu aku pun bisa bernafas lega, ku lirik arlojiku menunjukan pukul  setengah 8 pagi. Aku pun pamit sebentar pada Hobertina untuk kembali ke rumah, ia pun hanya mengangguk setuju dan membiarkanku berlalu. 

Setelah dari rumah, aku pun bergegas ke kantorku dan memutuskan untuk mengambil cuti kerjaku selama sebulan. Tepat pukul 9 pagi aku kembali lagi ke Rumah Sakit sambil tersenyum, aku membuka pintu kamar Hobertina perlahan. Hobertina yang sedang sarapan pun sontak mendongak ke arah pintu, ia pun tersenyum melihat kehadiranku.

Aku berjalan menghampirinya dan mencium keningnya, aku menatapnya syahdu sambil tersenyum.

"Ayo kita lihat kincir angin!" Ucapku lirih sambil menunjukan dua amplop berisi tiket travel di tanganku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun