Mohon tunggu...
Arif Hidayat
Arif Hidayat Mohon Tunggu... -

yeehhaaaaaahhh..... udah gak kebalik lagiii :)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Keajaiban Lainnya di Desa Rangkat!] Bertani Kata di Ladang Makna...

21 Oktober 2010   15:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:13 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_298059" align="alignnone" width="300" caption="nyolong gambar dari lapaknya mommy... :)"][/caption]

Perlahan kabut mulai menampakkan hadirnya seiring pagi yang menyapa hati penghuni desa dalam hangatnya untaian kata indah yang bernama kine:

Kabut menyelimuti pagi

Daun-daun dikecupi embun tiada henti

Tenang,sunyi senyap suara alam terasa membisu di hamparan bumi

Tiada angin semilir hanya dingin terasa menusuk pori-pori

Sendirian ku bentang lagi

lembaran putih harus ku isi

****

Selamat pagi, dalam kayuh sepeda Onthel tuaku, biarkanlah aku pengelana dari poencak goenoeng menyampaikan kabar dari sahabatku di pinggir trotoar sana

aku mencumbumu lewat kata

tanda tanyaku selalu berspasi dengan koma

kegelisahanku membentuk opini

berkolaborasi berorintasi menjadi titik dua dan lain sebagainya

karena bagimu aku hanyalah kata tanpa suara...

****

Ah... Memang pagi itu indah sekali meskipun tanpa harum kopi yang biasa menghisasi suasana pagiku

"Mandi dulu sana! baru kubuatkan kopi!" kata mommy, meskipun aku tahu aku tetaplah manis sekalipun belum mandi :)

[caption id="attachment_298212" align="alignnone" width="500" caption="Printscreen dilapak mommy ( http://fiksi.kompasiana.com/group/prosa/2010/10/20/berkisah-di-desa-rangkat/ ) tentunya dengan sedikit Fiksi dalam penyajiannya... :)"][/caption]

Rupanya tadi malam baru saja turun hujan! dan sekali lagi tanah di desa mengucakan terima kasihnya kepada langit dari setiap jejak langkah yang menari dalam iringan rinai hujan

Aku ingin menari dibawah dekap sang hujan, katanya malam itu padaku, ditemani purnama...

Agar tak seorangpun melihatnya airmata yang menentes di kedua danau wajahnya...

Dan iapun berhak untuk menangis

Ah sudahlah... mungkin saja menangis dapat membuatnya bahagia, toh dia pun berhak untuk bahagia...

Belum lagi gumamku habis ditelan pagi, celoteh mommypun turut memecah pagi,

"Alamak.. kemana pula perginya asap dari api tungkuku!"

"Dicuri Mas Yayok barangkali!" sambutku! "dan barangkali juga orang yang sama yang mencuri hatimu"

Di mana api itu ada …

Kenapa masih terdeteksi indera ?

Walau sudah disembunyikan ?

Masih nampak mata

Begitulah sesuatu yang universal ..

Bisa dirasakan, tanpa diungkapkan ….

Tidak mengundang debat kusir ..

Hanya hati damai dan bahagia ..

Atas komunikasi kita ….

"Ah.. kurindu api itu" gumamnya lagi... "ini kopi untukmu! lekaslah kau bantu masmu, bangunlah desa ini, dan berikanlah makna padanya!"

cungkring … bukankah hidupmu di desa Rangkat,, singsingkan lengan baju .. kerja keras mengolah tanah dan membangun desa … membantu mommy kepala desa ….. bila ototmu sudah terbentuk …. ibarat sinar rembulan … tubuhmu bukan bulan sabit lagi … tapi membesar dan membesar mendekati bentuk purnama … konon, bu guru itu ……purnama dalam bahasa bugis …

****

Tanah ini memang terlalu berharga untuk kupijakkan begitu saja, terlalu banyak makna dalam lapisan kata yang membalurinya.

Aha! tidakkah kalian dengar itu kawan? riuh gemuruh dari riang para pemudi desa menggenapkan lagit di pagi ini. Dalam iringan alu yang bercanda dengan bulir-bulir padi, berharmoni dengan nyanyian yang bukan sekedar berlagu...

Pak ketipak ketipong...

Pak ketipak ketipong...

Pak ketipak ketipong...

Suara gendang bertalu-talu...

Pura-pura bingong...

Dalam hati siapa yang tahu...

Pak ketipak ketipong...

Pak ketipak ketipong...

Dan lagu indah yang menguntai dari setiap gumam penduduk yang bersahaja. Disaksikan Gurung Naras yang menopang langit biru seperti hari kemarin, sekarang dan esok... dan janjinya kepada harapan dan inspirasi...

melintas sepi secercah bersit kilat sinar lekat menjatuhkan tetes tetes air,oleh kepaknya

kemunang,disisa bekas hujan sedikit angin berbisik lewat daun daun.cericit jengkerik juga hewan malam lain perlahan kembali berderik derik, pun rembulan yang merambat menampil senyum eloknya:dialog hati

terlontarlah kesaksian penantian:tentang jalan kedepan,sejarah jua kan dilalu langkah berpaduan, seloka menyemai, ooo engkau duhai yang lembut jernih tatap hatinya…aku memuja “kan kuukir keping itu”,katamu, “ah ya,resaplah dalam asma dan amsal” kataku kemudian setapak demi setapak pagutan lewat hendak kembali menemu arah pada pijak cahya tentu :menepi “pada dendang Mangir dan Retno Pembayun rinduku, mentari indah lelap menemani sedang purnama menyinar lembut mesra menemumu rentang ruang panjang waktu ia pasti tertebus [kuusap perih mataku...] tuntas kudekap selaksa erat pelukmu tiada lepas” “sinar eloku” *dan ungkapan jujur untukmu: lalu angin yang bersisetia ditiap saat senantiasa membisikan salam sukacita:harapan

****

****

ahhhhhh... mati ide!!!!... lanjut yang lain, dimonggo..... hehehehe... :)

maap ya kalo nyambunginnya rada maksa dan gak seindah sentuhan para bidadari.... heheehee...

Salam Bidadara.... )

Cek TKP GAN,

Tentang lagu ini:

Lagu "Engkau Laksana Bulan" ini digubah oleh Maestro P. Ramlee, Artis (Aktor, Penyanyi dan Pencipta lagu) yang populer di Malaysia. Sedikit informasi yang jarang dketahui, P Ramlee sebenarnya berasal dari Indonesia, lebih tepatnya dari daerah Riau. Lagu ini sempat dipopulerkan di tahun 1990-an oleh seniman Rama Aiphama (versi-nya lah yang sebenarnya ingin saya upload di sini, tapi gak ketemu). Lagu ini sudah mengalami perubahan pada bagian reffrain-nya karena dinilai sangat pesimistis nuansa patah hatinya dan terkesan menyalahkan nasib kepada garis takdir dan sepengetahuan saya, sedikitnya ada 3 versi yang berbeda pada bagian reffrainnya... (link lagu versi aslinya ada di sini)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun