Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kota yang Mengidap Kanker di Jalan Raya

19 Desember 2016   20:56 Diperbarui: 21 Desember 2016   13:39 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana kota Vienna di Italia, salah satu kandidat most livable city (sumber : www.wien.info)

Dari dalam convinence store asal Jepang yang terletak di sisi tikungan, saya mengamati lalu lalang kendaraan yang cukup deras. Ini bukan waktu-waktu rush hour. Jarum arloji yang mencengkram pergelangan tangan kanan saya telah menunjukkan angka 10.20. Jelang siang, kepadatan di jalanan Bintaro yang seperti ini sudah ‘tidak normal’, pikir saya. 

Jalanan Bintaro yang ramai, kendaraan melambat  dan suara bising oleh deru kendaraan, biasanya hanya terjadi di jam-jam sibuk saja. Di luar waktu ketika pelajar dan para pekerja tumpah ruah bersatu dan bergegas pulang atau pergi ke tempat aktivitas, kendaraan masih bisa melaju dengan kecepatan tak kurang dari 40 Km/jam. Bintaro mestinya tidak seperti Jakarta yang kecepatan rata-rata kendaraanya, menurut catatan Waze, hanya 19 Km perjam. Setara kecepatan sepeda santai.

Kembali saya menyeruput segelas Ogura hangat sembari menatap ke luar jendela bening. Volume kendaraan di kawasan premium ini, tidak berubah. Pagi itu, tampaknya semakin kentara bahwa Bintaro perlahan digerogoti kanker jalan raya yang menular dari Jakarta.

Kota di Selatan Jakarta ini, berjalan menuju situasi lalu lintas yang juga diidap pusat metropolitan. Kemacetan, ketidaknyamanan dan kesemrawutan.

Ibu Kota telat membangun transportasi massal. Moda seperti busway baru mulai beroperasi tahun Januari 2004, ketika kepadatan di jalanan Jakarta mulai sulit terkendali. MRT dan LRT baru mulai digarap tahun 2013 dan (semoga tidak mangkrak) diprediksi dapat dinikmati tahun 2019. KRL dan kereta ekonomi mungkin lebih dulu eksis sebagai moda transportasi sejuta umat, itupun dengan situasi yang tidak memadai. Hingga akhirnya kereta ekonomi Jabodetabek disuntik mati dan KRL diremajakan.

Dibangun dan dikembangkan oleh developer swasta, Bintaro sebetulnya punya harapan masa depan yang lebih baik sebagai salah satu kota mandiri penyanggah metropolitan. Bangunan di Bintaro, seperti juga di kota-kota mandiri dan terpadu macam Karawaci, Cikarang, Alam Sutera atau BSD, tidak berdiri secara sporadis. Namun mengacu pada masterplan tata ruang yang manusiawi.

Pengaturan bangunan, jalan hingga pembagian pusat-pusat aktivitas didesain secara mekanis. Meskipun urbanisasi dan angka kelahiran yang tumbuh secara eksponensial tetap saja menimbulkan kepadata di kemudian hari.

Persis di pojok seberang convinence store semi café tempat saya duduk ini misalnya, sedang dibangun gedung jangkung. Apartemen setinggi 35 lantai yang bersebelahan dengan mall, restoran, pertokoan (ruko). Hunian baru ini, juga berjarak kurang dari 3 Km dengan beberapa lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Artinya, di kota-kota mandiri, mobilitas manusia diredam. Jikapun harus mobile, tak jauh-jauh amat.

Persoalannya, kota-kota mandiri seperti yang saya sebutkan di atas, justru banyak dihuni oleh mereka yang aktivitas hariannya di luar area tersebut. Maka satu tujuan pembangunan kota mandiri untuk memfokuskan aktivitas manusia dalam satu area, tidak tercapai.

Setiap pagi dan petang misalnya, jalan tol Jakarta-Serpong yang menghubungkan Ibu Kota dengan beberapa kota mandiri di Tangerang Selatan : Bintaro, Karawaci, Alam Sutera dan BSD dipenuhi mobil. Macet di jalur Jakarta-Serpong sudah ritual pagi dan petang. Di stasiun-stasiun antar kedua kota, antrean panjang mengular. Sementara gerbong-gerbong kereta telah penuh sesak.

Jika dari Serpong ingin tiba di Jakarta dengan cepat, pilihannya mengendarai sepeda motor. Menyelinap di jalan-jalan tikus. Tapi opsi ini jauh dari kata nyaman.

Selain varian opsi moda transportasi massal, solusi kedua untuk mengamputasi kanker lalulintas adalah konsisten menerapkan konsep dan tujuan kota terpadu, meminimalisir mobilitas ke luar kawasan. Tapi tampaknya, hal ini butuh strategi rekayasa disokong instrument policy.

Sembari policy diterapkan, public awarness perlu terus dibangun secara simultan. Sebab memilih hunian dan lokasi aktivitas harian adalah hak setiap orang. Wilayah privat yang tak bisa dintervensi, kecuali berubah karena kesadaran  pribadi.

BRT, sistem transportasi yang menjalar seperti jaring laba-laba yang siap mengatar warga Curitiba ke senatero kota. (sumber : wrirosscities.org)
BRT, sistem transportasi yang menjalar seperti jaring laba-laba yang siap mengatar warga Curitiba ke senatero kota. (sumber : wrirosscities.org)
Curitiba, salah satu kota berkembang di Brasil dan termasuk referensi penerapan sistem transportasi massal yang tersukses di dunia. Dari kota semrawut berpenduduk hampir setegah juta jiwa ketika busway (bus rapid transit/BRT) mulai dibangun, kini penduduk Curitiba telah tembus angka 1,8 juta jiwa tanpa kendala transportasi.

Sistem BRT ini terintegrasi bak jaring laba-laba yang menghubungkan satu sudut kota paling terpencil dengan bagian yang lainnya menggunakan bus. Curitiba adalah kota pertama mengintegrasikan unsur-unsur penting yang diperlukan untuk mengimplementasikan sistem busway yang efektif, tulis Drew Reed di The Guardian mengutip Andrés Fingeret, direktur Institute for Transportation and Development Policy di Buenos Aires.

Saking diminatinya karena berbagai kenyamanan yang diberikan, tahun 1993, dua tahun setelah diluncurkan, BRT ini mengangkut 1,5 juta perjalanan penumpang perhari. Kasarnya, satu warga Curitiba menggunakan perjalanan BRT rata-rata tiga kali dalam sehari.  BRT juga menerapkan sistem single tariff sehingga memungkinkan warga untuk bertukar bus dan bergerak di seluruh kota tanpa takut membayar mahal.

BRT memang memiliki banyak keunggulan, dari sisi kepraktisan hingga kenyamanan. Moda ini mengintegrasikan kebutuhan angkutan umum pesepeda dan pejalan kaki sehingga manusia dapat mobile secara efisien, cepat sekaligus menyenangkan selama perjalanan.

Waktu tunggu kendaraan dijadwal hanya 90 detik. Artinya, setiap 1,5 menit ada satu kendaraan melintas. Bus-bus tersebut mengangkut warga ke penjuru kota sehigga tidak terjadi penumpukan, apalagi antrian mengular seperti pemandangan yang jamak kita saksikan di halte TransJakarta dan peron KRL di Jabodetabek. Majalah Time menyebut busway Curitiba ini sebagai “long bus short time”.

Sistem transportasi yang solid dan mapan, mewujudkan resilensi kota. Menggeliminasi kemacetan lalu lintas, membatasi konsumsi energi, hingga mengurangi polusi udara. Selain manfaat sosial dan lingkungan, benefit ekonomi sangat konkret dinikmati warga. Produktivitas terdongkrak. Itulah alasan mengapa Curitiba selalu bertengger sebagai livable city, kota paling layak huni di dunia.  99% warga Curitiba bahkan mengaku puas dan bahagia dengan kotanya.

Ketika memimpin Curitiba sebagai Walikota, Jaime Lerner memang berjuang keras agar kota tersebut tidak menjadi kota mobil yang macet, padat dan sesak. Kebijakan itu tentu tidak populis dan ditentang oleh kelas menengah yang berpengaruh secara politik. Demikian pula pelaku bisnis mobil yang berkuasa dengan uangnya, uring-uringan karena kepulan asap dapur mereka terusik. Tapi sang Walikota dengan keteguhan hati, visi, dan kreativitas akhirnya sukses memimpin transformasi Curitiba.

Peta jalur LRT yang menjadi bagian penting dari sistem transportasi Jabodetabek masa depan (sumber : finansialku.com)
Peta jalur LRT yang menjadi bagian penting dari sistem transportasi Jabodetabek masa depan (sumber : finansialku.com)

Kembali ke realita kota-kota di Indonesia dan warganya yang unik. Orang-orang kota yang mapan di Indonesia egois. Tidak mau meredam gengsi dengan naik transportasi massal. Pernyataan ini ada benarnya bila diajukan dengan kondisi telah banyak opsi transportasi massal macam busway, KRL, MRT atau LRT. Tapi faktanya, saat ini moda transportasi massal masih sangat terbatas dengan keadaan (mohon maaf) jauh dari kata nyaman.

Adalah hak setiap orang melakukan mobilitas tanpa harus : bercucuran keringat atau mencium aroma tengik bau badan orang lain, berdiri berjejalan dan bahkan kerap jadi korban perbuatan asusila dan tindak kriminal lainnya. Ini bukan soal egoisme menggunakan kendaraan pribadi. Mereka yang menggunakan kendaraan pribadi, sebetulnya lebih karena keterpaksaan. Tak punya pilihan rasional yang mengenakkan.

Setelah kota mandiri macam Bintaro diambang kanker jalan raya yang dipastikan berdampak ke kehidupan sosial ekonomi warga, perlu terobosan baru dalam menata kota-kota di Indonesia. Kota, mestinya menjadi rumah utama warga. Tak dijauhi (berkedok wisata) di akhir pekan dengan mencari hiburan di kota atau daerah lain.

Proyek baru dan peremajaan transportasi massal seperti LRT, MRT, TransJakarta, Kereta Bandara serta KRL yang digadang-gadang saling terkoneksi, memunculkan secercah harapan menyelamatkan metropolitan dari kanker lalulintas. Paling tidak, sepanjang area yang dilintasi dan dijangkau oleh sistem transportasi massal tersebut, menjadi magnet baru bagi warga kota untuk menyapih diri dari jalanan Jakarta yang crowded.

Di wilayah timur Jakarta, ada Bekasi yang akan dijangkau oleh sistem transportasi metropolitan tersebut. Kereta ringan atau LRT bakal memangkas secar ekstrim waktu tempuh Jakarta-Bekasi menjadi hanya 30 menit. Tujuh kawasan industri di Cikarang, bakal terhubung dengan LRT dan utomated people mover system (APMS) yang dibangun oleh swasta.

Di sebelah selatan Jakarta, Cimanggis, Cibinong hingga Sentul juga terkoneksi dengan LRT. Pengembang seperti Agung Podomoro Land pun, telah membidik Cimanggis sebagai lokasi investasi strategis. Di kawasan yang berjarak tempuh 15 menit dari Jakarta (setelah terkoneksi LRT) tersebut, sedang dibangun apartemen berkonsep superblok, Podomoro Golf View yang berdiri di area seluas 80 hektar. Menyasar segmen keluarga muda dan professional muda, pihak Agung Podomoro Land berencana membangun 25 tower atau 37.000 unit apartemen.

Menariknya, karena mengusung konsep transit oriented development (TOD) yang menjadikan transportasi sebagai selling point, Podomoro berani melepas propertinya setara harga hunian bersubsidi  di bawah 200 juta. Apartemen ini memang persis berada di samping stasiun LRT. Selain itu, juga terkoneksi dengan akses Tol Cimanggis-Cibitung, dan Tol Jagorawi.  Proyek ini disebut-sebut sebagai ikon program satu juta rumah (bersubsidi) yang dicanangkan pemerintah.

Stasiun LRT dan pintu tol, selling point yang ditonjolkan dalam memasarkan apartemen Podomoro Golf View (sumber : podomorogolfview.com)
Stasiun LRT dan pintu tol, selling point yang ditonjolkan dalam memasarkan apartemen Podomoro Golf View (sumber : podomorogolfview.com)

Tak hanya di Cimanggis, konsep TOD juga dikembangkan oleh Kalibata City yang memang nantinya akan sangat mudah diakses dari stasiun LRT. Cerita yang senada, juga datang dari Bekasi. Memanfaatkan akses LRT, Starindo Kapital Indonesia mengembangkan proyek Metropolitan Park Apartment. Summarecon tidak mau ketinggalan. Salah satu pengembang ternama di Jabodetabek ini juga tengah mempersiapkan proyek properti berkonsep TOD.

Di luar superblok seperti Podomoro Golf View atau apartemen seperti Metropolitan Park, berkah LRT bahkan menyentuh pengembangan wilayah dalam skala kota. Di Barat Jakarta, tepatnya di Kabupaten Lebak, sedang dibangun Maja sebagai kota publik baru. Maja bakal terintegrasi dengan Ibu Kota paling lambat tahun 2035 sebagaimana amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 tentang pembangunan 10 Kota Baru Publik.

Saat ini, Maja telah diserbu oleh developer. Mulai dari pemain mayor seperti Agung Podomoro dan  Ciputra, hingga developer kecil. Maja, bahkan disebut “sedang cantik-cantiknya” oleh Kompas, mengilustrasikan pesona kota yang digadang-gadang sebagai kawasan industri baru ini.

Faktor transportasi, lagi-lagi sebagai kunci emas mengapa sebuah daerah bisa berkembang pesat. Akses transportasi, bahkan yang masih dalam imajinasi, mampu menyulap hutan, rawa dan belantara menjadi incaran para pebisnis dan investor.

Fakta-fakta di atas, mengonfirmasi jika transportasi yang humanis (aman, nyaman dan cepat) menjadi kebutuhan mendesak. Manusia rela mengeluarkan budget lebih, demi bermukim di daerah yang akses transportasinya tak mengorbankan banyak waktu. Manusia rela memulai hidup baru di satu kawasan, meninggalkan berbagai kenangan dan sejarah di tempat yang lama, karena digerakkan oleh impian hidup dinamis minim hambatan kontraporoduktif. Manusia mengimpikan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa takut terlambat karena terhambat macet.

Sebuah kota, memang mestinya jadi rumah bagi setiap warganya. Rumah yang berarti tempat hati terikat dan kembali. Lantas, apakah hati kita terikat dan terpikat pada kota yang sistem transportasinya mengidap kanker jalan raya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun