Selain varian opsi moda transportasi massal, solusi kedua untuk mengamputasi kanker lalulintas adalah konsisten menerapkan konsep dan tujuan kota terpadu, meminimalisir mobilitas ke luar kawasan. Tapi tampaknya, hal ini butuh strategi rekayasa disokong instrument policy.
Sembari policy diterapkan, public awarness perlu terus dibangun secara simultan. Sebab memilih hunian dan lokasi aktivitas harian adalah hak setiap orang. Wilayah privat yang tak bisa dintervensi, kecuali berubah karena kesadaran pribadi.
Sistem BRT ini terintegrasi bak jaring laba-laba yang menghubungkan satu sudut kota paling terpencil dengan bagian yang lainnya menggunakan bus. Curitiba adalah kota pertama mengintegrasikan unsur-unsur penting yang diperlukan untuk mengimplementasikan sistem busway yang efektif, tulis Drew Reed di The Guardian mengutip Andrés Fingeret, direktur Institute for Transportation and Development Policy di Buenos Aires.
Saking diminatinya karena berbagai kenyamanan yang diberikan, tahun 1993, dua tahun setelah diluncurkan, BRT ini mengangkut 1,5 juta perjalanan penumpang perhari. Kasarnya, satu warga Curitiba menggunakan perjalanan BRT rata-rata tiga kali dalam sehari. BRT juga menerapkan sistem single tariff sehingga memungkinkan warga untuk bertukar bus dan bergerak di seluruh kota tanpa takut membayar mahal.
BRT memang memiliki banyak keunggulan, dari sisi kepraktisan hingga kenyamanan. Moda ini mengintegrasikan kebutuhan angkutan umum pesepeda dan pejalan kaki sehingga manusia dapat mobile secara efisien, cepat sekaligus menyenangkan selama perjalanan.
Waktu tunggu kendaraan dijadwal hanya 90 detik. Artinya, setiap 1,5 menit ada satu kendaraan melintas. Bus-bus tersebut mengangkut warga ke penjuru kota sehigga tidak terjadi penumpukan, apalagi antrian mengular seperti pemandangan yang jamak kita saksikan di halte TransJakarta dan peron KRL di Jabodetabek. Majalah Time menyebut busway Curitiba ini sebagai “long bus short time”.
Sistem transportasi yang solid dan mapan, mewujudkan resilensi kota. Menggeliminasi kemacetan lalu lintas, membatasi konsumsi energi, hingga mengurangi polusi udara. Selain manfaat sosial dan lingkungan, benefit ekonomi sangat konkret dinikmati warga. Produktivitas terdongkrak. Itulah alasan mengapa Curitiba selalu bertengger sebagai livable city, kota paling layak huni di dunia. 99% warga Curitiba bahkan mengaku puas dan bahagia dengan kotanya.
Ketika memimpin Curitiba sebagai Walikota, Jaime Lerner memang berjuang keras agar kota tersebut tidak menjadi kota mobil yang macet, padat dan sesak. Kebijakan itu tentu tidak populis dan ditentang oleh kelas menengah yang berpengaruh secara politik. Demikian pula pelaku bisnis mobil yang berkuasa dengan uangnya, uring-uringan karena kepulan asap dapur mereka terusik. Tapi sang Walikota dengan keteguhan hati, visi, dan kreativitas akhirnya sukses memimpin transformasi Curitiba.
Kembali ke realita kota-kota di Indonesia dan warganya yang unik. Orang-orang kota yang mapan di Indonesia egois. Tidak mau meredam gengsi dengan naik transportasi massal. Pernyataan ini ada benarnya bila diajukan dengan kondisi telah banyak opsi transportasi massal macam busway, KRL, MRT atau LRT. Tapi faktanya, saat ini moda transportasi massal masih sangat terbatas dengan keadaan (mohon maaf) jauh dari kata nyaman.