Kasus pelanggaran etika lain yang mirip adalah kasus Wanto, karyawan bagian transportasi. Pekerjaannya berhubungan dengan sopir dan kurir pengantar barang. Mereka memerlukan uang kas sebagai dana operasional. Karena itu mereka minta pada Wanto dan diberikan dana operasional. Perputaran uang kas di perusahaan ini amat cepat dan besar. Setoran dan pertanggungjawaban itu amat penting untuk menjaga kredibilitas.
Namun suatu kali perusahaan menemukan kesalahan Wanto. Entah Wanto kurang kredibel atau tidak teliti. Laporan kas dan pengeluaran uang transport ini selisih. Tidak main-main, perbedaannya tiga puluh juta rupiah lebih. Pertama-tama, pertanggungjawaban uang sebesar itu tidak ada. Ada selisih. Setiap orang keuangan tahu, bahwa selisih itu bisa berarti penggelapan.
Kedua. Lebih lagi Wanto memakai uang setoran para kurir yang seharusnya disetor ke bank. Sekalipun Wanto kekurangan uang, seharusnya uang setoran tidak boleh dipakai untuk dana operasional para sopir dan kurir. Setoran harus dimasukkan ke bank, dan dana operasional harus diambil dari bank. Tapi Wanto mencampuradukan keduanya, padahal tindakan ini dianggap haram. 'Haram' artinya tidak etis, karena tidak diatur di SOP.
Tak ada di SOP, apa ini suatu pelanggaran?
Mengubah Menjadi Lebih Baik, Bukan Proaktif
Manajemen marah, karena bukan saja selisihnya sedemikian besar, tapi juga karena campur aduk dan kecerobohan yang dilakukan Wanto. Kantor pusat memanggil Wanto untuk bertanggung jawab dan mencari solusi. Panggilan dilakukan beberapa kali, namun hanya kali pertama Wanto datang. Berikutnya Wanto tidak pernah datang lagi. Mungkin Wanto juga tidak mengerti bagaimana mencari solusinya.
Di kali pertama itu Wanto menjelaskan bahwa kasir yang mengambil uang dari bank itu kerjanya lambat. Dana operasional transport seringkali tidak siap pada waktunya. Jadi ia proaktif dan membantu dengan tulus. Agar para sopir dan kurir terus dapat beroperasi, mereka dibekali dana operasional dulu. Tapi ternyata keadaan tak lebih baik. Terjadi selisih. Tentu saja manajemen tak mau tahu. Selisih harus diselesaikan.
Bagaimana solusi atas selisih itu?
Masalahnya Bukan Tak Mau, Tapi Tak Tahu
Mula-mula perusahaan menunjukan ketegasannya dengan memberi SP 1-3. Lalu untuk menutupi selisih itu, perusahaan mengharuskan Wanto mencari penggantinya. Selama mencari, Wanto dikenakan sanksi skorsing dan dimulai di bulan Januari. Masalahnya bukan Wanto tak mau mengganti, tapi tak tahu caranya. Sampai 5 bulan Wanto juga tidak mendapat penggantinya. Selama itu juga gaji Wanto ditahan. Lebih lagi THR Wanto juga ditahan.Â
Tapi Wanto juga bingung, karena SOP tentang ini di perusahaannya tidak ada. Tidak ada satupun yang menyatakan bahwa uang setoran tidak boleh dipakai untuk dana operasional. Sejak skorsing itu Wanto tak pernah bekerja lagi. Lalu bulan April Wanto dipanggil 2 kali, tapi Wanto tidak datang. Wanto tak datang, karena ia tahu ia akan dipaksa mengganti selisih itu. Padahal ia tak mendapat gaji dan ia tak punya uang. Kebetulan, atas dasar Wanto tak datang, perusahaan menganggap Wanto mangkir dan mem-PHK Wanto tanpa pesangon. Dan hakim membenarkan keputusan perusahaan.