Mohon tunggu...
Jusak
Jusak Mohon Tunggu... Konsultan - Pelatih Hukum Ketenagakerjaan Pro Bono dan Direktur Operasional di Lembaga Pendidikan

Memberi pelatihan kasus-kasus ketenagakerjaan berdasarkan putusan hakim, teamwork, kepemimpinan. Dalam linkedin, Jusak.Soehardja memberikan konsultasi tanpa bayar bagi HRD maupun karyawan yang mencari solusi sengketa ketenagakerjaan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Melakukan Mogok Kerja Bisakah Dianggap Pelanggaran? Kasus Didi yang Kurang Beruntung

1 April 2023   11:27 Diperbarui: 1 April 2023   11:54 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bulan Maret 2022, salah satu perusahaan dengan tiga juta mitra menjatuhkan sanksi pada beberapa mitranya di Semarang. Sanksi diberikan berdasarkan pelanggaran tata tertib perusahaan. Tata tertib itu pada intinya menyatakan bila seorang mitra mengajak mitra lain untuk melakukan mogok kerja, maka ia dianggap melakukan pelanggaran. 

Ada ketentuan lainnya, mogok kerja dianggap pelanggaran hanya bila itu merugikan perusahaan. Tapi ketentuan ini seperti pasal karet, karena perusahaan dapat saja mencari-cari kerugian atas mogok kerja itu. Beruntung, akhirnya perusahaan itu menghapus pasal di tata tertib, karena diprotes oleh ribuan mitranya. 

Benarkah karyawan yang melakukan mogok kerja bisa dikenakan sanksi?

Kadang Anda Beruntung, Kadang Tidak. Tapi Tak Ada Gunanya Anda Menoleh Ke Belakang Dan Berkata: "Aku Tak Beruntung."

Jawabannya pada dasarnya bisa dikenakan sanksi. Kisah mitra di atas dan Didi di bawah ini menggambarkan ketidak beruntungan karyawan yang melakukan mogok kerja. Mari kita menengok ke belakang untuk memahami kesalahan Didi.

Pabrik baja satu-satunya tempat Didi mencari nafkah selama 7 tahun ini tidak sebaik perusahaan sebelumnya. Perusahaan menerapkan aturan dengan ketat dan sedikit-sedikit melanggar undang-undang juga.

Suatu hari di bulan November 2021 pabrik yang mempekerjakan lebih dari 150 orang ini menetapkan adanya jadwal shift yang baru. Dimana dua hari karyawan masuk, lalu dua hari lagi libur. Berserta ketentuan bahwa upah yang dibayarkan adalah hanya saat karyawan masuk atau melakukan aktivitas kerjanya, semacam buruh harian lepas.

Tepatkah ketentuan baru ini diberlakukan?

Tidak Protest, Tidak Berarti Ikhlas

Sebagai karyawan yang sudah lama bekerja, Didi menganggap ketentuan ini tidak tepat, karena berarti tiba-tiba terjadi pengurangan penghasilan. Setelah berpikir lama, antara ikhlas dan menyerah, akhirnya Didi memutuskan untuk tidak keduanya. Didi melakukan protes setelah seminggu ketetapan itu dikeluarkan. 

Dengan mengajak teman-temannya lebih dari 100 orang, Didi tidak bekerja, tapi hanya duduk-duduk di depan pintu gerbang pabrik.

Atas hal itu, manajemen mengutus wakilnya untuk berdiskusi. Setelah diskusi, Didi tetap tidak mau masuk kerja dan terus mogok. Bukannya melakukan evaluasi internal, manajemen pabrik pada minggu berikutnya menganggap Didi mengundurkan diri di minggu berikutnya.

Benarkah asumsi bahwa Didi mengundurkan diri?

Perjuangan Anda Membuat Anda Lebih Baik

Tentu saja Didi tidak terima bahwa ia dianggap mengundurkan diri. Karena itu ia berjuang. Ia langsung melapor pada dinas ketenagakerjaan dan menuntut bahwa asumsi perusahaan itu salah. Didi berharap sesuatu menjadi lebih baik.

Atas laporan itu, pihak dinas pun melakukan pemanggilan sampai tiga kali di bulan Januari dan Februari, tapi manajemen tidak menanggapi. Setelah itu di bulan Maret, pihak dinas mengeluarkan anjuran.

Didi juga melakukan tuntutan kedua yaitu selama tiga tahun belakangan, pabrik telah membayar upah dibawah minimum. Karena itu Didi meminta agar selisih upah dibayarkan.

Selanjutnya tuntutan ketiga adalah berdasarkan pasal 157 undang-undang Ketenagakerjaan, Didi merasa seharusnya pada masa perselisihan Didi tetap mendapat bayaran.

Apakah tuntutan Didi dapat diterima oleh pabrik?

Bekerja Berarti Dapat Berbuat Salah. Bertahan Dalam Pekerjaan Berarti Menemukan Makna Dalam Berbuat Salah.

Pabrik tidak terima dengan menyatakan bahwa kejadian ini disebabkan oleh pandemi. Dimana pabrik terpaksa memangkas jam kerja, daripada melakukan PHK. Atas tuntutan pertama, pabrik menyatakan bahwa Didi salah. Didi melakukan protes dengan cara mogok kerja, tapi tidak sesuai pasal 138 undang-undang Ketenagakerjaan agar mogok kerjanya sah.

Salahnya Didi tidak memberitahu atas aksi mogok kerja itu. Pasal 139 menyebutkan seharusnya Didi memberitahukan sekurang-kurangnya 7 hari sebelum mogok kerja. Lebih lagi seharusnya bila terjadi kebuntuan barulah Didi dapat mogok, bila tidak ada kebuntuan maka tidak dapat mogok.

Sekalipun sudah mogok kerja, manajemen masih terbuka dan tetap dengan baik meminta Didi kembali bekerja. Walau tak ada buktinya. Namun Didi menolak, padahal teman-temannya yang lain, yang ikut mogok kerja sudah kembali. Hingga akhirnya pabrik menetapkan bahwa Didi mangkir.

Apakah pabrik harus memberi uang pesangon?

Keputusan Sepihak Dan Pelanggaran Adalah Bagian Dari Pekerjaan. 

Menolak keputusan sepihak dan pelanggaran perusahaan berarti menolak pekerjaan itu sendiri. 

Atas dasar bahwa hubungan kerja kontrak, pabrik menolak memberi pesangon. Memang Didi, walau sudah 7 tahun tapi masih tetap dikontrak oleh perusahaan, tidak dijadikan karyawan tetap. Karena itu, pabrik tidak mau membayar sisa upah atas kontrak. 

Hal kedua adalah di tahun-tahun awal tidak ada perjanjian kerja, di beberapa tahun terakhir pabrik baru membuat kontrak kerja.

Kedua keputusan sepihak itu adalah jelas pelanggaran undang-undang.

Namun pabrik menganggap keduanya adalah kebijakan perusahaan. Dengan mangkirnya Didi berarti Didi melakukan pemutusan kontrak sepihak. Atas dasar itu pabrik menganggap tidak perlu memberi pesangon. Malah seharusnya Didi membayar sisa kontrak.

Tidak memberi pesangon, Benarkah itu?

Setengah Kebenaran Kadang-Kadang Sepenuhnya Salah

Saat perkara ini dibawa ke depan hakim, pertama-tama hakim memeriksa apakah Didi sebagai karyawan kontrak atau tetap, PKWT atau PKWTT. Karena ada perjanjian kontrak, tidak berarti Didi adalah karyawan kontrak.

Hakim melihat bahwa Didi sudah bekerja selama 7 tahun. Di beberapa tahun pertama Didi tidak diberi kontrak tertulis. Di depan hakim seolah-oleh perusahaan setengah benar. Tapi atas dasar ini hakim menetapkan itu salah sepenuhnya. Hubungan Didi dengan perusahaan bukan lagi kontrak, tapi seharusnya sebagai pekerja tetap. Perlakuan pabrik  yang menganggap Didi sebagai karyawan kontrak adalah tidak benar.

Sebenarnya hakim juga dapat menetapkan Didi sebagai karyawan tetap, dari jenis pekerjaan Didi. Pekerjaan Didi jelas bukan pekerjaan musiman, bukan pekerjaan baru dan bukan pekerjaan yang habis dalam jangka waktu pendek, karena sudah selama itu ia mengerjakan hal yang sama, secara rutin dan terus menerus. Karena itu pekerjaan Didi harus dianggap sebagai pekerjaan tetap.

Lalu apa cara Didi mogok kerja itu dibenarkan?

Kebebasan Dilandasi Dengan Diskusi

Jawabnya: Tidak! Didi memang melanggar peraturan. Seharusnya Didi diskusi dulu, jangan mogok kerja dulu. Bila terjadi kebuntuan mencari solusi dengan manajemen, baru Didi mogok. Pasal 137 undang-undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa boleh mogok, bila terjadi "gagalnya perundingan." 

Saat itu Didi belum pernah diskusi, dan tiba-tiba mogok kerja. Karena itu cara Didi dianggap salah. Bukan itu saja, banyak lagi peraturan mogok kerja yang Didi tak ikuti. Seperti, Didi tidak memberi tahu manajemen 7 hari sebelumnya. Kebebasan tiap pihak dilandasi dengan diskusi, perbedaan pendapat dan debat. 

Kebebasan pendapat bukan dilandasi dengan mogok kerja. Mogok kerja dapat dianggap pelanggaran. Karena itu perusahaan menang saat Didi tidak masuk akibat mogok kerja tidak sah selama 5 hari berturut-turut. Didi dianggap mengundurkan diri. Walau Didi mengharapkan dapat bekerja lagi, tapi perusahaan tak mau.

Apa kewajiban perusahaan bila Didi mengundurkan diri?

Keputusan Terbaik Berikutnya Adalah Hal Yang Salah

Dalam pengambilan keputusan apa pun, hal terbaik yang dapat seseorang lakukan adalah hal yang benar, hal terbaik berikutnya adalah hal yang salah, dan hal terburuk yang dapat ia lakukan adalah tidak melakukan apa-apa. 

Jadi perusahaan mengambil keputusan yang salah dengan menerapkan PKWT terhadap Didi. Perusahaan juga salah menganggap bila Didi mengundurkan diri dan berarti Didi tidak mendapat pesangon. Hal yang benar adalah perusahaan harus menganggap Didi sebagai karyawan tetap dan bila Didi mengundurkan diri, perusahaan wajib memberi Didi UPMK.

Bila Anda mengalami hal seperti Didi. Jangan terus memikirkan apa yang salah. Fokuslah pada apa yang harus dilakukan selanjutnya. Habiskan energi Anda untuk bergerak maju meraih mimpi Anda.

Sumber dari putusan nomor 120/Pdt.Sus-PHI//2021/Pn.Srg.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun