Mohon tunggu...
jurymaxwell
jurymaxwell Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

data science

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Melawan Budaya Kekerasan: Analisis Kritis Kasus Bullying di Pendidikan Dokter Spesialis

12 Desember 2024   23:47 Diperbarui: 12 Desember 2024   23:48 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  1. Pendahuluan

  1. Latar Belakang

Kasus perundungan yang dialami oleh seorang mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip) menjadi sorotan luas di masyarakat. Peristiwa tragis ini bermula dari dugaan tindakan perundungan yang dialami oleh Dr. Aulia Kesuma Putri, yang berujung pada tindakan bunuh diri. Kasus ini tidak hanya mengguncang dunia akademik, tetapi juga memicu diskusi publik tentang isu kesehatan mental, etika pendidikan, dan perlindungan terhadap mahasiswa.

Permasalahan ini semakin kompleks dengan adanya laporan terkait tekanan akademik, dugaan aliran uang yang tidak wajar, serta budaya hierarki yang berpotensi menjadi akar masalah perundungan. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan juga telah menyoroti kasus ini, menuntut adanya transparansi dan tindakan tegas dari pihak institusi terkait. Fenomena ini mencerminkan pentingnya perhatian lebih terhadap lingkungan pendidikan yang sehat dan mendukung, terutama di bidang pendidikan spesialis yang memiliki tekanan tinggi.

Melalui artikel ini, diharapkan muncul pemahaman lebih mendalam tentang dampak perundungan di lingkungan akademik serta pentingnya langkah-langkah preventif untuk menciptakan suasana pendidikan yang lebih aman dan humanis.

  1. Pernyataan Masalah

Kasus dr. Aulia mengungkap kompleksitas sistemik kekerasan terhadap perempuan yang melampaui sekadar peristiwa individual. Permasalahan utama terletak pada gagalnya sistem pendidikan tinggi dalam memberikan perlindungan yang memadai bagi mahasiswi, yang dilatarbelakangi oleh budaya patriarki yang masih kuat dan mekanisme hukum yang tidak sensitif gender. Kasus ini bukan sekadar potret kekerasan tunggal, melainkan cermin dari kegagalan struktural dalam menjamin keselamatan, martabat, dan hak asasi perempuan di ruang akademis. Sistem yang ada terbukti tidak mampu mencegah tindak kekerasan, menangani proses hukum secara adil, serta memberikan pemulihan psikologis bagi korban dan keluarganya. Persoalan yang terungkap mendesak dilakukannya transformasi menyeluruh dalam cara pandang masyarakat, reformasi sistem pendidikan, dan penguatan mekanisme perlindungan hukum yang berorientasi pada keadilan dan penghormatan terhadap martabat manusia.

  1.  Tujuan Artikel

Artikel ini dibuat dengan tujuan memberikan gambaran yang lebih mendalam kepada audiens mengenai pentingnya bersikap bijak dalam menanggapi kasus bullying, menggunakan analisis kasus perundungan yang melibatkan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (UNDIP), dr. Aulia Risma Lestari sebagai contoh utama. Artikel ini juga bertujuan untuk mendorong pemahaman yang lebih luas mengenai dampak kasus semacam ini, baik pada individu maupun masyarakat. Selain itu, artikel ini menawarkan solusi preventif untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan, serta langkah-langkah represif yang dapat diambil untuk menangani situasi dengan cara yang lebih adil dan manusiawi. Dengan demikian, artikel ini tidak hanya menjadi bahan informasi tetapi juga panduan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian sosial dalam menghadapi isu bullying.

  1. Isi

  • Pengertian Bullying

Bullying adalah tindakan kekerasan yang dilakukan dengan tujuan untuk merendahkan, menyakiti, atau mengintimidasi orang lain, baik secara fisik, verbal, maupun emosional. Perilaku bully ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti bullying fisik (memukul, menendang), bullying verbal (menghina, mengejek), dan bullying sosial (pengucilan atau penyebaran gosip).

Salah satu contoh kasus bullying yang terjadi di Indonesia adalah kasus yang menimpa seorang remaja yang mengalami perundungan, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Dalam kasus ini, remaja tersebut mengalami serangan fisik dan psikologis yang berkelanjutan oleh teman-temannya. Perundungan ini menyebabkan trauma mendalam dan menimbulkan dampak negatif yang sangat besar bagi korban. Kasus ini mencerminkan betapa pentingnya kesadaran tentang bahaya perilaku bullying, serta perlunya upaya pencegahan agar hal serupa tidak terjadi lagi di masa depan.

Kasus ini juga menunjukkan betapa pentingnya peran lingkungan sekitar dalam memberikan dukungan dan melindungi individu dari perilaku yang merusak. Dalam menghadapi perundungan, dibutuhkan kesadaran bersama dari keluarga, sekolah, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan penuh empati.

  • Identitas dr. Aulia Risma Lestari

Aulia risma (30 tahun) merupakan dokter muda yang berasal dari Tegal. dr. Aulia Risma Lestari merupakan dokter yang sedang menempuh studi lanjutan dokter spesialis Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro setelah berhasil menyelesaikan studi sarjana 1 Fakultas Kedokteran di Universitas Islam Sultan Agung Jawa Tengah pada tahun 2014.

  • Kronologi Kasus dr Aulia Risma Lestari

Pada hari Senin, 12 Agustus 2024 sekitar pukul 22.00 WIB-23.00 WIB, ia ditemukan meninggal dunia di rumah kosnya  

yang terletak di Lempongsari, Gajahmungkur, Kota Semarang, berdasarkan laporan dari iNews Jateng pada tanggal 15 Agustus 2024 dan CNN Indonesia pada tanggal 22 September 2024. Aulia Risma mengalami overdosis obat bius Roculax setelah menyuntik dirinya sendiri dengan obat penenang yang diduga karena mengalami depresi dan tekanan berat akibat perundungan yang dialaminya pada saat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PDDS), menurut data postmortem yang dikeluarkan oleh Polrestabes Semarang. 

Jurnal korban, yang merinci perjuangan korban Aulia Risma Lestari di kelas khusus, ditemukan. Oknum pelaku diduga senior korban yang merundung dr. Aulia Risma Lestari. Hal tersebut diperkuat oleh pengakuan dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Yan Wisnu Prajoko tentang adanya perundungan di PDDS Universitas Diponegoro, data berdasarkan asumsi.co pada tanggal 19 September 2024. Temuan investigasi dari Kemenkes mengungkap adanya pemalakan yang dialami oleh dr. Aulia Risma Lestari pada rentang waktu Juli 2022-November 2022. Juru bicara dari Kemenkes, dr. Mohammad Syahril mengungkap permintaan sejumlah uang berkisar antara dua puluh hingga empat puluh juta rupiah setiap bulannya. Uang terkumpul didistribusikan kepada senior untuk kebutuhan non-akademik. 

Hingga tanggal 2 November 2024, Kepolisian Daerah Jawa Tengah belum menetapkan tersangka yang menjadi pelaku perundungan terhadap dr. Aulia Risma Lestari karena masih menggali informasi dari saksi-saksi sehingga penyelidikan tetap berlanjut, berdasarkan laporan dari Tribun Jateng pada tanggal 2 November 2024.

  • Solusi Alternatif

  1. Pembentukan Unit Perlindungan Khusus di Perguruan Tinggi 

Dalam kasus dr. Aulia, terlihat jelas bahwa institusi pendidikan tidak memiliki mekanisme internal yang efektif untuk menangani kasus kekerasan. Unit khusus ini diperlukan karena perguruan tinggi membutuhkan sistem penanganan yang profesional, independen, dan sensitif. Unit ini akan menjembatani kesenjangan antara korban, institusi, dan sistem hukum yang ada, memberikan pendampingan komprehensif yang tidak hanya berfokus pada aspek yuridis, tetapi juga pemulihan psikologis dan akademis. 

  1. Sistem Pelaporan Anonim dan Terjamin Kerahasiaannya 

Kasus dr. Aulia menunjukkan betapa sulitnya mahasiswa melaporkan kekerasan akibat risiko stigmatisasi dan konsekuensi sosial. Sistem anonim akan mengatasi ketakutan korban untuk melapor, yang menjadi salah satu faktor kritis dalam kasus ini. Dengan jaminan kerahasiaan, mahasiswa akan merasa lebih aman mengungkapkan pengalaman kekerasan tanpa takut akan dampak negatif terhadap masa depan akademik atau sosial mereka. 

  1. Kurikulum Wajib Pendidikan Kesetaraan Gender 

Kasus dr. Aulia mengungkap akar permasalahan yang lebih dalam terkait pemahaman tentang consent, martabat perempuan, dan kesetaraan. Kurikulum wajib akan membangun kesadaran kritis di kalangan mahasiswa, mengubah budaya yang memungkinkan terjadinya kekerasan. Pendidikan ini bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan transformasi cara berpikir tentang hubungan antarmanusia, penghormatan, dan hak asasi. 

  1. Pengawasan Eksternal dan Audit Independen

Proses penanganan kasus dr. Aulia menunjukkan kelemahan sistem internal perguruan tinggi dalam menangani kekerasan. Pengawasan eksternal akan memberikan mekanisme check and balance yang objektif, mencegah terulangnya praktik menutup masalah atau menyelesaikan kasus secara superfisial. Audit independen akan memaksa institusi untuk bertanggung jawab dan melakukan perubahan sistemik. 

  1. Reformasi Mekanisme Hukum yang Responsif Gender

Proses hukum dalam kasus dr. Aulia dinilai tidak sensitif gender dan lambat. Reformasi ini diperlukan untuk mengubah paradigma penanganan kasus kekerasan dari sekadar prosedural menjadi substantif, dengan fokus pada perlindungan korban dan penjatuhan sanksi yang memberikan efek jera. 

  1. Program Rehabilitasi dan Pemulihan Komprehensif 

Kasus dr. Aulia tidak hanya menyisakan luka fisik, tetapi juga trauma psikologis yang mendalam bagi korban dan keluarga. Program pemulihan holistik diperlukan untuk mengatasi dampak traumatis, memulihkan kepercayaan diri, dan membantu korban mengintegrasikan diri kembali ke dalam komunitas akademis dan sosial. 

  1. Pembentukan Jaringan Advokasi Lintas Institusi

Kasus dr. Aulia menunjukkan bahwa penanganan kekerasan membutuhkan pendekatan multidisipliner. Jaringan lintas institusi akan menciptakan ekosistem perlindungan yang terintegrasi, memungkinkan berbagai pihak berkolaborasi secara sistematis dalam mencegah dan menangani kekerasan.

  • Upaya Preventif

  1. Edukasi dan Kesadaran Gender

Dalam kasus dr. Aulia, akar permasalahan yang mendalam terletak pada rendahnya pemahaman akan kesetaraan dan penghormatan gender. Upaya preventif melalui edukasi bertujuan membangun kesadaran kritis sejak dini. Program ini akan mencakup pelatihan wajib bagi seluruh civitas akademika tentang konsep consent, batasan personal, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Pendekatan yang digunakan bukan sekadar ceramah, melainkan dialog interaktif, studi kasus, dan simulasi yang mendorong refleksi personal.

  1. Sistem Pengawasan dan Deteksi Dini

Kasus kekerasan seringkali bermula dari tanda-tanda perilaku yang terabaikan. Sistem pengawasan komprehensif akan mengidentifikasi potensi kekerasan lebih awal. Hal ini mencakup pembentukan tim khusus yang melakukan monitoring berkelanjutan, mengembangkan indikator risiko, dan memiliki kewenangan untuk intervensi segera. Teknologi dan aplikasi digital dapat dimanfaatkan untuk membangun sistem pelaporan dan deteksi yang responsif.

  1. Penguatan Kultur Organisasi yang Sensitif Gender

Lingkungan akademis dalam kasus dr. Aulia menunjukkan kultur yang masih mendukung terjadinya kekerasan. Upaya preventif harus menyentuh level kultur organisasi melalui redesain kebijakan, mekanisme rekrutmen, sistem reward, dan pengembangan kepemimpinan yang memahami perspektif kesetaraan.

  • Upaya Represif

  1. Mekanisme Hukum yang Tegas dan Transparan

Proses hukum dalam kasus dr. Aulia dinilai lemah dan tidak memberikan efek jera. Upaya represif harus memastikan proses hukum yang cepat, transparan, dan memberikan sanksi berat bagi pelaku. Ini termasuk pembentukan tim khusus yang menangani kasus kekerasan dengan prosedur khusus, mempersingkat waktu penyelidikan, dan menjamin perlindungan korban selama proses hukum. 

  1. Sanksi Akademis dan Sosial

Selain sanksi hukum, pelaku kekerasan perlu mendapatkan konsekuensi akademis yang signifikan. Hal ini mencakup skorsing, pencabutan beasiswa, bahkan pemecatan dari institusi pendidikan. Sanksi sosial berupa pengumuman publik yang menegaskan komitmen institusi terhadap nol toleransi kekerasan juga penting untuk membangun efek jera. 

  1. Program Rehabilitasi dan Intervensi Terapi

Upaya represif tidak hanya bermakna punishment, tetapi juga rekonstruksi perilaku. Pelaku kekerasan wajib mengikuti program rehabilitasi intensif yang mencakup terapi psikologis, konseling gender, dan pendidikan ulang tentang etika hubungan antarmanusia. Tujuannya bukan sekadar menghukum, melainkan mengubah pola pikir dan perilaku yang mendasari tindak kekerasan.

3.  Penutup

  • Kesimpulan

Bullying adalah suatu tindakan penindasan yang dilakukan secara satu atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap oaring lain, yang bertujuan untuk menyakiti seseorang baik secara mental maupun fisik secara terus menerus. Tindakan Bullying termasuk masalah sosial yang harus ditangani secara serius oleh semua pihak. Karena bullying bisa menyebabkan seseorang tidak percaya diri, memicu gangguan emosional seperti stres, kecemasan, atau depresi, menimbulkan keinginan untuk menarik diri dari lingkungan sosial, dalam kasus ekstrem, dapat mengarah pada tindakan bunuh diri. 

  • Saran

  1. Meningkatkan Kesadaran dan Edukasi

Instutisi kedokteran perlu mengadakan program edukasi tentang bullying, Kesehatan mental dan pentingnya lingkungan yang mendukung.

  1. Membangun Sistem Pengaduan Yang Efektif

diperlukan sistem pengaduan yang aman dan anonim bagi mahasiswa untuk melaporkan kasus perundungan atau perlakuan tidak manusiawi tanpa takut akan pembalasan

  1. Dukungan Psikologis

menyediakan layanan konseling dan dukungan psikologis bagi mahasiswa yang mengalami tekanan mental

  1. Reformasi Kurikulum dan Beban Kerja

melakukan evaluasi dan reformasi kurikulum serta beban kerja mahasiswa PDDS untuk memastikan bahwa mereka tidak terbebani secara berlebihan.

  1. Meningkatkan Keterlibatan Alumni

mengajak alumni untuk berperan aktif dalam mendukung mahasiswa baru, baik melalui mentoring maupun memberikan dukungan moral, sehingga menciptakan jaringan yang lebih kuat di antara mahasiswa dan alumni

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun