Solusi Alternatif
Pembentukan Unit Perlindungan Khusus di Perguruan TinggiÂ
Dalam kasus dr. Aulia, terlihat jelas bahwa institusi pendidikan tidak memiliki mekanisme internal yang efektif untuk menangani kasus kekerasan. Unit khusus ini diperlukan karena perguruan tinggi membutuhkan sistem penanganan yang profesional, independen, dan sensitif. Unit ini akan menjembatani kesenjangan antara korban, institusi, dan sistem hukum yang ada, memberikan pendampingan komprehensif yang tidak hanya berfokus pada aspek yuridis, tetapi juga pemulihan psikologis dan akademis.Â
Sistem Pelaporan Anonim dan Terjamin KerahasiaannyaÂ
Kasus dr. Aulia menunjukkan betapa sulitnya mahasiswa melaporkan kekerasan akibat risiko stigmatisasi dan konsekuensi sosial. Sistem anonim akan mengatasi ketakutan korban untuk melapor, yang menjadi salah satu faktor kritis dalam kasus ini. Dengan jaminan kerahasiaan, mahasiswa akan merasa lebih aman mengungkapkan pengalaman kekerasan tanpa takut akan dampak negatif terhadap masa depan akademik atau sosial mereka.Â
Kurikulum Wajib Pendidikan Kesetaraan GenderÂ
Kasus dr. Aulia mengungkap akar permasalahan yang lebih dalam terkait pemahaman tentang consent, martabat perempuan, dan kesetaraan. Kurikulum wajib akan membangun kesadaran kritis di kalangan mahasiswa, mengubah budaya yang memungkinkan terjadinya kekerasan. Pendidikan ini bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan transformasi cara berpikir tentang hubungan antarmanusia, penghormatan, dan hak asasi.Â
Pengawasan Eksternal dan Audit Independen
Proses penanganan kasus dr. Aulia menunjukkan kelemahan sistem internal perguruan tinggi dalam menangani kekerasan. Pengawasan eksternal akan memberikan mekanisme check and balance yang objektif, mencegah terulangnya praktik menutup masalah atau menyelesaikan kasus secara superfisial. Audit independen akan memaksa institusi untuk bertanggung jawab dan melakukan perubahan sistemik.Â
Reformasi Mekanisme Hukum yang Responsif Gender
Proses hukum dalam kasus dr. Aulia dinilai tidak sensitif gender dan lambat. Reformasi ini diperlukan untuk mengubah paradigma penanganan kasus kekerasan dari sekadar prosedural menjadi substantif, dengan fokus pada perlindungan korban dan penjatuhan sanksi yang memberikan efek jera.Â