Institut Francaise Bandung, Jalan Purnawarman,  Minggu, 14 September  2014
Sekitar pukul 9.30 tiba di Bandung naik City Trans yang cukup mahal Rp120.000. Saya langsung ke penginapan backpacker ZZZ Express di Hyperpaskal. Namun check in baru jam 14.00. Â
Sambil menunggu hunting restoran-restoran tua di Kota Bandung, singgah di Racing Line, Jalan Sultan Agung  titip tabloid untuk seorang pembalap  drag bike bernama Sabrina Sameh.  Aku wawancara dia beberapa minggu yang silam di toko outlet perlengkapan pembalap motor itu.
Setelah itu balik kehotel ganti baju dan bersiap ke agenda utama: Nonton konser Balada Sirkus Yura di IFI. Mudah-mudahan bertemu Gendis di acara.
Aku turun dari angkot dengan tergesa-gesa membayar tiket seharga Rp150 ribu. Aku bersyukur tiket pertunjukkan tunggal Yunita Rachman ternyata belum habis.Â
Sebetulnya aku bisa memanfaatkan statusku sebagai jurnalis, tetapi aku malas menjadikannya sebagai liputan untuk media aku. Â Aku ingin menjadikan acara pribadi menyaksikan penyanyi yang katanya gagal di ajang pencarian bakat, tetapi memukau Glenn Fredly.
"Hallo Kang Irvan!" sambut Joko, seorang kenalanku yang sempat satu kantor di majalah wisata. Dia kakak kelasnya Yura, nama panggung Yunita Rachman. Keduanya kuliah di Fikom Unpad.
"Ciby dan Yasundari, Kang Dasir nggak kemari ya?" tanyaku.
"Nggaklah, Mereka nggak suka," jawab Joko.
Aku menyantap nasi untuk para jurnalis yang masih tersisa dengan lauk apa adanya, karena perut keroncongan. Â Fisik terkuras habis karena banyak jalan kaki untuk survei restoran tua. Namun keinginan menyantap hidangan itu karena menyediakan Yura, penyanyi kesayanganku, kini.
"Memangnya Kang Irvan suka Yura?"
"Penasaran! Penyanyi Indie yang berjuang untuk naik," jawabku.
Kemudian kami masuk ke auditorium yang cukup ramai. Â Ternyata ekspetasi aku terhadap Yura tidak meleset. Saya berjoget oleh empat lagu yang dibawakannya: Kataji, Pesta, Balada Sirkus dan Super Lunar. Â Belum lagi ada kejutan duet dengan "mentor"-nya Glenn Fredly nyaris sempurna. Â Dalam konser itu Yura juga berduet dengan Risa Saraswati.
Gaya musik broadwaynya menonjol di Kataji dan kemudian ada lagu  televisi.  Saya berdiri di samping mahasiswa Seni Musik dari UPI.  Jadi ada teman diskusi.
"Lagu Yura itu eksperimental," ujar aku.
"Justru itu yang membuat lagu Yura tidak kacangan," timpalnya.
Kami sepakat bahwa Yura stabil di konser Balada Sirkus. Bahkan  aku tidak malu berjoget ketika dia menyanyikan Kataji dan Super Lunar. Sama seperti waktu di Kampoeng Jazz.
"Kalau dari segi penggemar, Yura masih di bawah Fatin, debutan X-Factor, tetapi kualitas Yura tak kalah. Potensinya besar," kata mahasiswa Seni musik itu
"Yura lebih matang dari segi usia. Bahwa dia gagal di X-Factor tidak masalah. Glenn Fredly punya naluri," kataku.
Yang aku tunggu ternyata hadir. Gendis. "Hai!" katanya. Lalu dia mengajakku berdansa salah satu lagu Yura hanya semenit, sesudah itu berhenti karena mulai diperhatikan.
"Mau wawancara Yura?" tanya Gendis.
"Nggak, Malam ini saya mau senang-senang!" jawab aku. "Memangnya jurnalis tidak boleh punya acara senang-senang?"
"Ditulis di media?"
Aku  memang malas door stop dengan Yura, karena memang agendanya: nonton. "Tapi aku mau menulis di blog aku di Kompasiana," ucap aku.
"Mas, blogger juga ya?"
Aku mengangguk.
Di tengah acara ada Tiara, yang saya tahu ketika nonton Konser Lutung Kasarung beberapa tahun silam. Dia antusias menyaksikan Yura. Setahu saya dia juga penyanyi indie. Bahkan ikut bertanya dalam sesie tanya jawab.
Gendis memperhatikan aku.
"Ih, melihat siapa? Nge-fans juga ya? Genit banget! Nanti tak bilangin "R", loh!"
"Dia adalah next-Yura," kataku.
Kami menonton sampai habis. Gendis juga nonton bersama kawannya, perempuan sebayanya. Mungkin orang Bandung juga. Â Dia tahu aku lagi berdiskusi dengan mahasiswa seni musik itu.
"Besok ketemuan di Braga ya? "R" juga mau ketemuan. Nanti aku cerita lagi soal Widy." Namun sebelum dia meninggalkan aku ke sisi lain, dia memberikan aku kertas coretan tangan dia. "Ini tentang Widy, khusus untuk Mas!"
"Wah, hatur nuhun!" sambil menerima berapa lembar kertas kwarto tulisan tangan yang cukup rapi, lengkap dengan tanggalnya.
Seusai acara aku malah  door stop dengan Tiara bukan dengan Yura.
"Saya ingin menyelesaikan kuliah dulu," kata Tiara ketika aku temui. Tidak wawancara hanya mengobrol. Â Â
Rencana jitu, karena menurut aku penyanyi jangan mengabaikan kuliah. Saya yakin Tiara akan muncul sebagai penyanyi seperti halnya Yura. Â Gaya musiknya berbeda dengan Yura. Â Suaranya mengingatkan aku pada Ghea Idol. Tiara juga kuliah di Fikom Unpad.
Aku kembali ke hotel menjelang tengah malam. Â Sebelumnya makan nasi dan ayam goreng karena berjoget dan berjingkrak-jingkrak menguras energi. Padahal aku sudah makan di IFI.Â
Kota ini cocok menjadi persemaian para musisi. Mungkin udaranya atau kulturnya. Yang aku suka para musisinya dengan mudah saling berkolaborasi. Â Aku kira sudah sejak dulu, ketika demam dansa di Kota Bandung. Â Kota ini juga romantis dengan spot-spot bangunan tua peninggalan zaman Belanda.
"Dari Jakarta Kang?" tanya seorang anak muda  yang juga makan di sana.
"Iya, aku suka ke Bandung kalau lagi pelesiran," kataku.
"Apa yang menarik dari Bandung? Hawanya sudah nggak panas lagi. Kota ini terancam pembangunan pariwisata yang masif, coba singgah di Bandung Utara," ujar dia.
Hanya ada empat orang tamu di Hotel Backpackeran ZZZ Express.  Ada orang Jepang yang tidak lancar Berbahasa Inggris apalagi Bahasa Indonesia, ada tamu mahasiswi Jurusan Komunikasi  STT Telkom dari Surabaya yang kemalaman namanya  juga Gendis. Kebetulan yang sangat.
Sementara pemilik hotel  namanya Pak Jufri yang menyebut bahwa hotel seperti itu sudah banyak di luar negeri.
Ketika dia tahu aku mau survei restoran tua, dia bilang tidak banyak restoran jadul yang bertahan. Â Sedih juga mendengarnya. Padahal Bandung akan menjadi semakin menarik kalau banyak bangunan tua bisa dipertahankan.
Bandung, Oktober 1957, Hotel HommanÂ
"Widy! Jadi kan mau melihat Lomba Mirip Bintang Tiga Dara!" Syafri sudah menunggu dengan Rikuo 57 di depan Kampus Unpad begitu pujaan hatinya pulang kuliah bersama Mirna.
"Diab oleh ikut nggak?" pinta Widy.
Syafri mengangguk. "Okelah, aku pelan-pelan!"
"Aku erat loh!" kata Mirna.
"Ya, sudah Widy di belakang aku membonceng. Kamu  di gandengan."
Syafri membawa dua helm. Â Satu diberikan pada Widy dan satu pada Mirna. "Tadinya Kinan mau ikut, tetapi ayah dan ibu anjeun kali ini melarangnya dengan keras. Ada alasannya nilai berhitungnya dapat tiga. Jadinya aku dapat kerjaan tambahan mengajarkan dia berhitung."
"Ambu kamu melihat Kang Syafri juga pintar hitung dagang," celetuk Mirna.
"Benar juga ayah dan ibu aku meminta kamu di rumah," kata Widy. "oh, Medina dan Norma?"
"Mereka bersama Kang Angga dan Utari. Hein dan Rinitje tidak bisa ikut. Yoga dan Mitha juga," sahut Syafri.
Rikuo 57 melaju menuju kawasan Braga yang sudah mulai ramai. Setelah memparkir. Ketiganya bergegas menuju lobby."Anjeun nggak jadi ikut ya? Hanya Medina yang ikut."
"Pekerjaan kuliah banyak benar. Kuliah Hukum banyak Bahasa Belanda," kata Widy.
Mereka masuk ke lobby.  Kontes itu diadakan oleh Persatuan Istri Tentara  dan  Persatuan Mahasiswa Bandung.  Salah seorang panitya mengenal Mirna, seorang ibu.
"Kamu datang, salam buat Mama ya! Â Bapak masih tugas di Cijulang ya?"
"Tiga hari lalu suratnya sampai. Katanya mereka harus ke Pangandaran."
"Kang Harland juga belum kembali!" timpal Widy.
"Letnan Harland? Oh, kamu sepupunya itu?" kata ibu itu. Dia memperkenalkan diri bernama Perwita, masih muda.
Perwita mengajak mereka menemui panitya untuk mencek karcis masuk, seorang perempuan.
"Naila! Ini mau masuk!"
Syafri terperanjat. Ternyata Naila Husna, mantan dia waktu di Jakarta. Perempuan itu juga terkejut.
"Bang Syafri!" katanya ramah. "Ini?"
"Istri saya Widy!"
Widy langsung mengulurkan tangan. Tapi dia tidak cemburu. "Kang Syafri pernah cerita soal  Mbak." kata Widy.
Naila memakai kain sari seperti orang India dengan selendang menutup rambutnya. Dia memberikan tiga tiket. "Kita minum dulu di kafe dalam,' ajaknya.
Naila ternyata kerja di Perfini. Dia malah salah seorang juri.
"Pak Usmar itu hebat. Habis Tiga Dara dia mau buat film serupa, Hollywoodnya Indonesia."
"Bergeser dong dari cerita romantis perang?" timpal Syafri.
"Nggak letih sama perang? Â Di Jawa Barat saja pemberontakan belum selesai. Mudah-mudahan daerah kamu dan Minahasa tidak melawan pusat secara militer," kata Naila. "Aku tidak pernah menonton film perang mulai dari Darah dan Doa, lalu Lewat Djam Malam."
"Iya, Mbak. Aku juga cemas kalau ayahku lagi dalam tugas."
"Aku juga baru tahu Bang Daus menghilang dari rumah, katanya menyusul sepupumu itu. Dia sudah sahabatan rupanya."
Mereka minum kopi sampai azan maghrib. Syafri keluar untuk salat maghrib. Membiarkan tiga perempuan bercakap-cakap. Pulang dari tempat salat dia bertemu Angga dan Utari.
"Anjeun  sama Widy,kan?"
"Iya, mereka mengobrol sama teman aku panitya di kafe," jawab Syafri.
"Medina sudah dandan tuh!"
"Mirip siapa?"
"Dia ambil Indriati Iskak," kata Utari geli.
"Sebetulnya dia mirip Mieke. Namun dia tidak mau dianggap tua."
Mereka bergabung dengan Widy dan Mirna.
"La, Naila?"
"Nah, akhirnya nanyain. Â Masih ada perasaan, ya?" Widy menjulur lidah. "Naila cerita banyak tuh!"
Mirna tertawa geli.
Angga dan Utari memandang Syafri. "Mantan mu ya?"
Syafri mengangguk.
"Naila bilang Kang Syafri itu Gemini benar, seperti Bung Karno, banyak suka lirik-lirik," Widy tergelak. "Orang Scoripo nggak suka."
Syafri hanya tertawa kecil. "Sudah kita masuk!"
Mereka menonton hingga acara pertunjukkan selesai. Lomba itu dimenangkan Bettiana Zuniasih dan Henny Winter untuk juara pertama.
Sementara pada posisi kedua, Husna Detiana, Suriana Ratna dan Linda Marliana Maroni.
Medina keluar juga tertawa walau tidak menang. "Suara aku ketika menyanyi tinggi."
"Iya, kamu itu pantas jadi Mieke Wijaya," kata Syafri.
Widy dan Utari terbahak-bahak.
"Oh, ya Norma mana?"
"Nggak jadi ikut. Anaknya sakit," kata Angga.
"Flu?"
"Kemungkinan!" jawab Utari.
"Jadi ingin nonton Tiga Dara lagi!" kata Widy. "Tapi kita tengok Norma dulu. Sambil cerita-cerita. Banyak yang bisa diceritakan!"
"Sekarang bagaimana? Sekarang saja tengok Norma?"
"Iya, mereka tinggal di rumah orangtuaku di Pasir Kaliki," kata Syafri. "Besok saja."
"Mirna diantar dulu kan? Rumahnya di Cimahi asrama tentara?" timpal Widy.
Mereka berpisah. Syafri dan Widy mengantar Mirna ke asrama tentara di Cimahi malam itu. Ibunya sudah menunggu bersama dua adiknya.
Mirna melihat raut wajah ibunya cemas. Â Ketika Mirna kembali dia tersenyum. Maklum Sang Ibu tidak biasa anaknya pulang malam.
"Belum ada kabar dari Bapak?"
Ibunya menggeleng. Mirna mengenalkan Syafri dan Widy. Keduanya diajak minum teh manis hangat sebentar. Lalu mereka pamit. Â Mereka harus kembali ke Bandung karena malam.
Syafri mengemudi Rikuo 57-nya. Widy di gandengan.  Mereka berpapasan dengan sejumlah crossboy  yang naik motor.  Di antara mereka ada yang mengenali Widy. Syafri terpaksa berhenti karena terlalu banyak motor melintang.
"Ini mantannya Hardja, yang memukul teman kita!"
"Apa urusannya dengan kami!" Syafri maju." Belum kapok kalian rupanya."
Syafri didorong dan jatuh. Widy langsung menerjang tetapi dia pun jatuh. Â Para crossboy itu mengeroyok mereka dan tak menyadari sebuah jip militer datang dari arah berlawanan dan menabarak salah satu motor yang diparkir melintang.
Seorang keluar ternyata Daus disusul Harland dan seorang sersan. Mereka sangat marah. "Kalian lagi!"
Para Crossboy langsung lari tunggang langgang dengan motornya. Kecualinya yang motornya tertabrak. Dia langsung dipegang Daus. Pria berbadan besar itu melihat Syafri terkapar berdarah dan juga Widy.
Harland mengangguk." Kabulkan permintaannya prajurit. Aku yang tanggungjawab!"
Crossboy itu terjengkang dihajarnya. Kemudian ditarik ke dalam jip. Di sana ada seorang lagi yang langsung merangkulnya. Â Harland pun memanggil bantuan melalui radio.
"Kami baru pulang dari medan perang, masa harus perang lagi!" maki seorang prajurit kepada crossboy itu.
"Berapa teman kami gugur dan ada yang harus dirawat di rumah sakit karena luka parah. "Baru dibawa ke rumah sakit Cibadak. Mau kasih tahu keluarganya di Cimahi." Kata Harland."Kamu dari mana?" Kali ini dia agak marah.
Dia tahu kalau jalan-jalan malam pasti idenya Widy.
"Antar  teman kuliah aku, Mirna, habis nonton Kontes Mirip Tiga Dara ke Asrama Tentara di Cimahi," jawab Widy.
"Mirna? Â Anaknya Peltu Setyo. Ayahnya tertembak tadi pagi. Kami diminta pulang dan kasih tahu keluarganya?"
"Iya, kami dari sana. Widy merasa tidak enak."
Kemudian dia memeluk Syafri dan menangis.Â
"Ya, sudah,'kata Harland. "Kalian pulang dulu! Besok kita kasih tahu." Â Dia memeriksa muka Syafri maupun Widy. Tidak parah. Syafri masih bisa menyetir motor. Kali ini dia menatap Widy dengan keras. "Untuk kamu, urus kuliahmu baik-baik. Jangan banyak kelayaban lagi! Â Kang Syafri kamu sudah banyak korban!"Â
Belum pernah Harland sekeras itu. Widy membayangkan apa yang terjadi di Pangandaran. (Bersambung)
Irvan Sjafari
Sumber Foto:Â
Foto: https://ridwanspektra.wordpress.com/tag/musisi-bandung/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI