Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Locavore antara Titipan Leluhur dan Pertanian Berkelanjutan

5 Januari 2025   10:22 Diperbarui: 5 Januari 2025   10:22 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidangan makanan lokal di sbeuah rumah makan di kawasan Ciumbuleuit. Foto: Irvan Sjafari

Gerakan Locavore atau mengonsumsi makanan lokal atau makanan yang bahannya berasal dari pertanian lokal merupakan titipan leluhur. Tetapi untuk mengurangi emisi karbon, masih menjadi perdebatan.

Ketika saya berkunjung ke Bandung baik untuk liputan  atau liburan sekaligus healing, maka setelah turun dari travel "wajib hukum"-nya untuk makan lontong kari daging sebagai sarapan jika tibanya pagi hari. Saya bersyukur setiap turun di kawasan Dipati Ukur, pedagang lontong kari ayam masih ada.  

Jika tibanya sore, maka mi kocok saya akan buru. Selama di Bandung "wajib hukumnya"  harus ada jadwal untuk makan nasi dan ayam goreng Sunda, terkadang  sate daging sapi, kalau makan di rumah makan Jepang, Korea tetapi bahan-bahannya digunakan lokal atau petani sekitar Bandung.

Nah, sewaktu ke Yogyakarta tentunya makan gudeg dan nasi ayam goreng Jawa, angkringan, wedang tidak boleh terlewatan. Ketika ada di Kota Malang atau Kota Batu, tahu campur, sego empog, rujak cingur harus ada dalam daftar.  Kalau ke Bogor ya, harus makan Soto Mi. 

Di Jakarta dan Depok pun jajanan favorit saya adalah Sate Ayam Madura, Sate Padang, Nasi Tugtug, Lontong Sayur Padang, Gado-gado Betawi, Ketoprak di luar makan di Warung Tegal. Makan Tionghoa dan Jepang pun yang lokal punya dengan bahan  dan rasa lokal.

Tadinya saya tidak "ngeh" kebiasaan yang saya lakukan itu disebut sebagai gerakan Locavore yang dicetuskan oleh seorang koki profesional dan penulis buku "Full Moon Feast: Food and The Hunger for Connection,  Jessica Prentience. Locavore merujuk pada dua kata loca dan vore artinya memakan.

Baca: Locavore, Pangan Lokal Masa Depan Pangan. 

Di Indonesia, gerakan untuk mencintai pangan lokal ini antara lain digagas oleh seorang pengusaha asal Tasikmalaya bernama Syarif Bastaman. Menurut Syarif Bastaman, gerakan ini sebetulnya kembali ke cara hidup di desa, masyoritas masyarakat Indonesia pada 1970-an.

Ketika itu rakyat memiliki bahan pangan cukup karena menanam sayur dan punya kadang ayam, itik dan kambing di perkarangan. Semuanya bisa dinikmati tanpa mengeluarkan yang banyak.

Baca: Syarif Bastaman Ajak Masyarakat Kembali ke Cara Hidup Desa  

"Saya selalu berpikir mencari cara bagaimana memajukan bangsa. Salah satu kuncinya kita harus hemat devisa. Yang paling gampang dihemat adalah import pangan! Prinsipnya kalau hanya untuk makan tak usah import. Berdayakan petani lokal dan perbaiki kualitas tanah," ujar pria alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ini ketika saya hubungi 3 Januari 2025.

Jadi Locavore memiliki dua fungsi yaitu kepedulian terhadap lingkungan sekaligus petani lokal. Jadi untuk apa mencicipi salmon dari Norwegia tahu kaviar dari Rusia yang begitu mahal sementara petani di Indonesia masih harus berjuang keras untuk bisa sejahtera.

Syarif meyakini Locavore Indonesia menjalankan titipan karuhun atau warisan lelehur, sekaligus menghargai alam dan budaya Indonesia.  Jika gerakan Locavore dijalankan maka ketergantungan terhadap impor pangan akan berkurang atau bahkan tidak sama sekali.

"Import pangan membuat kualitas tanah kita tidak terurus kesuburannya karena kita tdk lagi mengolah tanah. Jumlah petani kita makin sedikit karena kita cukup melakukan import saja untul setiap kebutuhan sayuran, buah, daging bahkan beras," ungkap pria kelahiran Tasikmalaya, 12 Juni 1963.

Dia mencatat locavore itu tidak harus makan makanan khas lokal. Kita masih bisa makan makanan Jepang, Italy, Korea, China, Timur Tengah  dan sebagainya. Tapi bahan bakunya, daging, sayuran, buah, bumbu, ikan semua diambil dari petani lokal yang jaraknya paling jauh 100-150 km.

Gerakan Locavore dan Emisi Karbon 

Sejumlah referensi menyebutkan isilah locavore pertama kali diperkenalkan pada Juni 2005 di San Francisco.  Ketika itu untuk merarakan hari lingkungan hidup dunia  empat perempuan dari  Bay Area,  Jen Maiser, Jessica Prentice, Sage Van Wing, dan Dede Sampson  mengajak warga untuk mengonsumsi maknan lokal  yang diproduksi sejah 160 kilometer dari rumah mereka.

Komunitas ini mengkampanyekan konsumsi makanan lokal yang dinilai lebih sehat dan bergizi dibanding makanan kemasan yang dikirim dari belahan dunia lain sekaligus memberikan dukungan terhadap pertanian berkelanjutan.

Pendukung gerakan ini percaya jika masyarakat atau pelaku bisnis membeli produk pertanian lokal langsung dari sumbernya maka akan menghilangkan perantara dan pengiriman yang tidak perlu dan akhirnya mengurangi  dampak lingungan. 

Baca: Baca: What's It locavore   dan National Geographic  

Hanya saja serangkaian penelitian mengungkapkan bahwa konsumsi makanan lokal mungkin tidak akan berdampak besar pada lingkungan, jika cara bertaninya tidak berkelanjutan.

Ekonom pertanian Universitas Katholik de Louvain Belgia Laura Enthoven membenarkan memang semakin jauh perjalanan membawa makanan maka semakin banyak menghabiskan bahan bakar fosil yang akhrnya memproduksi banyak  emisi karbon.

Terlebih jika, makanan tersebut harus diangkut oleh pesawat terbang yang menghasilkan emisi karbon lima puluh kali lebih banyak dibanding jika diangkut dengan kapal.

Namun emisi karbon  bukan hanya soal pengangkutan, tetapi juga ketika tanaman itu dipupuk dengan cara apa termasuk penggunaan pestisida, hewan yang dibawa ke padang rumput atau dikurung hingga sisa makanan di tempat sampah.

Pada 2018, tim peneliti dari Inggris dan Swiss menemukan bahwa hanya 1% hingga 9% emisi pangan berasal dari pengemasan, pengangkutan, dan penjualan eceran. Ternyata sebagian besar emisi gas rumah kaca, yaitu 61 persen justru terjadi selama produksi di pertanian.

Baca: Is Eating Local Produce Actuallu Better for the Planet? 

Kritik juga diajukan Guru Besar Geografi dan Geosains di Universitas Texas Timothy Beach mencontohkan Amerika Serikat sebagai produsen pertanian tertinggi di dunia, namun tidak berkelanjutan karena ketergantungannya pada bahan bakar fosil terutama pada peralatan pertanian. Pupuk yang digunakan juga menghabiskan sejumlah energi.

Baca:  National Geographic 

Tetapi bukankah nenek moyang manusia bisa membuat pertanian secara alami misalnya pupuk organik? Bukankah pupuk organik bisa dibuat dari sisa sampah makanan?  Di Kota Bandung program Kang Pisman dan Buruan Sae sudah membuktikan hal itu, sekalipun dalam skala masif?  

Jadi sumber makanan lokal bisa juga urban farming yang lebih dekat dengan konsumen di perkotaan, selain dari lokasi pertanian terdekat. Masih ditunggu hadirnya kendaraan yang menggunakan energi terbarukan, namun bagaimana pun juga gerakan ke makanan lokal adalah sebuah solusi yang bisa dijalankan.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun