Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Asrama Karantina

23 Desember 2024   23:49 Diperbarui: 23 Desember 2024   23:49 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pukul Sepuluh Malam, 2 Juni 20...

Di Asrama Karantina

Selesai sudah pelajaran menyanyi untuk kesekian kalinya. Mbak Mitha mengatakan kami rata-rata bagus mala mini. Dia berharap kami mencapai peak performance pada malam eleminiasi kontes besok di sebuah mal di Jakarta Utara. Suatu malam yang mendebarkan bagi kami 12 akademia.

Siapa yang mendapat peringkat paling atas? Sayang Mbak Mitha dan Kak Dede tidak mau memberikan informasi sedikit pun. Apalagi memberitahu siapa yang masuk peringkat paling bawah, yang baru bisa diketahui besok.

Jadi mau tidak mau saya dan academia lainnya harus tampil habis-habisan. Acara yang berlangsung kesekian kalinya mendapat rating yang paling bagus sepanjang sejarahnya.  Rating adalah Dewa bagi stasiun televisi karena itu berarti iklan masuk. Iklan masuk, berarti uang masuk.

Sebagai satu-satunya wakil Kota Jakarta, Saya Mitra Alam Semesta punya beban sendiri. Gubernur DKI Jakarta sendiri berjanji akan berusaha selalu hadir dalam setiap kontes.  Sebab sepanjang sejarah Jakarta tidak pernah menang dan kali ini peluangnya besar sekali, sebab saya disebut-sebut punya bakat menjadi penyanyi seperti ibu saya.

Sayang saudara kembar saya Kasih Bumi Lestari tidak mau ikut. Dia lebih suka naik gunung seperti ayah dan tinggal di daerah Priangan Selatan, tepatnya Ujung Genteng bersama penyu-penyu.  Dia punya bakat seperti saya.  Namun dia lebih suka bernyanyi untuk alam, katanya.

"Kamu harus tahu bahwa ikan paus itu juga bernyanyi bersama saudara-saudaranya di lautan yang luas dan mereka berkomunikasi lewat nyanyian!" Demikian kata Kasih ketika saya mengunjunginya.  Ayah kami memberi jempol.

Kami memang terpisah, karena ayah dan ibu sudah berpisah sejak kami masih kecil. Saya ikut Ibu yang berprofesi sebagai penyanyi dan pengusaha  butik. Sementara ayah bekerja di LSM. Entah mengapa dunia ini pernah bersatu namun berpisah. Untungnya kami tidak terdampak psikologis. 

Mungkin karena ayah dan ibu mengizinkan kami saling berkunjung, apalagi setelah sama-sama lulus SMA dan kuliah.  Saya kuliah di Komunikasi di sebuah kampus di Jakarta, Kasih di Biologi, di sebuah kampus di Bandung, masing-masing baru tahun kedua.

No Telepon! No Television! No Radio! Pokoknya kami diasingkan di asrama dan tidak terhubung dengan dunia luar.  Bagi saya tidak menyebalkan karena itu asyik. Barangkali itu yang dirasakan Kasih yang tinggal di tempat terpencil seperti ayah.  Mereka juga tidak punya handphone, untuk komunikasi dengan mereka terpaksa menghubungi telepon kantor LSM di sana yang tidak tahu kapan bukanya.

"Mitra, mau mi instan tidak?" tawar Ferra, akademia dari Kota Makassar teman sekamar saya.  Nama lengkapnya Andi Fahra Jehan. Nama keren dengan panggilan keren.

Teman sekamar lainnya Ratna Juwita akademia dari Yogyakarta yang sudah tertidur pulas. Dia mengingatkan saya pada Kasih yang tidur lebih awal.  "Manusia pada dasarnya bukan mahluk noktural!" cetusnya. Dia seperti ayah.

Jadi kalau saya menginap di Sukabumi Selatan yang ikut aturan mereka. Kalau di Jakarta, kecuali di asrama ini saya mah, masih kelayapan pada pukul sembilan malam pada waktu akhir pekan. 

Kecuali kalau Kasih ingat melihat penyu bertelur atau telur menetas, baru dia bergadang bersama ayah dan gerombolan ranger itu. Gerombolan menyebarkan gondrong, pakai baju dua hari, tapi mereka ramah dan santun terhadap perempuan.

Asrama Karantina, Pukul 22.30.

Masih belum bisa tidur.  Memang belum lama masuk karantina, ini baru babak awal kontes eleminasi. Sukar bagi saya yang punya kebiasaan noktural, meminjam istilah Kasih untuk tidur teratur. Demikian juga dengan Ferra yang suka menyanyi di klub dan membuat ayahnya berang, akhirnya diminta terjun ke dunia sekalian. Kebetulan Sang Ayah penggemam Andi Meriam Matalata.

Berapa kali saya menengok dari jendela. Kami ada di lantai tiga. Biasanya Pak Heru, Pak Edo suka bekeliling di halaman yang diterangi beberapa lampu taman.

Keesokan Harinya pukul 19.00

Di Sebuah Mal di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara

Ya, Tuhan! Saya mendapat giliran pertama menyanyi. Tidak tanggung-tanggung, saya membawakan lagu yang pernah dibawakan ibu saya ketika di puncak karirnya dengan aransemen baru tentunya.  Lagu itu ditulis oleh ibu saya.  Saya suka lagu itu, tetapi itu beban namun Pak Gubernur dan Ibu saya sendiri penampilan pertama saya membawakan lagu itu.

Para penonton berteriak kagum ketika menyelesaikan bait pertama. Saya membawakannya ala generasi baru.

Tiba-tiba suara saya tersendat.  Tiba-tiba wajah penonton dan tiga komentator menyeringai, seperti mentertawakanku, tetapi ada yang aneh, kulit kepala mereka mengelupas menjadi tengkorak. Mereka menjadi penyu-penyu bertepuk tangan.   Lalu mereka menjadi penyu-penyu yang merayap ke panggung menyerbu.

Saya beteriak histeris.

Pukul 04.00 dini hari

Asrama Karantina

Saya terbangun dengan keringat mengucur deras. Rupanya AC mati hingga udara menjadi panas. Ferra dan Ratna juga bekeringat.

"Listrik mati?" keluh Ratna. Kamar kami menjadi gelap. Dia membuka jendela dan semua lampu taman mati. Juga rumah-rumah di komples tempat asrama kami. Menyeramkan.  Sunyi. 

"Kenapa Pak Heru tidak menghidupkan generator cadangan?" gerutu Ferra.

Rupanya mereka terbangun mendengar suaraku. Tetapi mereka paham saya mimpi buruk. Hal yang biasa di kontes seperti ini karena tegang.

"Jadi bagaimana?" tanya Ratna.

"Ya, sudah tidur lagi. Tunggu sampai pagi!" usul saya dan disetujui. Saya harap tidak bermimpi buruk lagi. Syukur, suara saya ternyata tidak ada tanda-tanda serak.

Irvan Sjafari

Jakarta dalam Patas AC 08, Jumat 3 Juni 2005 pukul 19.20 

Terima kasih buat Anak-anak AFI memberikan inspirasi.  Terutama untuk Tiwi dan Indri, jago saya.

Aslinya ditulis di diary   2005 (tidak sengaja saya temukan ) dan diupdate pada 23 Desember 2024 menjelang tengah malam.

Sumber Foto:  https://batam.tribunnews.com/2016/01/10/anda-suka-lagu-lawas-dan-daerah-ikut-yuk-lomba-nyanyi-di-wishly-fried-chicen-ini 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun