Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Asrama Karantina

23 Desember 2024   23:49 Diperbarui: 23 Desember 2024   23:49 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

No Telepon! No Television! No Radio! Pokoknya kami diasingkan di asrama dan tidak terhubung dengan dunia luar.  Bagi saya tidak menyebalkan karena itu asyik. Barangkali itu yang dirasakan Kasih yang tinggal di tempat terpencil seperti ayah.  Mereka juga tidak punya handphone, untuk komunikasi dengan mereka terpaksa menghubungi telepon kantor LSM di sana yang tidak tahu kapan bukanya.

"Mitra, mau mi instan tidak?" tawar Ferra, akademia dari Kota Makassar teman sekamar saya.  Nama lengkapnya Andi Fahra Jehan. Nama keren dengan panggilan keren.

Teman sekamar lainnya Ratna Juwita akademia dari Yogyakarta yang sudah tertidur pulas. Dia mengingatkan saya pada Kasih yang tidur lebih awal.  "Manusia pada dasarnya bukan mahluk noktural!" cetusnya. Dia seperti ayah.

Jadi kalau saya menginap di Sukabumi Selatan yang ikut aturan mereka. Kalau di Jakarta, kecuali di asrama ini saya mah, masih kelayapan pada pukul sembilan malam pada waktu akhir pekan. 

Kecuali kalau Kasih ingat melihat penyu bertelur atau telur menetas, baru dia bergadang bersama ayah dan gerombolan ranger itu. Gerombolan menyebarkan gondrong, pakai baju dua hari, tapi mereka ramah dan santun terhadap perempuan.

Asrama Karantina, Pukul 22.30.

Masih belum bisa tidur.  Memang belum lama masuk karantina, ini baru babak awal kontes eleminasi. Sukar bagi saya yang punya kebiasaan noktural, meminjam istilah Kasih untuk tidur teratur. Demikian juga dengan Ferra yang suka menyanyi di klub dan membuat ayahnya berang, akhirnya diminta terjun ke dunia sekalian. Kebetulan Sang Ayah penggemam Andi Meriam Matalata.

Berapa kali saya menengok dari jendela. Kami ada di lantai tiga. Biasanya Pak Heru, Pak Edo suka bekeliling di halaman yang diterangi beberapa lampu taman.

Keesokan Harinya pukul 19.00

Di Sebuah Mal di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara

Ya, Tuhan! Saya mendapat giliran pertama menyanyi. Tidak tanggung-tanggung, saya membawakan lagu yang pernah dibawakan ibu saya ketika di puncak karirnya dengan aransemen baru tentunya.  Lagu itu ditulis oleh ibu saya.  Saya suka lagu itu, tetapi itu beban namun Pak Gubernur dan Ibu saya sendiri penampilan pertama saya membawakan lagu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun