Sumber itu menyebutkan  pada16 Februari 1896, sebuah kapal berlabuh di pantai Kaledonia Baru dari Jawa membawa 163 orang termasuk 23 perempuan, semuanya orang Jawa. Mereka datang dari Hindia Belanda ketika  kelaparan dan pengangguran merajalela. Orang Jawa ini kehilangan sawah yang memberi makan penduduk secara turun-temurun digantikan oleh perkebunan besar kopi, nila dan tembakau oleh pemukim Belanda.
Orang Jawa ini mempunyai kontrak lima tahun. Mereka dipekerjakan oleh pemukim Perancis untuk bekerja di perkebunan kopi. Mereka diberi nomor pendaftaran dan kontrak hukum yang disebut "buku kecil yang terikat".
Kondisi Pekerja
Faktanya, mereka berada dalam kondisi semi-perbudakan. Mereka tidak bebas bergerak  dan sebagai pekerja kontrak, mereka  harus mematuhi mutlak pada patron.  Mereka pertama kali dipekerjakan di perkebunan, kemudian di tambang nikel. Pekerjaan yang paling berat diperuntukkan bagi orang Jawa.
Antara 1896 dan 1949 - tanggal konvoi terakhir yang di dalamnya ada orang Indonesia yang kali ini bebas memilih untuk datang ke Kaledonia Baru - 87 perahu mendaratkan 20.000 orang Jawa di Kaledonia Baru.
Sejak 1939, masyarakat Jawa  berhak memperoleh tempat tinggal gratis, dan pada 1946, kebebasan bergerak dan kemungkinan untuk mendirikan usaha sendiri dan menjalankan pertanian mereka sendiri.  Kehidupan mereka sudah mulai berubah.
Pada 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri. Â Orang Jawa yang menetap di Kaledonia Baru menjadi warga negara Indonesia. Antara 1945 dan 1955, ribuan orang Jawa Kaledonia Baru mudik dan bergabung dengan orang Indonesia.
Pada 9 Juli 1955, tanggal kembalinya konvoi terakhir sejumlah besar pekerja. 591 orang dipulangkan ke Indonesia. Sebuah dokomuen Horizon  mengungkapkan  terdapat 87 konvoi  sejak 1896 hingga 1949. Sekira 20 ribu orang Jawa sudah datang ke Kaledonia Baru  untuk bekerja dengan jangka waktu berbeda-beda.  Baca: Horizon
Dokumen itu menyebutkan hampir 15.000 orang kembali ke Jawa pada akhir kontrak mereka antara 1930 dan 1935. Termasuk ketika terjadi  krisis besar pada 1929.  Angka itu juga termasuk yang pulang  antara tahun 1948 hingga 1955, pada tahun-tahun pertama kemerdekaan bangsa Indonesia.
Namun yang mereka dapati ketika pulang malah membuat mereka miris.  Pasalnya tanah yang mereka pijak tidak lagi dikenali, mereka harus menyesuaikan diri. Hanya saja kalangan muda yang sempat mengeyam  sekolah di Perancis bangkit kembali dan mendapatkan pekerjaan di perusahaan-perusahaan Prancis. Mereka bisa ikut serta dalam pembangunan Indonesia, di konsulat atau pusat kebudayaan.
Sayangnya tidak demikian dengan orang tua mereka. Bagi mereka situasi di Indonesia menjadi rumit. Sebagian orang-orang kembali kehilangan tabungannya dan mengikuti program transmigrasi mengolah lahan terlantar agar subur.