Menurut Indische courant lagi, gambar-gambarnya buram dan keseluruhan film memiliki kesan keruh dan gelap. Arahnya tidak tepat, perlengkapan dan pakaiannya buruk. Dari sekian banyak pemain , tidak ada satupun yang menarik perhatian lewat permainannya yang bagus.
Pertunjukkan pertama dihadiri oleh Gubernur Jenderal De Graeff, Residen hingga Wali Kota Bandung dan jajaran pejabat pribumi. Pada waktu itu di kalangan elite Lutung Kasarung adalah terobosan bagaimana mengemas sebuah cerita tradisional ke layar lebar.
Menurut de Locomoetief 2 September 1926 Syutingnya dilakukan di sekitar Bukit Kapur, Padalarang dengan pemain semua dari kalangan pribumi. Sempat terjadi penolakan para pemeran pemburu untuk bertelanjang dada karena adat, tetapi Bupati menurut harian itu mengizinkan.
Umumnya semua sumber Belanda menyebut bahwa Loetoeng Kasaroeng lebih baik dari produksi NV Film Java sebelumnya yaitu "Pribumi Berburu Buaya". Hanya saja orang Belanda mengangkat cerita tentang pribumi karena eksotismenya dan dianggap aneh bagi dunia Eropa.
Terkait dengan cerita Loetoeng Kasaroeng, De Locomotief 27 Februari 1933 memuat berita tentang pidato Sukarno di depan 2.000 pengikutnya dan simpatisan PNI di Kebumen yang menyebutkan penyerbuan yang dilakukan 1.000 kera untuk membantu Purbasari merebut kekuasaan dari tangan Purbararang adalah analogi bahwa kekuatan rakyat jelata bisa meruntuhkan kekuasaan kolonial yang lalim.
Lutung Kasarung Era 1950-an
Pada 1952 ketika Indonesia sudah merdeka Film "Lutung Kasarung" diproduksi kembali. Ceritanya sama, dikisahkan Guru Minda (Barnas Lesmana) dikutuk menjadi lutung (kera) oleh ibunya sendiri, karena menginginkan isteri yang secantik si ibu, Sunan Ambu. Guru Minda bisa kembali menjadi manusia, jika ada seorang perempuan mencintainya.
Pada bagian lain dikisahkan kemelut di Kerajaan Galuh. Purbasari (Nur Hasanah) dibuang ke hutan akibat ulah keenam saudara perempuannya dengan anak tertua Purbararang (Tien Sutopo). Purbararang melakukan kudeta dibantu tunangannya Indrajaya.
Dalam pembuangan itu dia bertemu Lutung Kasarung dan bertunangan. Sementara Purbararang bercalon suami seorang manusia, Indrajaya (Kusmana Suwirya). Akhirnya seperti di pakemnya, Guru Minda menikah dengan Purbasari dan mereka memimpin Kerajaan Galuh.
Robbie Widjaja dalam Mimbar Indonesia edisi 8, 21 Februari 1953 mengungkapkan bahwa setelah kemerdekaan Lutung Kasarung dipertunjukkan pada 1946 di Tasikmalaya di tengah perang kemerdekaan dan di lapangan Ikada dalam suasana merayakan hari kemerdekaan RI pada 18 hingga 24 Agustus 1952. Pertunjukkan sandiwara terbuka ini ditonton oleh kepala negara dan korps diplomatik. Penulis mencatat puluhan ribu penonton menyaksikan pertunukkannya.
Mengenai film Lutung Kasarung produksi 1952, Robbie menyampaikan syuting dilakukan di Maribaya dan air terjun Dago. Skenarionya dipegang oleh Bambang Sudarto dan produsernya James Touw dari Bandung. Biayanya sekitar Rp600 ribu, jumlah yang besar masa itu.