Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gemini Syndrome, Episode Berdansa di Kota Romantis (Enam Belas)

18 Oktober 2024   21:40 Diperbarui: 18 Oktober 2024   22:05 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta, Perpustakaan Nasional Salemba, 27 Agustus 2014

"Apa yang Mas suka dari Bandung?" sapa Gendis. Aku tidak terlalu terkejut karena sudah melihat dia datang dari pintu masuk. Cuma ada dia ke perpustakaan nasional. Bukannya harusnya ketemuan di Bandung? Mungkin kebetulan.

Aku sendiri sedang membaca sebuah majalah terbitan 1954 di Perpustakaan Nasional.

Aku menoleh perempuan tomboy yang mendadak jadi feminin dengan rambut dipotong sebahu dengan cat pirang. Apa yang membuatnya kemari?

"Aku ingin membuat sebuah rekonstruksi bagaimana sebuah kota yang tadinya indah, namun runtuh justru karena daya tariknya sendiri. Bandung adalah kota wisata karena keindahannya sekaligus kota pelajar yang kelak membuatnya menjadi kreatif dengan aneka macam kuliner dan produk kerajinan begitu bajunya."

"Yogya juga kota pelajar? Ah, Mas Irvan juga tertarik sama gadis-gadis Bandung yang geulis, Yogya juga perempuannya ayu-ayu dan untuk wisata juga asyik?"  cetus Gendis.

Skak mat. Perempuan ini pintar.

"Apa lagi nih yang Mas suka dari Bandung?"

"Bandung memang indah sampai saat ini. Tapi saya khawatir keindahan itu runtuh karena keserakahan yang sangat eksploitatif.  Padahal kalau pohon-pohon sampai berkurang dan ekologi runtuh, maka tidak ada lagi Bandung yang indah."

"Kini kan Bandung dipimpin alumni ITB, arsitek lagi?"

"Nah, itu yang aku harapkan. Aku rindu Kota Bandung masa kecil ketika kembang-kembang tumbuh di halaman banyak rumah, hawanya sejuk, jalan kaki enak.  Tapi setidaknya untuk tahap pertama sih Bandung menyenangkan dengan taman. Sang Wali Kota sendiri bersepadaan.  Sampai tahun pertama ini aku puas terhadap kotaku yang aku cintai, tempat ibuku melewati masa sekolah menengahnya."

"Oh, ada romantis senitimentil? Juga dengan "R", ya?"

"Mungkin!" Aku malas menanggapi soal "R". "Kamu sendiri mencari apa?"

"Iya, aku ingin mencari jejak keluargaku, salah seorang paman kakekku, pernah jadi tentara bertugas di Bandung. Tetapi tidak ada jejaknya.  Kamu baca apa?"

"Pantas kamu ingin ke Bandung juga? Nih aku baca majalah untuk mencari jejak pengusaha di Bandung. Hanya ada empat pengusaha skala menengah besar di Kota Bandung di antaranya Yusuf Panigoro dari kalangan orang Indonesia. Keluarganya memiliki tko kain batik di Pasar Baru," ucapku sambil menunjukkan majalah "Pedagang Menengah Indonesia 1953-1954, Pedoman Pedagang dan Pengusaha Indonesia," terbitan 1954.

"Iya sih, nanti di Bandung temenin aku ya, mencari jejak keluargaku. Sekalian soal Widy."

"Insha Allah, memang kelanjutannya apa? Yang aku tahun pertengahan 1957, Bandung dilanda wabah influenza?"

"Memang seberapa besar sih?"

Aku memperlihatkan data yang mengerikan. Antara 9 hingga 15 Juni, kasus influenza di  Kotapraja Bandung mencapai 5.909 dan dua di antaranya meninggal.  Di Kabupaten Bandung terdapat 2.696 kasus.

Pada minggu berikutnya sudah 21.023 kasus di Kotapraja Bandung, itu menurut Pikiran Rakyat 27 Juni 1957.

Gendis membaca catatanku dengan seksama. "Wah, Widy dan suaminya pada 27 Juni sedang menonton film "The Power and The Prize" di Braga Sky.  Gengnya juga ikut. Dia memperlihatkan berapa lembar kertas catatan harian yang sudah kusam.

"Bukankah itu bioskop mahal di Bandung waktu itu? Braga Sky kan semi luks ukuran masa itu dengan dua bar dan 282 kursi penonton?Mereka masih bisa menikmati kemewahan di tengah masyarakat yang mulai susah dan politik yang makin memanas? Mereka nggak takut wabah influenza?"

"Entahlah. Suaminya itu menuruti Widy.  Tapi yang membiayai pelesir geng itu ya teman-temannya. Tapi memang mereka golongan menengah waktu itu, ya, nggak kaya-kaya banget,"

"Ini catatan Widy?"

"Bukan suaminya. Tetapi disimpan oleh Widy lalu keturunannya."

"Dapat dari mana?"

"Ada saja. Belum saatnya, makanya aku bisa cerita banyak."

"Pantas banyak dari sudut suaminya."

"Nanti ada dari sudut Widy."

Braga Sky Bandung, Kamis  27 Juni 1957

 

"Widy, memang kamu punya idola baru Robert Taylor?" tanya Utari.

"Nggak lah masih James Dean, seperti Kang Syafri, ini yang memilih film Rinitje dan Hein, kita mah nurut," jawab Widy."Katanya 'The Power and The Prize' bagus."

"Aku sudah bayar biaya kuliah di Unpad, September mendatang kamu mulai kuliah, termasuk mahasiswa pertama di Unpad," bisik Syafri.

"Hatur nuhun," kata Widy menjijir dan mencium pipi Syafri.

"Waah, kamu ingin istri kamu pintar ya?" celetuk Yoga rupanya mendengar.

"Harus begitu," jawab Syafri.

Angga, Utari, Hein, Rinitje, Syafri, Widy, Yoga dan Paramitha memasuki gedung bioskop. Hari menunjukkan pukul 19.30 jam yang cukup ramai.  Namun di tengah pertunjukkan Yoga mengantuk dan akhirnya tertidur. Di sebelahnya Paramitha hanya tersenyum lalu membisiki Angga.

"Maklum dia suka film cowboy," timpal Angga.

Sebaliknya Syafri kewalahan didebat oleh Widy.  Rupanya dia tidak suka tokoh Bos bernama George Salt karena Clift Barton tunangan keponakannya yang dipersiapkan untuk mewarisi perusahaannya justru jatuh hati pada seorang pengungsi Austria mantan tahanan Kamp Konsentrasi Nazi bernama Linka.

"Cinta itu tidak boleh maksa. Cinta itu tidak boleh dikaitkan dengan bisnis?" sengit Widy. "Itu juga keponakannya sebagai perempuan tidak punya sikap."

Syafri hanya tersenyum. "Apa bedanya dengan perkawinan politik zaman kerajaan?"

Cerita pun bergulir tokoh Linka dituduh pelacur sebagai agen komunis.

"Yaa, dicari celah lain!" protes Widy.

"Ya, di Amerika. Aku pernah baca Senator McCharty yang seenaknya melempar tuduhan ada komunis di dalam pemerintahan Amerika. Di sana komunis adalah hantu, apalagi setelah kekalahan Prancis di Dien Bien Phu."

"Ah, di sini juga banyak yang takut komunis. Kang Harlanda juga," kata Widy. "Temanmu yang anggota PKI itu menakutkan nggak sih?"

"Sih Henry? Nggak lah, dia  pengagum Ho Chi Minh dan anti Barat sekali."

"Pernah bertengkar dengan dia?"

"Nggak, Cuma dia mencela kebiasaan kita berdansa  dan berteman dengan Hein Orang Belanda!"

Widy tergelak. "Komunis itu apa sih Kang?"

"Kuliah dulu deh, nanti kamu ngerti!"

"Kue kismis Widy," celetuk Utari yang ada di sebelahnya.

Mereka keluar sekitar pukul 10 malam. Widy bersorak, karena akhirnya Barton mendapat Ketua Amalgated World Metal sekaligus Linka. Tuduhan Salt tidak terbukti.

"Widy! Itu di film, kenyataan belum tentu begitu."

"Lagian mana mau intelijen Angkatan Darat disuruh menyelidiki perempuan karena perkara cinta!" celetuk Hein. "Sudah ini film hiburan saja! Kita pulang atau makan dulu?"

"Bagaimana kalau Sate Padang?" ajak Widy.

"Ya, bawain juga buat Kinan. Dia sudah pernah coba Sate Padang?"

Widy menggeleng.

Akhirnya mereka berkeliling mencari tempat sate padang yang buka dengan mobil Angga dan sebagian lagi ikut Hein.

Selagi mereka menikmati  Sate Padang. Tiga orang pemuda duduk dekat mereka.

"Astaga itu Henry, yang Kang Syafri omongin?" bisik Widy.

Mereka menggunakan atribut Pemuda Rakyat. Tampaknya habis acara.  "Aku dengar Ipik Gandarmana akan jadi Gubernur Jawa Barat," kata salah seorang kawan Henry.

"Cuma apa dia bisa tegas menyuarakan terhadap orang-orang Belanda di Bandung, masih bercokol padahal Irian Barat tidak juga mereka kembalikan."

Untung Hein diam. Dia tampak mengerti.

Henry tahu Syafri di situ. Tapi dia tidak mengganggu.  Tak lama kemudian seorang pemudi muncul dengan perut membesar. Henry mencium perutnya.

"Kamu mengharapkan perempuan atau laki-laki?" tanya perempuan itu.

"Apa saja . Tidak penting Adik Ningsih," kata Henry.

"Jadi kapan kalian menikah?" tanya temannya.

"Memang penting?" ucap Ningsih. "Bapak dan ibukku nggak peduli."

Keempatnya tertawa.  

"Ntar sudah lahiran paling mereka nurut. Untung Bapakku bukan orang NU atau Muhammadiyah. Hanya dia mantan pejuang," tutur Ningsih santai.

Syafri dan Widy yang duduk dekat mereka tidak ikut campur. Begitu teman-temannya selesai.  Syafri membawa dua bungkus Sate Padang untuk orangtua Widy dan Kintan yang pasti nagih oleh-oleh.

"Uda Daus bagaimana sudah sembuh dari influenzanya? Untuk geng kita tidak ada yang kena?"

"Sudah Kang Angga," jawab Syafri. "Ya, syukurlah. Kita bisa menjaga kesehatan dengan baik."

"Sampai saat ini," kata Utari.

Mereka pulang diantar Angga (Bersambung)

Irvan Sjafari

Sumber Foto: Pikiran Rakjat, 22 Mei 1957. Koleksi Surat Kabar Lama Perpusnas RI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun