Saya masih ingat ketika masih kecil (1970-an) hingga kira-kira menjadi mahasiswa (paruh kedua 1980-an) Â diajak ayah dan ibu bersama adik-adik berlibur di luar kota pada akhir pekan panjang atau musim libur akhir tahun ke Puncak Pass dan menginap di sana.Â
Apakah jalan macet, iya? Apakah ketika pulang menghadapi situasi buka dan tutup, iya. Â Kami tahu kok pasti macet, begitu juga dengan puluhan ribu orang lain.Â
Kami pernah mengalami kecelakaan, iya.  Bagian belakang mobil ayah saya pernah ditabrak truk  dari belakang hingga bagasi penyok, ketika macet.  Kapok? Nggak. Tetap saja berlibur  ke Puncak  Pass. Bahkan kami pernah punya rumah di Cisarua untuk berlibur, sekalipun tidak sampai sepuluh tahun karena susah merawatnya.Â
Apa yang dicari di sana? Seingat saya, ayah dan ibu dan adik-adik pergi berenang ke kolam milik cottage atau pengembang  ketika tinggal di rumah di sana  atau  sekali-sekali jalan-jalan di kebun teh dan kebanyakan istirahat, tidur lebih banyak atau menyaksikan pemandangan. Â
Satu-satunya yang saya suka, ketika kami makan di Restoran Rindu Alam. Memang mahal, tetapi saya suka menu sate ayam hot plate atau sop daging hangat di tengah hawa dingin dengan nasi.
Oh, saya satu lagi makan di Padang Sati atau Simpang Raya di Cipanas. Kalau di Padang Sati  saya suka makan baksonya, kalau Simpang Raya, saya selalu memilih menu ayam pop.Â
Dan ketika sudah belajar di perguruan tinggi, saya kerap dan seorang adik saya lebih memilih di rumah daripada ikut.
Waktu kuliah, setiap tahun sekitar September atau Oktober, teman-teman satu jurusan sejarah Fakultas Sastra UI (sekarang FIB) Â dan juga jurusan lain mempunyai tradisi penerimaan mahasiswa baru menyewa villa di kawasan Puncak. Jumpa kerabat istilahnya, alumni datang. Â
Begitu juga kantor media tempat saya kerja juga mengadakan acara menyewa villa, kali ini ada acara hiking dan ke air terjun. Kantor lain juga mengadakan pelatihan di kawasan Mega Mendung. Padepokan silat juga ada di kawasan Puncak.Â
Apakah yang menggelar acara tahu bahwa kawasan Puncak macet. Mereka tahu. Â Ketika pulang terutama bakal berjam-jam di hari Minggu. Â Kalau saya pernah pergi menyusul sebagai alumni pulang dengan lompat naik angkot, begitu macet jalan dan naik angkot lagi di depannya hingga pintu tol Ciawi. Di sana baru naik bus lagi ke Jakarta.
Mengapa hanya Puncak? Ya, karena hanya itu yang ada, yang cukup dekat. Â Fasilitasnya lengkap. Kalau macet, ingin ke toilet banyak alternatif. Ingin makan di jalan banyak alternatif. Â Masjid pun tersedia bagi yang ingin salat. Â Alasan lain udaranya segar.
Pilihan lain ke Carita, Banten harus lewat Jalan Tol dan macet di sana tidak bisa apa-apa.  Secara biaya makan di sana juga lebih mahal. Sewa cottage juga sama dan kerap lebih mahal jatuhnya.
Catatan Sejarah Puncak
Kalau saja dulu Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (1808-1811) tidak membangun jalan pos yang membelah pegunungan untuk kepentingan militer yang dikenal sebagai  Anyer-Panarukan mungkin tidak pernah ada Puncak Pass. Orang Belanda yang kemudian membangun kebun teh hingga villa di kawasan Puncak, Cisarua dan Cipanas, sekaligus tempat berlibur.
Alasan orang-orang kaya Belanda berlibur di Puncak waktu itu ya, sama kira-kira dengan orang kita sekarang: istirahat melepas penat, menghirup udara segar dan sejuk dari Batavia yang panas. Cuma saja waktu tidak macet, karena sedikit yang memiliki mobil. Belanda yang membangun Istana di Cipanas.
Sesudah kemerdekaan, menurut buku Republik Indonesia Provinsi Jawa Barat terbitan Kementerian Penerangan 1953, Puncak mendapat kunjungan banyak tamu dari Jakarta.  Kalau dulu orang Belanda punya bungalow, setelah kemerdekaan dimiliki pengusaha yang berharta dan tiap hari bekerja di Jakarta. Bungalow itu juga disewakan bagi orang Jakarta.
Pikiran Rakjat edisi 18 Februari 1952 mengungkapkan rencana  pembangunan Puncak-Cipanas-Pacet sebagai "kota turis". Untuk mendukung  rencana itu dilakukan perbaikan jalan. Kalau masa Belanda lebar jalan hanya 3 meter, dibuat menjadi 4,5 meter dan akan dilebarkan lagi menjadi 6,5 meter antara Puncak-Ciawi. Biayanya Rp245.000 per 3 kilometer.
Bahkan dalam  berita itu disebutkan pembangunan sebuah asrama Mobile Brigade di Cipanas berkapasitas  250 orang  dengan luas 8 Ha.Â
Kantor Berita Aneta pada 21 November 1955 menyebut kedatangan tamu  asal Malaya didampingi pejabat sipil dan militer setempat mengunjungi Puncak setelah berkunjung ke Kebun Raya, Bogor. Mereka makan di sebuah restoran yang disebut Taruna Giri.  Â
Pada 1953 Presiden Sukarno juga mengajak Wakil Presiden AS Richard Nixon ke Puncak -Cipanas dari Bogor. Mereka sempat singgah di warung kopi menikmati kudapan milik rakyat setempat.Â
Aneta 2 November 1953 memberitakan keduanya membicarakan persoalan karet di Indonesia. Â Pada waktu itu ada boom (ekspor) karet sebagai imbas Perang Korea. Nixon waktu itu melakukan lawatan ke Timur Jauh.
Puncak Pass menjadi tempat pertemuan komunitas. Java Bode 13 November 1956 mengungkapkan tur pemilik sepeda kumbang, skuter dan sepeda motor milik Victoria dan H.M.W dari Jakarta-Bogor-Puncak dan Cipanas untuk bertemu dengan rombongan dari Bandung.  Mengapa mereka memilih Puncak-Cipanas, karena itu fasilitas yang tersedia dan bisa diakses.
Namun hingga 1950-an Puncak belum macet, bahkan kerap tidak aman karena ada gangguan keamanan dari pemberontakan DI/TII dan gerombolan lain. De Locomotief 10 September 1954 memberitakan sebuah angkutan truk diserang mengakibat seorang luka ringan.
Jadi tidak ada yang membedakan antara alasan orang berlibur ke Puncak sejak masa Hindia Belanda hingga saat ini. Yang ada ialah kendaraan makin banyak sementara jalanan tidak bertambah. Â Destinasi wisata terus dibangun sejak era 1980-an mulai dari Taman Safari hingga Kota Bunga.Â
Pembangunan destinasi wisata ini sepertinya tidak didahului pembangunan infrastruktur lebih dulu, setidaknya jalan dilebarkan dan tidak menghitung berapa kendaraan yang bakal masuk.
Ada pemikiran mengapa tidak dibuat jalan alternatif lain? Ya, lewat jalur mana? Apakah jalan alternatif itu bisa didukung akses fasilitas seperti jalur tradisional?
Banyak hitungan mulai dari imbas ekonomi hingga dampak lingkungan. Â Saya termasuk yang menentang karena hal kedua. Sekarang saja dampak ekologinya sudah terasa akibat pembangunan villa.
Kalau saya sih melihatnya Puncak-Cipanas sudah jenuh. Â Tetapi tetap akan jadi tempat liburan.Â
Ada sih alternatif lain di Sukabumi atau jembatan gantung yang panjang  atau pembangunan mirip "Disneyland" di kawasan Lido, namun secara tak langsung hanya menambah beban walau ada jalan tol baru ke Sukabumi, malah memperkuat  dan memperlebar konsentrasi kawasan turisme tanpa menghitung daya dukung. Lagipula tidak akan seramai Puncak, yang lebih murah-meriah.
Kejadian dan polanya  kok sama ya, dengan Kawasan Bandung Utara-Lembang? Sejarah wisatanya juga sama panjangnya.  Ini membutikan sulit menghapus sebuah citra tempat wisata yang sudah dibentuk sejarah yang panjang.Â
Irvan Sjafari
https://jabar.tribunnews.com/2023/12/31/wisatawan-wajib-tahu-jalur-menuju-kawasan-puncak-bogor-ditutup-malam-ini-mulai-pukul-1800-wib  Puncak Menjelang Tahun Baru 2024
Puncak 1950-an awal. Foto: Repro Republik Indonesia Djawa Barat, Kementerian Penerangan, 1953
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H