Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Liburan ke Puncak-Cipanas, Sebuah Catatan Sejarah

20 September 2024   09:37 Diperbarui: 20 September 2024   09:38 12671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi  Foto: jabar.tribunnews.com

Mengapa hanya Puncak? Ya, karena hanya itu yang ada, yang cukup dekat.  Fasilitasnya lengkap. Kalau macet, ingin ke toilet banyak alternatif. Ingin makan di jalan banyak alternatif.  Masjid pun tersedia bagi yang ingin salat.  Alasan lain udaranya segar.

Pilihan lain ke Carita, Banten harus lewat Jalan Tol dan macet di sana tidak bisa apa-apa.  Secara biaya makan di sana juga lebih mahal. Sewa cottage juga sama dan kerap lebih mahal jatuhnya.

Catatan Sejarah Puncak

Kalau saja dulu Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (1808-1811) tidak membangun jalan pos yang membelah pegunungan untuk kepentingan militer yang dikenal sebagai  Anyer-Panarukan mungkin tidak pernah ada Puncak Pass. Orang Belanda yang kemudian membangun kebun teh hingga villa di kawasan Puncak, Cisarua dan Cipanas, sekaligus tempat berlibur.

Alasan orang-orang kaya Belanda berlibur di Puncak waktu itu ya, sama kira-kira dengan orang kita sekarang: istirahat melepas penat, menghirup udara segar dan sejuk dari Batavia yang panas. Cuma saja waktu tidak macet, karena sedikit yang memiliki mobil. Belanda yang membangun Istana di Cipanas.

Sesudah kemerdekaan, menurut buku Republik Indonesia Provinsi Jawa Barat terbitan Kementerian Penerangan 1953, Puncak mendapat kunjungan banyak tamu dari Jakarta.  Kalau dulu orang Belanda punya bungalow, setelah kemerdekaan dimiliki pengusaha yang berharta dan tiap hari bekerja di Jakarta. Bungalow itu juga disewakan bagi orang Jakarta.

Puncak  1950-an, Foto: Irvan Sjafari/Repro buku Republik Indonesia Jawa Barat, Kementerian Penerangan 1953
Puncak  1950-an, Foto: Irvan Sjafari/Repro buku Republik Indonesia Jawa Barat, Kementerian Penerangan 1953

Pikiran Rakjat edisi 18 Februari 1952 mengungkapkan rencana  pembangunan Puncak-Cipanas-Pacet sebagai "kota turis". Untuk mendukung  rencana itu dilakukan perbaikan jalan. Kalau masa Belanda lebar jalan hanya 3 meter, dibuat menjadi 4,5 meter dan akan dilebarkan lagi menjadi 6,5 meter antara Puncak-Ciawi. Biayanya Rp245.000 per 3 kilometer.

Bahkan dalam  berita itu disebutkan pembangunan sebuah asrama Mobile Brigade di Cipanas berkapasitas  250 orang  dengan luas 8 Ha. 

Kantor Berita Aneta pada 21 November 1955 menyebut kedatangan tamu  asal Malaya didampingi pejabat sipil dan militer setempat mengunjungi Puncak setelah berkunjung ke Kebun Raya, Bogor. Mereka makan di sebuah restoran yang disebut Taruna Giri.   

Pada 1953 Presiden Sukarno juga mengajak Wakil Presiden AS Richard Nixon ke Puncak -Cipanas dari Bogor. Mereka sempat singgah di warung kopi menikmati kudapan milik rakyat setempat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun