Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Suhu Panas Ekstrem, Sampai Mana Manusia Tahan? Ini Kata Penelitian

20 Agustus 2024   16:00 Diperbarui: 24 Agustus 2024   18:08 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penelitian lama menunjukkan suhu bola panas 35 derajat Celcius (sekitar 55 derajat Celcius suhu thermometer bergantung kelembaban) dapat berakibat fatal pada manusia. Namun penelitian baru mengungkapkan angkanya bisa lebih rendah. 

Suhu  panas ekstrem akibat pendidihan global (bukan lagi pemanasan) sebagai imbas emisi karbon menjadi ancaman keberlangsungan umat manusia dan mahluk hidup lainnya di muka Bumi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam situsnya mencatat 489 ribu kematian terjadi akibat panas setiap tahun sejak 2000 hingga 2019.  Dari jumlah itu 45 persen korban meninggal di Asia dan 36 persen di Eropa.  

Angka kematian tertinggi diraih Eropa pada Juli hingga Agustus 2003 di mana 70 ribu jiwa melayang akibat gelombang panas.  Sementara Rusia pada 2010 mencatat angka kematian 56 ribu jiwa hanya selama 44 hari.

Sejumlah kota di dunia pernah mengalami suhu tertinggi. Jeddah misalnya menembus 52 derajat Celcius pada 22 Juni 2010. Pada 20 Agustus 2024 suhunya 36 derajat  Celcius. Namun 4,6 juta populasi manusia di kota ini bisa beradaptasi. 

Kota Mexicali di Meksiko pada 28 Juli 1995 pernah menyentuh angka 52 derajat Celcius dan pada 19 Agustus 2024 mencatatkan angka 37 derajat Celcius. 

Suhu rata-rata tertinggi sekira 42 derajat Celcius.  Meskipun suhunya panas hingga saat ini kota ini bisa didiami sekitar satu jiwa penduduk.

Hingga timbul pertanyaan sampai pada suhu panas berapakah manusia bisa bertahan hidup?  Sebagai informasi tempat terpanas di muka Bumi masih dipegang Death Valley (namanya saja sudah mengerikan) yaitu sekira 55 derajat Celcius.

BBC pada 21 Agustus 2020 melaporkan cerita Brandy Stewart  yang bekerja di Taman Nasional Death Valley bahwa keringat menguap begitu cepat hingga tidak sempat dirasakan. 

Pada papan peringatan disebutkan untuk berada di luar di atas pukul 10 tidak direkomendasikan.  Namun masih ada sekitar ratusan orang tinggal di tempat itu.  Berarti masih bisa ditoleransi tentunya dengan adanya AC.  

Nah, Nature pada edisi 14 Agustus 2024 melaporkan penelitian yang dilakukan oleh suatu tim di Brisbane, Australia yang dipimpin oleh Ollie Jay. Dia membangun sebuah ruangan iklim cangguh  untuk membuat simulasi gelombang panas saat ini dan masa mendatang. 

Pemimpin laboratorium  kesehatan dan panas Universitas Sydney ini melibatkan sejumlah relawan di bawah pengawasan medis yang ketat untuk memahami fisiologis mereka ketika mengalami gelombang panas.

Ruang ini  luasnya sekira  4 meter kali 5 meter. Para peneliti sewaktu-waktu bisa menaikan atau menurunkan suhu satu derajat Celcius setiap menit. Hingga  mereka yang tinggal bisa berada di suhu 5 derajat Celcius hingga 55 derajat Celcius  yang dijadikan patokan suhu tertinggi di muka Bumi.

Relawan menikmati makan, tidur  bahkan berolahraga di dalam ruangan. Makanan dan keperluan laiinya diberikan melalui lubang.  Semenara sensir yang terpasang pada suhu mereka mendistribusikan informasi detak jantung, pernafasan, kerongat hingga suhu tubuh ke ruang kontrol yang berdekatan.

Sebelum Jay melakukan riset  berdasarkan penelitian pada 2010  ambang batas yang bisa ditoleransi manusia adalah 35 derajat Celcius, bukan suhu thermometer, tetapi suhu apa yang disebut sebagai suhu bola basah.  Pada suhu tersebut orang dewasa muda akan meninggal dalam enam jam.  

Menurut fisiolog di Indiana University Bloomington, suhu bola basah 35 Celcius  setara dengan  95 derajat Faraenheit  merupakan batas absolut toleransi manusia.

Di atas itu, tubuh Anda tidak akan dapat melepaskan panas ke lingkungan secara efisien untuk mempertahankan suhu intinya. Meskipun demikian panas  tidak akan langsung membunuh Anda, tetapi jika tidak segera didinginkan engan cepat, kerusakan otak dan organ akan dimulai.

Suhu bola basah itu memperhitungkan kelembaban selain suhu udara.  Dalam Koran Tempo edisi 19 Setember 2023 bisa menjadi contoh bagaimana hitungkannya, kalau suhu Jakarta 33 derajat Celcius dan kelembaban 55 persen maka suhu bola basahnya sekitar 25,8 Celcius atau masih jauh di bawah toleransi (lihat tabel). 

Koran Tempo
Koran Tempo

Jika Bandung suhunya mencapai  31 derajat Celcius tetapi kelembabannya 45 persen, maka suhu bola basahnya hanya 22, 2 derajat Celcius.

Kompas mengutip peneliti  Collin Raymond di Jet Propulsion Laboratory NASA  menyebutkan jika kelembaban rendah, tetapi suhunya tinggi, suhu bola basah tidak akan mendekati titik kritis tubuh manusia. 

Dia mencontohkan sekalipun suhu udara 46,1 Celcius, tetapi kelembaban sekira 30 persen maka suhu bola basahnya 30,5 Celcius.  Jika suhu 38,9 Celcius namun kelembabab 77 pesen maka suhu bola basah sekitar 35 derajat Celcius angka toleransi yang memberikan risiko fatal.

Nah, Tim Jay menguji kembali batasan kelangsungan hidup di tempat teduh dan di bawah sinar matahari di berbagai usia dan saat orang beristirahat atau berolahraga.  Tim memperkirakan batas kelangsungan hidup pada suhu bola panas (WBT)  antara 26 C dan 34 C untuk orang muda dan 21 C hingga 34 C untuk orang tua.  Dengan demikian angkanya lebih rendah dari penelitian sebelumnya.

Model dari Tim Jay mengungkapkan  batas kelangsungan hidup lebih rendah saat orang terpapar sinar matahari dibandingkan di tempat teduh, dan bagi orang berusia di atas 65 tahun dibandingkan dengan mereka yang berusia 18--40 tahun.

Tim ini menggunakan model sebagai parameter menentukan batas kelayakan hidup,  bagaimana orang tua dan  orang muda bekerja di meja, berjalan, menaiki tangga, berlari, hingga mengangkat beban pada suhu panas.

Total sudah 240 uji coba dilakukan untuk menukur fungsi tubuh manusia sekaligus produktivitasnya.   Begitu juga peggunaan kipas angin dan minum air secara teratur.

Penggunaan kipas angin jika kondisinya lembab maka ketegangan jantung bisa direduksi hingga suhu udara minimal 38 derajat Celcius.  Jika kondisi panas kering, maka menggunakan kipas angin justru memicu jantung lebih tegang.  

Jay dan kawan-kawan merekomendasikan membasahi kulit dan pakaian  lebih baik dalam kondisi panas kering maupun lembab.  Rekomendasi lainnya ialah mengkonsumsi segelas air setiap jam.

Penelitian Jay dan kawan-kawan akan terus berlanjut dan direncanakan pada tahun depan di India dan Bangladesh.  Penelitan ini menjadi harapan bagaimana mempersiapkan umat manusia menghadapi kemungkinan panas lebih ekstrem pada masa mendatang.

Sementara MIT Technology Review pada 10 Juli 2021 sudeh mengingatkan beberapa model iklim memperkirakan bahwa sebagian besar dunia akan menjadi tidak ramah bagi manusia pada abad berikutnya. 

Camilo Mora, seorang peneliti iklim di Universitas Hawaii Camilio Mora menuturkan ia dan timnya menganalisis ratusan kejadian panas ekstrem di seluruh dunia untuk menentukan kombinasi panas dan kelembapan mana yang paling mungkin mematikan dan memprediksi apa terjadi masa mendatang.

Mereka menemukan pada waktu bahwa  sekitar 30% populasi dunia terpapar pada kombinasi panas dan kelembapan yang mematikan selama setidaknya 20 hari setiap tahun.

Masalahnya  persentase tersebut akan meningkat hingga hampir setengahnya pada  2100. Meskipun prsentase itu dicoba dihambat  dengan pengurangan  radikal emisi gas rumah kaca.

Sebagai mamalia berdarah panas, manusia memiliki suhu tubuh yang konstan, sekitar  37  Celcius.  Tubuh kita dirancang untuk bekerja pada suhu tersebut.  Pada ushu itu ada keseimbangan konstan antara kehilangan panas dan kenaikan panas.

"Saat suhu inti tubuh menjadi terlalu panas berdampak pada fungsi dari  organ hingga enzim. Panas ekstrem  berimbas pada  ginjal dan jantung yang serius, dan hingga  otak," ujar  mantan peneliti kesehatan masyarakat di Universitas Nasional Australia Liz Hanna.

Jadi memang manusia bisa berharap mencegah bencana iklim mengerikan ini terjadi di masa mendatang,  pengurangan emisi karbon  mutlak harus  dilakukan di seluruh dunia.  Pertanyaanya apakah sudah terlambat atau belum?

Jika memang terlambat, punahkah manusia?  Saya kira tidak. Namun apakah manusia hidup dalam kondisi menyenangkan atau tidak atau sengsara. Saya cenderung pada yang kedua. 

Irvan Sjafari

Sumber Tulisan 

leisure.harianjogja.com | who.int | koran.tempo.co | kompas.com | bbc.com | nature.com | technologyreview.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun