Mungkin ada jalan keluar, misalnya guru mata pelajaran Kimia di suatu SMA di Jakarta  tidak ada peminatnya, tetapi di SMA lain justru dibutuhkan banyak, maka bisa dioper ke  sekolah itu. Kalau itu di Jakarta, Bandung, Surabaya, atau kota lain yang sekolahnya banyak dan kemungkinannya juga banyak, walau lokasi bisa jauh-jauh.  Bagaimana dengan di kota lain yang sedikit SMA-nya?
Pertanyaan lain bagaimana dengan kesiapan perguruan tinggi menerima gelombang baru yang berbeda-beda ini, sistem seleksinya masuk harus bagaimana lagi? Sudah disiapkan nggak?
Mau nggak Jurusan Jurnalistik sebuah universitas menerima lulusan SMA yang Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Sosiologi jago, tetapi tidak ada yang dari Fisika , Kimia?
Mau nggak Fakultas Kedokteran  pelajaran biologinya jago, kimianya jago, tetapi fisika dan matematikanya tidak?  Apakah nanti tidak ada test Fisika dan Matematika untuk masuk?Â
Jadi kalau lulusan SMA yang banyak belajar IPS tetapi juga jago Biologi bisa dong lolos masuk Fakultas kedokteran? Bahkan jago Matematika, tetapi nggak Fisika, Biologi dan Kimia, bisa dong masuk Teknik Industri di ITB? Â Â
Ya, nggak mengapa tidak?  Kan bisa belajar kemudian, hanya mungkin dosennya lebih  repot karena nalarnya berbeda dari mahasiswa biasanya, karena lebih beragam.
Pertanyaan paling krusial, mungkin banyak stakeholder yang kalangkabut dengan aturan baru ini, namun ketika sudah menyesuaikan diri, tiba-tiba saja ada ganti kebijakan.  Apa yang terjadi? Kalau Saya seandainya jadi siswa SMA sekarang , Kurikulum Merdeka ini  Yes, karena ini Asyik. Cuma memang harus dipersiapkan infrastuktur, didukung riset yang kuat, serta masukan dari berbagai stakeholder pendidikan. Â
Irvan Sjafari
Sumber Foto: https://www.kompas.com/edu/read/2023/05/14/120745971/20-sma-swasta-terbaik-di-bandung-referensi-ppdb-2023?page=all
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H