Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tiada Lagi Jurusan IPA, IPS dan Bahasa, Siapkah Sekolah?

20 Juli 2024   23:04 Diperbarui: 20 Juli 2024   23:17 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa SMA-sumber | Foto: kompas.com

Bagi saya bukan hal aneh maka akhirnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menghapuskan penjurusan IPA, IPS dan Bahasa mulai tahun ajaran baru 2024/2025.  Penghapusan penjurusan itu merupakan tindak lanjut dari penerapan Kurikulum Merdeka.

Saya sudah membayangkan hal itu dan ketika masih dalam bentuk Kurikulum Protype 2022 seperti yang pernah saya tulis di Kompasiana pada 31 Desember 2021, sebagai hal yang menyenangkan.  Seandainya saya siswa SMA kelas 1 saya menyambut gembira, karena saya bisa meracang mata pelajaran yang saya sukai dengan proyeksi masuk perguruan tinggi ke jurusan yang saya suka.

Baca: Kurikulum Prototipe 2022? Tampaknya Menyenangkan 

Misalnya saya mau kuliah di jurusan Jurnalistik, ya selain Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris juga Sejarah yang  wajib, saya mengambil pilihan  Antropologi, Sosiologi, Ekonomi, mungkin juga Lingkungan Hidup, karena sudah keniscayaan bahwa persoalan itu isu krusial masa mendatang.  Saya telusuri internet ada SMA yang menjadikan Lingkungan Hidup sebagai pelajaran.

Kalau saya mau masuk kuliah Pertanian? Ya, tidak usah belajar Fisika, cukup Biologi dan Kimia,  tetap saja belajar Sosiologi, Antropologi, Ekonomi, serta Lingkungan Hidup. 

Serius, saya sampai menyesalkan mengapa tidak puluhan tahun lalu diterapkan? Bukankah tidak ada Jurusan IPA, IPS dan Bahasa yang imajinasinya adalah pengkastaan? Ketika saya tadinya di IPA kemudian pindah IPS sekalipun rata-rata nilainya biasa saja, tetapi karena dari IPA dianggap tinggi dibanding murid-murid yang IPS?  Bahkan pengistimewaan ini berpotensi memicu konflik Geng IPA dan Geng IPS.

Jadi ada dua hal ya, yang membuat saya gembira terhadap kebijakan Kemendikbud Ristek untuk hal ini. Yang pertama, belajar itu menjadi menyenangkan, yang kedua, tidak ada lagi kasta-kastaan yang membuat masalah psikologis  di kalangan siswa.

Sebaliknya dengan sistem yang bisa moving class ini, saya (seandainya duduk di SMA)  yang tadinya harusnya  IPS kurikulum lama  bisa satu kelas dengan anak IPA, karena belajar soal Lingkungan Hidup atau Biologi.   Sementara anak yang harusnya IPA menurut kurikulum lama bisa satu kelas dengan saya di Antropologi.  Teman-temannya pun berganti-ganti. Tidak ada geng-gengan IPAdan IPS lagi.

Menurut pengamat pendidikan Indra Charismiadji, Kurikulum Merdeka itu sudah biasa dilakukan di Amerika Serikat atau di negara Eropa dalam tayangan podcastnya.

Tetapi saya bayangkan bagaimana kalau itu sudah berjalan seratus persen. Apakah infrastruktur sekolah di Indonesia, Jakarta atau kota seperti Bandung dan Yogyakarta yang relatif kota pendidikan bisa menjalankannya?  

Memang ada sejumlah sekolah yang satu tingkat misalnya kelas 10 sebanyak unit, kelas  11 punya jatah 10 unit dan kelas  12 sebanyak 10 unit.  Kalau IPA dan IPS gampang aturannya, bisa 60-40% sesuai jumlah minat atau 50-50%.  Kalau ada Jurusan Bahasa saya kira rata-rata satu kelas.

Dalam satu hari Senin hingga Jumat, bisa 4 sesi dari jam 7 hingga jam 15.00 dengan ada istirahat setiap dua jam.  Kurikulum pelajaran bisa diatur karena sudah ada rencana bakunya.

Nah, bayangkan kalau peminat pelajaran Fisika hanya peminatnya satu kelas,bahkan mungkin peminatnya tidak ada,  Biologi bisa lima kelas, Antropologi empat kelas, Ekonomi dan Kewirausahaan enam kelas.  Peminatnya kurang dari kebiasaan rata-rata sekolah dan pada mata pelajaran lain justru lebih.

Jadi guru Fisika di SMA, misalnya ya  ada tiga guru, namun ternyata cukup  satu guru untuk kelas 10 dengan enam jam pelajaran per minggu, tetapi di kelas 11 dan 12 hanya diminati satu kelas bahkan bisa jadi tidak ada sama sekali,  bagaimana guru yang lain? Ya jam mengajarnya berkurang.  

Sebaliknya Guru Antropologi yang tadi hanya satu jadi dapat tambahan jam. Bahkan kebutuhan gurunya jadi bertambah. Nah,  dengan regulasi yang berlaku bagi guru dan dosen jam mengajar berpengaruh pada tunjangan profesi guru. Jumlahnya jamnya menurut Indra Charismiadji harus 24 jam.  Kalau hanya 6 jam bagaimana?

Jangan sampai karena gurunya jadi korban sistem, tunjangannya tidak cair, sertifikasi tidak turun. Bagaimana kalau mata pelajaran yang diadakan tidak ada peminatnya?  Itu kata Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji. Baca: Dampak Penghapusan Jurusan IPA dan IPS.  

Di sisi lain mau memaksa siswa memilih mata pelajaran itu agar gurunya bisa mengajar? Nah, itu bertentangan dengan semangat Kurikulum Merdeka.  Itu persoalan pertama.

Lalu bagaimana dengan minat anak sekarang? Ada kawan yang bercanda jangan-jangan anak sekarang sukanya jadi Youtuber atau Influencer karena cepat mendatangkan uang dengan cepat. Jangan-jangan mereka milih pelajaran yang gampang-gampang saja, yang penting cepat lulus SMA? 

Jadi Youtuber dan piawai main gawai sudah terjadi sejak SMP?  Bagaimana juga kalau tidak memilih  karena mendengar kabar kalau guru mata pelajaran itu killer atau tidak menyenangkan cara mengajarnya?

Ya, itu juga salah konstruksi media yang menjadikan anak-anak sekarang jadi suka sama Youtuber dan Tiktok, podcast, mereka ramai memberitakan kesuksesan Youtuber.  Orangtua juga mudah memberikan gawai kepada anak-anak sejak SD. Apakah Kemendikbud Ristek sudha punya gambaran kasar minat anak-anak sekarang pada mata pelajaran seperti apa?

Jelas, kata Indra Charismiadji  kebijakan tanpa didukung riset lebih dahulu.  Baca:  Penghapusan Jurusan IPA, IPS dan Bahasa Tidak Tahu Sejarah  dan Infrastruktur Guru Jadi Sorotan Utama

Mungkin ada jalan keluar, misalnya guru mata pelajaran Kimia di suatu SMA di Jakarta  tidak ada peminatnya, tetapi di SMA lain justru dibutuhkan banyak, maka bisa dioper ke  sekolah itu. Kalau itu di Jakarta, Bandung, Surabaya, atau kota lain yang sekolahnya banyak dan kemungkinannya juga banyak, walau lokasi bisa jauh-jauh.  Bagaimana dengan di kota lain yang sedikit SMA-nya?

Pertanyaan lain bagaimana dengan kesiapan perguruan tinggi menerima gelombang baru yang berbeda-beda ini, sistem seleksinya masuk harus bagaimana lagi? Sudah disiapkan nggak?

Mau nggak Jurusan Jurnalistik sebuah universitas menerima lulusan SMA yang Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Sosiologi jago, tetapi tidak ada yang dari Fisika , Kimia?

Mau nggak Fakultas Kedokteran  pelajaran biologinya jago, kimianya jago, tetapi fisika dan matematikanya tidak?  Apakah nanti tidak ada test Fisika dan Matematika untuk masuk? 

Jadi kalau lulusan SMA yang banyak belajar IPS tetapi juga jago Biologi bisa dong lolos masuk Fakultas kedokteran? Bahkan jago Matematika, tetapi nggak Fisika, Biologi dan Kimia, bisa dong masuk Teknik Industri di ITB?    

Ya, nggak mengapa tidak?  Kan bisa belajar kemudian, hanya mungkin dosennya lebih  repot karena nalarnya berbeda dari mahasiswa biasanya, karena lebih beragam.

Pertanyaan paling krusial, mungkin banyak stakeholder yang kalangkabut dengan aturan baru ini, namun ketika sudah menyesuaikan diri, tiba-tiba saja ada ganti kebijakan.  Apa yang terjadi? Kalau Saya seandainya jadi siswa SMA sekarang , Kurikulum Merdeka ini  Yes, karena ini Asyik. Cuma memang harus dipersiapkan infrastuktur, didukung riset yang kuat, serta masukan dari berbagai stakeholder pendidikan.  

Irvan Sjafari

Sumber Foto: https://www.kompas.com/edu/read/2023/05/14/120745971/20-sma-swasta-terbaik-di-bandung-referensi-ppdb-2023?page=all

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun