Sebagai  kelahiran Cianjur, 11 Agustus 1988,  Wina Rezky Agustina  terpanggil untuk mempertahankan seni tradisional daerahnya.  Latar belakang pendidikan formalnya sangat mendukung, yaitu merupakan lulusan Pascasarjana Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung 2021 Program Penciptaan dan Pengkajian Seni. Pernah mengikuti International Dance Festival 2008
Wina Rezky Agustina  adalah koreograer yang pernah mengikuti Jakarta Berlin Art Festival di Jerman 2013.  Dia juga terlibat sebelumnya di beberapa kelompok teater diantaranya Mainteater Bandung, Titimangasa Foundation dan Teater Payung Hitam.
Staf pengajar Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Suryakancana ini merupakan  Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Cianjur.
Pada 10 Juli 2024 Wina Rezky Agustina dan Yayasan Lokatmala (Lokatmala  Foundation)  akan menggelar pertunjukkan muskcal  bertajuk "Dari Pancaniti ke Ceurik Oma" yang ceritanya sarat dengan peristiwa sejarah dan budaya Cianjur.  Pertunjukkan itu  akan digelar di Gedung Assakinah Cianjur.
Saya berkesempatan mewawancarai Wina sebagian materinya untuk aku tuangkan di blog aku di Kompasiana dan sebagian lagi untuk berapa tulisan di Cakrawala. Berikut petikan wawancara untuk Kompasiana.
.
Â
Siapa itu Pancaniti dan Apa itu Ceurik Oma?
Menurut sejarah Dalem Pancaniti atau R.A.A Kusumahningrat, merupakan Bupati Cianjur ke-10 memerintah sejak 1834 hingga 1862.  Bupati ini  sangat berjasa dalam mengembangkan seni Tembang Sunda Cianjuran.  Sejarah juga mencatat Dalem Pancaniti adalah orang Sunda pertama yang  membuat  kamus dwi-bahasa Melayu-Sunda.
Sementara Nyi Rd Oma adalah perempuan jelita yang membuat putra Bupati Garut pada masa itu jatuh hati dan ingin mempersuntingnya. Â Sekalipun Sang Ayah tidak menyetujuinya karena Eyang Oma bukan keturunan ningrat besar. Namun Sang Putra bersikeras hingga pernikahan itu terjadi.
Dua minggu kemudian putra Bupati kembali  ke Bandung diajak berdinas oleh keluarganya.  Terjadi prahara, Sang Putra Bupati tanpa sebab jelas memulangkan Oma ke keluarganya di Cianjur.  Lagu Ceurik Oma atau Tangis Oma bercerita tentang kemalangan Oma.
Namun takdir  berkata lain. Seorang jaksa yang kemudian menjadi Bupati Serang jatuh cinta padanya.  Sementara mantan suaminya tidak pernah jadi bupati dan jadi bawahan suami Oma.  Untuk menghormati peristiwa itu dalam Papantunan, lagu  Ceurik Oma diubah jadi Jemplang Serang.
Apakah Pancaniti ke Ceurik Oma ini terkait dengan semangat Wina dan Yayasan Lokatmala untuk mempertahankan tradisi Cianjur khususnya dan umumnya budaya Sunda?
Bisa juga begitu. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kita mampu memahami sejarah dan tradisi termasuk seni budaya itu bisa bermanfaat bagi kemajuan dan kemandirian bangsa. Â Kita tak mungkin melepas diri dari akar sejarah dan tradisi. Keduanya adalah yang memperkokoh ketangguhan.
Â
Apakah pementasan ini hanya sekali atau ada rencana berkeliling ke berbagai kota untuk memperkenalkan budaya Sunda khususnya Cianjur? Â
Pertunjukan ini akan dilaksanakan di Cianjur dan saya berharap setelah di cianjur juga bisa pentas di luar daerah cianjur seperti di Galeri Indonesia Kaya Jakarta. Tahun berikutnya tentu akan lahir karya baru dari Lokatmala. Saat ini kita telah memprogramkannya. Doakan saja kami bisa terus berkarya dan melahirkan karya-karya baru yang  dirindukan masyarakat.
Â
Bukankah dulu ada drama musikal  Lutung kasarung (2011) oleh almarhum Didi Petet tidak hanya di Bandung  dan diberi sentuhan modern?
Sentuhan modern pasti selalu ada dalam karya-karya Lokatmala sebagai bentuk adaptasi karya terhadap perkembangan zaman. Beradaptasi dengan zaman adalah keniscayaan dan menolaknya adalah kepunahan pelan-pelan.
Â
Apa pendapat Wina tentang perkembangan seni budaya Sunda saat ini?Â
Saya kira sudah baik. Tinggal kita dorong saja agar terus bisa lebih baik dan semakin baik. Kita juga telah memiliki regulasi yang mendorong bagi pemajuan kebudayaan. Semoga kedepan bisa lebih sinergis dengan sokongan anggaran yang lebih memadai. Sehingga setiap karya anak bangsa bisa tumbuh dan menumbuhkan.
Apa memang hibrida adalah keniscayaan?
Hibrida tidak selalu harus menjadi keniscayaan. Pentas tradisi juga butuh panggung  yang memadai. Modernitas tidak harus selalu berlawanan dengan sumbernya. Kadang harus sejajar, berkolaborasi atau saling melengkapi. Terlebih dalam berkesenian dan berkebudayaan. Kekakuan hanya akan menuntun pada kebosanan hingga perlawanan.
Dunia seni itu fleksibel. Seni itu merdeka. Ia juga akan menuntut kita pada universalitas bahkan spiritualitasnya sendiri. Akan sangat baik kalau memang ada yang namanya Sunda Pop. Seni tak mungkin bisa meninggalkan populismenya juga kedaulatannya sendiri. Ia akan mengalir seiring dengan naluri akal budi para penikmatnya. Semoga tak sekedar ikut-ikutan.
Â
Bagaimana cara mempertahankan seni budaya Sunda menurut Wina? Apa peran pemerintah daerah?
 Banyak cara untuk mempertahankan seni budaya sunda atau budaya-budaya lainnya agar tetap lestari. Diantaranya melalui keberpihakan negara. Sebab tanpa adanya campur tangan negara biasanya seni budaya tradisi itu bisa hilang seiring waktu. Dianggap kolot bahkan kumuh sehingga layak dijauhi. Di sinilah peran kita, mendorong pemerintah agar selalu jangan lupa berpihak.
 Bagaimana juga peran perguruan tinggi seperti  Universitas Suryakancana (Unsur) Cianjur?
Selaku salah satu  Dosen di Universitas Suryakancana Cianjur tentu saja ini juga menjadi faktor pendorong bagi usaha-usaha pemajuan kebudayaan di daerah. Melalui jargon kampus merdeka,  seni akan lebih bernilai karena akan dilengkapi dengan makna akademik dan diksi intelektual. Termasuk pengembangan wacana dan diskursus budaya. Bukan semata hiburan.
Universitas Suryakancana Cianjur, Â Alhamdulillah ikut mendukung langkah besar ini. Kita selalu optimis, ke depan Cianjur akan menjadi barometer pemajuan seni budaya berbasis kampus.
Irvan Sjafari
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H