Malam aku menonton pertunjukkan bantengan di daerah Kayutangan. Kesenian campuran silat dan musik dengan orang memakai topeng kerbau, harimau dan kera. Â Entah aslinya di Batu seperti apa, tetapi kalau yang aku saksikan di Kayutangan mereka memakai lagu Ande-ande Lumut.
Ketika menonton acara aku bertemu lagi dengan Siwi. Rupanya dia menginap di rumah seorang kawannya, katanya tinggal di Oro-oro Dowo. Â Namun dia hanya menganggukan kepala dan aku tidak tertarik untuk mengajak bercakap-cakap. Â Aku tidak mau gede rasa atau baper istilah anak gaul tetapi aku melihat matanya terus mengawasi aku. Â Kemudian dia membuka ponselnya dan mengetik sesuatu.
Â
Malang- Singosari 1915
"Mas, jangan tinggalkan kami," perempuan  ayu berkulit hitam manis itu memegang tangan laki-laki itu.  Sementara bocah laki-laki berusia 5 tahun itu menitik air melihat kepergian laki-laki meninggalkan rumah bambu itu.  Dia hanya berhenti sebentar melihat ke belakang, menatap wajah perempuan ayu itu dan bocah itu.
"Bapak!" teriak bocah itu.
"Mas, Aku tak bisa meninggalkan Ibu yang sakit di kamar sebelah. Â Aku nggak mau kehilangan Ibu, setelah kehilangan Bapak."
"Ciri-ciri penyakit Ibumu sama seperti Bapakmu yang meninggal tiga tahun lalu di Desa Batu. Ada bisul-ibul di ketiak dan pangkal pahanya. Badannya panas. Orang menguburkannya juga meninggal cara yang sama. Lalu Kepala Desamu tidak melapor ke Meneer Vogel."
"Mereka akan bakar rumah-rumah di desa ini dan mengusir kita seperti terjadi  pada keluargaku di desa Temengungan," sengit perempuan ayu itu.
Tetapi lelaki itu  terus berlalu dengan wajah ketakutan.  Dia hanya membawa pakaian yang melekat di badan. Sebagai seorang jurnalis yang bekerja di koran Belanda laki-laki itu tahu apa yang dihadapi warga desa itu.  Tinggal menunggu waktu saja bendera merah berkibar di batas desa.
Namun begitu sampai di Kota Malang, lelaki itu langsung melapor ke Hospital Militair di sana.  Dia langsung diperiksa. Dokter yang memeriksa mengangguk  bahwa dia sehat.