Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Perburuan dan Penyelundupan Satwa Liar Bisa Berdampak pada Perubahan Iklim

17 Mei 2024   17:18 Diperbarui: 17 Mei 2024   17:19 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Badan PBB untuk permasalah narkoba dan kriminal (UNODC) merilis sebuah laporan  edisi ketiga pada 2024 mengungkapkan kejahatan satwa liar perdagangan illegal  pada 13 Mei 2024 di Wina, Austria.  Laporan ini mengungkapkan  dampak  perdagangan ilegal satwa liar pada sekitar 4.000 spesies tumbuhan dan hewan di 162 negara.  Tindak kejahatan ini didorong  permintaan akan obat-obatan, hewan peliharaan hingga daging hewan liar.

Badan dunia itu  menilai  tindakan kejahatan ini  bukan saja ancaman langsung terhadap konservasi, penurunan populasi  satwa liar tetapi juga berimbas pada ekosistem, karena dapat mengganggu ketergantungan antar spesies.  Dampak yang lebih besar menyangkut ketahanan dan mitigasi perubahan iklim, dan akhirnya secara sosial ekonomi masyarakat.

Laporan ini menyoroti  tren perdagangan ilegal satwa liar yang terdaftar dalam Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah (CITES).

Sebagai studi kasus  laporan ini memberikan contoh spesies yang terkena dampak perdagangan ilegal satwa liar mulai dari cula badak Afrika, gading gajah Afrika hingga  sisik trenggiling.

Sekretaris Jenderal CITES Ivonne Higuero memberikan apresiasi  kepada UNODC.  Menurut dia laporan ini  berbasis data dan bisa memberikan masukan untuk pengambilak keputusan untuk memerangi ancaman global  pada manusia dan keberadaan Bumi.

Setahun lalu  Wildlife Conservation Society (WCS) yang berbasis di New York  sudah mengingatkan   perburuan liar bukan hanya berita buruk bagi satwa liar.  Penelitian yang dilakukan lembaga iniselama 20 tahun menunjukkan bahwa hilangnya hewan-hewan besar yang masih hidup  meningkatkan gas rumah kaca.

Hewan liar ini  adalah penjaga yang baik dari hutan kritis ini, membantu menjaga fungsi normal mereka melalui pilihan makanan dan kebiasaan sehari-hari. Ketika hewan-hewan ini menghilang, begitu pula pepohonan yang mampu menangkap CO2 dengan baik.

Hutan menangkap CO2 dari atmosfer melalui fotosintesis dan menyimpannya dalam biomassa. Hutan bertanggung jawab menyerap 30 persen emisi CO2 yang dihasilkan setiap tahunnya.

Perdagangan ilegal satwa liar bisa bernilai USD23 miliar per tahun, dengan lebih dari 100 juta tumbuhan dan hewan diperdagangkan setiap tahunnya. Sebuah penelitian yang diterbitkan pada  2019 menemukan bahwa 24% vertebrata darat yang dikenal di dunia dimasukkan dalam perdagangan satwa liar.

 

Catatan Sejarah Perburuan

 

Tjoa Tjien Mo dalam tulisan bertajuk "Kebuasaan Manusia Terhadap Binatang  Liar Harus Dikekang" yang dimuat di   Rimba Indonesia,Tahun ke VI 1-2, Januari 1957 memberikan catatan yang baik bagaimana kekejaman manusia terhadap di masa lalu yang sulit ditolelir kalau itu terjadi sekarang Ketika kesadaran  bahwa musnahnya satu spesies memberikan efek pada ekosistem dan akhirnya  juga perubahan iklim.

Zebra bernama Guangga (EguusGuangga)  mempunyai ciri khas belang hingga leher saja. Hewan ini adalah subspesies zebra dataran  yang hidup dalam kawanan besar di dataran besar Afrika Selatan.  Sayangnya Guangga ini punah pada 1875.  Pemburu kulit putih  membunuh binatang secara membabi buta  karena kulit mereka mahal.  Guangga terakhir mati pada 1883 di Kebun Binatang Amsterdam.

Tjien Mo juga memberikan contoh bagaimana masyarakat kulit putih Amerika yang mengaku paling beradap memusnahkan bison  hewan khas Amerika.  Hingga abad ke 19 hidup berkelompok di Amerika antara Pegunungan Rocky Mountains dengan Sungai Mississipi dengan jumlah tak terhingga.   Orang Indian berburu bison untuk kebutuhan saja.  Memerka makana dagingnya. Sementara kulitnya untuk sepatu dan pakaian.

Lain halnya dengan bangsa Kulit Putih  senang memburu bison dengan menembak matinya untuk kesenangan.  Bencana bagi bison ketika Jalan Kereta Api New York-San Fransisco dibangun. Bison dibunuh secara besar-besaran untuk kepentingan kelancaran pengangkutan hasil bumi.

Cara membunuhnya terbilang kreatif dan keji.  Bison betina yang memimpin kawanan dieksekusi mati hingga kawanan bingung. Lalu 100 ekor mati dalam satu jam.  Para pemburu menggiring kawanan bison  ke jurang dengan  kedalaman berpuluh meter,  akibatnya bison jatuh remuk atau patah kaki.  Kemudian kulit dan lidahnya diambil.

Pada 1870 hingga 1875 sebanyak satu juta ekor bison dibinasakan per tahun.  Akibatnya pada 1881 hanya tinggal 300 ribu bison.  Walaupun berburu bison  dihentikan 1886,  hanya tinggal 1091 ekor bison pada 1889. Kalau saja Pemerintah AS tak lakukan pelarangan, bison akan menyusul nasib guangga.   

Tjin Mo juga mengungkapkan pembantaian anjing laut di sebuah pulau es untuk diambil kulitnya sekitar 1911 di sebuah Pulau es Ktub Utara.   Dia menggambarkan bagaimana gembiranya awak kepal melihat sebuah pulau es penuh anjing laut.  Sebanyak 250 orang pemburu  tumpah ruah dan mulai berpesta. Binatang dikuliti lalu bangkainya dibuang ke laut atau ditinggalkan di salju dan es.  Sebanyak 33 ribu ekor anjing laut binasa hanya dalam berapa hari.  Sedangkan Tuhan memeliharanya berpuluh abad.

Indonesia juga mempunyai catatan buruk tentang perburuan dan penyelundupan satwa yang dilindungi. Contoh yang paling popular adalah badak.  Salah satu dari tiga spesies badak yang ada di Asia adalah Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) hanya terdapat di Indonesia. 

Hewan yang kini hidup di kawasan suaka alam Ujung Kulon, Banten  sejak lama menjadi target perburuan gelap.  Padahal  Ujung Kulon tempat habitat badak sudah dijadikan cagar alam oleh pemerintah Kolonial Belanda pada 1921 dan statusnya menjadi suaka margasatwa pada 1937 dengan luas 41.120 hektar.

Pikiran Rakjat edisi 9 Juni 1951 melaporkan  sekira sepuluh ekor badak Jawa menjadi korban perburan gelap.  Padahal jumlah badak Jawa sebelum Perang Dunia ke II hanya sekitar 33 ekor.

Biangnya adalah cula badak yang waktu itu laku seharga Rp4.000, sepasang gigi  yang menyerupai taring bahkan laku Rp4.500, seentara kulit badan dijual dengan harga Rp200 per  kilogram.  Total seekor badak bisa menghasilkan cuan sebesar Rp50 ribu.  Jumlah itu besar masa itu.

Perburuan badak terakhir dilaporkan terjadi pada Mei 2022 di Citadahan melibatkan beberapa orang. Pelaku membunuh seekor badak dan mengambil culanya untuk dijual ke Jakarta dengan harga Rp280 juta.  Pelaku dan pembeli kemudian ditangkap pihak kepolisian. Sumber : Detik

 

Kasus Penyelundupan Satwa Liar di Indonesia

Contoh penyelundupan satwa liar  di Indonesia juga tak kalah kreatif, spektakuler sekaligus keji terjadi pada kakak tua jambul kuning. Pada Mei 2015. Pihak Polres Pelabuhan Tanjung Perak  menggagalkan penyelundupan hewan yang dilindungi sejak 2007 ini dan menangkap pelakunya yang baru turun dari KM Tidar Jurusan Papua-Makassar-Surabaya-Jakarta.  

Tidak tanggung-tanggung mereka memasukan hewan berukuran 12 inchi hingga 27 inchi itu dalam botol mineral 1,5 liter, dengan cara kaki ditekuk dan paruh di depan. Tidak terbayangkan sakitnya kakaktua itu dalam perjalanan.  Tragisnya, sebanyak 11 di antara 22 ekor kakaktua itu mati lemas.

Pada 2017 Bea cukai dan Polda Riau tiga kali menggagalkan penyelundupan trenggiling (Manis Javanica). Penangkapan pertama terjadi pada tanggal 5 Oktober 2017   Bea Cukai  berhasil mengamankan 95 ekor trenggiling dengan dua kotak sisik seberat 37,55 kg di kawasam Slingsing Jl. Lintas Dumai Pakning.  Sayangnya pelau melarikan diri.

Penangkapan kedua terjadi pada  24 Oktober 2017 dan telah diamankan sebanyak 101 ekor trenggiling dan yang ketiga aparat mengamankan 70 ekor trenggiling di Jalan Raya Pelalawan Bengkalis  yang akan diselundupkan ke Malaysia pada 1 November 2017.

Sisik trenggiling dipercaya oleh masyarakat Tiongkok sebagai obat untuk ibu yang mempunyai masaah menyusuai hingga radang sedi. Suatu keyakinan yang tidak terbukti secara ilmiah khasiatnya.  Padahal hewan ini mempunyai peran menjaga ekosistem untuk mengontrol populasi semut, rayap serta serangga lain di alam. 

Kehilangan trenggiling bisa menyebabkan serangga kekuarangan predator dan akan berakibat pada tanaman dan akhirnya juga mengganggu penyerapan emisi karbon.

Irvan Sjafari

Sumber:

https://theethicalist.com/how-wildlife-hunting-and-climate-change-are-linked/

https://www.unodc.org/documents/data-and-analysis/wildlife/2024/Wildlife2024_Final.pdf

https://www.theguardian.com/environment/article/2024/may/13/global-wildlife-crime-untold-harm-un-report-unodc-aoe

https://www.mongabay.co.id/2015/05/06/miris-kakatua-diselundupkan-dalam-botol-plastik/

https://news.detik.com/berita/d-3083431/semua-berawal-dari-tatapan-pilu-kakatua-jambul-kuning-di-dalam-botol-mineral

https://ksdae.menlhk.go.id/info/1919/penangkapan-penyelundupan-trenggiling-oleh-bbksda-riau-bersama-polda-riau.html 

https://www.kompas.com/sains/read/2022/10/06/160200323/kenapa-sisik-trenggiling-diburu-dan-diperdagangkan-di-pasar-gelap-?page=all

https://citesdata.un.org/

Kredit Foto: https://ksdae.menlhk.go.id/info/1919/penangkapan-penyelundupan-trenggiling-oleh-bbksda-riau-bersama-polda-riau.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun