"Kita bisa terus Toh! Siapa tahu sampai jalan tembus ke sisi lain bukit ini!" kata Sonny. "Takut amat luh Mardi, percaya sama tahayu itu!"
Dengan mengucapkan doa sebisaku aku menurut . Suara lutung dan burung makin riuh karena deru motor trail begitu kencang. Â Aku berharap kamera penjaga hutan bisa menangkap. Â Sayang Sonny mengetahui keberadaanya dan merusak kamera itu dengan santainya.
Beberapa buah pinus berjatuhan menimpa Sonny. Rupanya ada lutung  menimpuk. Mungkin mereka terganggu. Â
"Monyet kurang ajar!"
Sonny, Darmawan, Andika dan Berty mengambil pistol  dan senapan yang ada di tas mereka dan membidik ke atas. Empat tembakan bergema dan empat ekor lutung pun jatuh.  Mereka berbulu putih abu-abu dengan ekor panjang.
Seekor lutung lagi jatuh dipangkuanku. Sonny hendak menembaknya.
"Jangan!" teriakku. Aku melindunginya dan kemudian  aku  turun dari motor dan mendorong lutung itu Kembali ke atas pohon.
"Kamu segolongan dengan mereka, yaa! Penakut!" suara Darmawan menggelegar. "Ayo kita terus! Â Akhir pekan kita bisa ajak rombongan kalau trek ini berhasil kita buat!"
Aku melihat bangkai empat ekor lutung itu dengan ketakutan yang tergeletak di tanah.
Kami melanjutkan perjalanan  menempuh bukit yang makin menanjak.  Aku terpaksa memegang erat-erat pinggang  Darmawan karena khawatir jatuh walau memakai helm.  Di balik pepohonan saya melihat seorang gadis berdiri yang rasanya pernah aku lihat.
Aku bersyukur warga tahu keberadaan kami dan aku bisa terbebas dari beban ini.  Jalan mendaki mendekati 60 derajat bahkan lebih. Yang aku rasakan oleng, aku, Darmawan serta motor meluncur jatuh. Begitu juga  tiga motor lainnya.