Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Perlu Revolusi Tidak Menggunakan Kantong Plastik Sekali Pakai

27 Januari 2024   20:20 Diperbarui: 27 Januari 2024   20:26 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu hari akhir 1970-an, saya diajak orangua berkunjung ke Jakarta Fair, ketika  masih di Gambir. Aku merajuk minta ke   stand sebuah produk cokelat kondang hanya untuk minta dibelikan biskuit lapis cokelat yang kemudian menjadi favorit saya .  

Sementara  adik-adikku minta cokelat.  Oleh penjualnya diberi kasih kantong plastik sekali pakai untuk membawa semua pesanan. Itu pertama kali saya kenal produk kemasan dan kantong plastik sekali pakai. Sekalipun penggunaan kantong plastik sudah dikenal di Indonesia awal 1960-an dengan bukti beberapa iklan di surat kabar.

Sebelumnya kalau diajak belanja ke pasar oleh ibu membawa keranjang membeli sayuran, daging, ayam yang dibungkus dengan daun jati atau kertas roti.   Sabun cuci piring seingat saya adalah batangan dan deterjen plastik bungkus besar. 

Sewaktu saya berlibur ke Bandung dan menginap di rumah Kakak Ibu dekade 1970-an,  setiap pagi ada satu botol besar susu hangat mugkin dari Lembang untuk sarapan pagi dan itu lenayp dekade selanjutnya.

Masa itu seingat saya tidak banyak sampah plastik,sachet di lingkunganku sampai awal 1980-an. Namun sejak dekade itu penggunaan plastik makin meluas, saus sambal, kecal, saus tomat yang tadinya botol beling beralih ke botol plastik. Pasalnya dipandang lebih efesien dalam distribusi produk ke pelosok-pelosok.

Cukup menarik, penggunaan kantong plastik sekali pakai, produk plastik, sachet plastik menjadi masif dengan maraknya pasar swalayan dan restoran cepat saji. Pada 1980-an. Sementara di sisi lain penggunaan  daun pisang, daun jati, kertas pembungkus semain berkurang.

Penggunaan kantong plastik sekali pakai dianggap solusi yang praktis dan murah. Ironisnya, penggunaan kantong plastik sekali pakai memang dimaksudkan demi lingkungan untuk menggantikan bungkusan, untuk mencegah penebangan pohon.  Maraknya penggunaan plastik adalah revolusi.

Imbasnya terasa  berapa dekade setelah itu  sampah plastik yang menjadi salah satu masalah lingkungan global.  Pasalnya sampah plastik tidak bisa diuraikan oleh alam.

Studi yang dilakukan Travis P. Wagner (2017) yang dikutip dari Citarum Juara  memperkirakan masyarakat dunia membuang 5 triliun sampah kantong plastik setiap tahunnya. 

Padahal, secara rata-rata, kita hanya menggunakan kantong plastik selama 12 menit sebelum dibuang. Di Indonesia, kantong plastik juga masih jadi barang konsumsi sehari-hari.

Data dari Making Oceans Plastic Free (2017) menyatakan rata-rata ada 182,7 miliar kantong plastik digunakan di Indonesia setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, bobot total sampah kantong plastik di Indonesia mencapai 1.278.900 ton per tahunnya.

Studi dari Jenna R. Jambeck dan kawan-kawan (2015) menyatakan Indonesia sebagai penyumbang terbesar kedua sampah plastik ke laut, setelah China. Setidaknya 16 persen sampah plastik di lautan berasal dari Indonesia.

Menggantikan Kantong Plastik Sekali Pakai dengan Apa?

Untuk menghentikannya juga perlu revolusi. Stop penggunaan kantong plastik sekali pakai dengan regulasi. Namun persoalannya menggantikan plastik dengan apa? 

Masyarakat sudah terbiasa memakai kantong plastik untuk belanja untuk pasar tradisional hingga pasar swalayan modern.  Membawa barang belanjaan lebih praktis dengan bungkus plastik, makanan harus dibungkus plastik, beli buku dibungkus plastik. 

Celakanya, alternatif penggantinya sudah terlanjur langka, dengan berkurangnya lahan untuk jati, pisang untuk bungkus daun, apalagi kertas. Selain itu plastik melindungi barang dari hujan deras dan polusi yang belum menjadi masalah di era sebelum plastik marak.

Begitu juga dengan sachet yang memang praktis untuk minuman serbuk kopi hingga bubuk minuman yang bisa dibeli satuan di warung-warung rokok dengan harga terjangkau oleh sebagian besar rakyat Indonesia.  

Okelah, itu memang menjadi tanggungjawab otoritas dan produsen. Bukankah mereka punya riset dan pengembangan?   Bukankah pemerintah bisa menerbitkan  regulasi  agar Indonesia bebas plastik sekali pakai hingga melarang produsen mengeluarkan produk sachetan.  Bahwa penggantinya apa, ya, mereka yang pikirkan.  Itu kan tugas pemerintah.

Lalu  Aku  balik ditanya apa aku bisa lakukan. Nggak masalah aku ke mana-mana bawa kantong belanja sendiri, sudah aku lakukan kok!  Aku juga bawa tkotak empat bekal makan sendiri, jika ingin makan tinggal cuci lalu minta pedagangnya isi makanan saya pesan  ke  kotak itu.

Aku membawa tumbler sendiri buat minum, jadi tidak perlu membawa botol mineral.  Saya kira  sudah banyak orang melakukan hal ini, terutama dari generasi milenial.   

Hasilnya? Mengurangi iya, tetapi  menyelesaikan nggak. Tetap saja kantong plastik sekali pakai masih banyak digunakan.  

Kalau di rumah saya, hanya saya melakukan sendiri. Yang lain merasa tidak pakai kantong plastik, jorok. Saya khawatir di luar sana, yang punya kesadaran itu individu-individu yang ada di lingkungan yang tidak mendukung.

Penggunaan kantong plastik sekali pakai selesai jika satu lingkungan kalau perlu satu negara tidak menggunakannya dan ada alternatif penggantinya.  

Ada alternatif lain yang populer sebagai bio plastik ramah lingkungan yang dibuat dari tumbuhan-tumbuhan seperti jagung, singkong atau tebu yang diklaim hancursaat terkena oksigen.

Namun Aliansi Zero Waste membantah klaim itu. Plastik jenis ini gagal menyelesaikan krisis sampah plastik dan tetap mengancam kelestarian lingkungan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Imogen Napper dan Richard Thompson di University of Plymouth, Inggris, bioplastik tidak terurai setelah tiga tahun dibiarkan di alam bahkan masih utuh seperti sedia kala.

Napper dan Thompson meletakkan empat jenis plastik (compostable, biodegradable, oxo-degradable, dan plastik polythene konvensional) pada tiga kondisi: dikubur di tanah, dibiarkan di udara terbuka, dan ditenggelamkan di laut.

Semua plastik masih utuh seperti sedia kala dalam jangka waktu tiga tahun setelah pertama kali penelitian dilakukan, demikian diungkapkan Aliansi Zero Waste. 

Saya sendiri punya masalah pecandu kopi mix sachetan. Ini pernah saya tanyakan pada seorang aktiis lingkungan  apakah harus ke mana-mana bawa satu termos air panas dan botol kopi dan botol krim plus gelas?

Wow, keren kalau bisa, harus bawa tas ransel agak besar, sekalipun saya  berprofesi orang lapangan yang harus lari kesana kemari.  Oke, aku bisa lakukan kok. Ya, sedikit masalah mengangkut, tetapi tak apa.

Jadi dalam tas saya, ada kotak bekal makanan, tumbler, satu botol bubuk kopi hitam, satu botol bubuk krim dan termos kecil plus gelas.  Asyik juga sih, bagi yang nggak bisa pulang  setiap hari  karena harus di lapangan.  

Namun aktivis itu menjawab, lah, produsennya dong harus kasih solusi buat produk sachet ramah lingkungan, bukan konsumen yang harus cari solusi!

Kemudian ada pemilahan sampah dan plastiknya di daur ulang. Beberapa produsen sudah membuat produknya dengan plastik daur ulang. 

Penggunaan Sampah Plasik Jadi Produk 

Kemudian ada sejumlah pihak yang membuat produk bata, conblok, bahkan mebel dengan menggunakan kantong plastik sekali pakai, ada wirausaha menggunakan plastik sekali pakai dibuat tas. 

Namun ada kritik lagi, apakah bahan ini aman jika terbakar terutama untuk bahan bangunan dan mebel?

Pada 2000-an, sewaktu kerja di Info Kelapa Gading, kami melakukan liputan ke SMAN 13, di mana ada seorang guru mendorong murid-muridnya membuat kerajinan membuat jas hujan dari sachet bekas kopi, deterjen atau apalah. Itu bisa ditiru.  Sepertinya jas hujan ini tidak bakal tembus air, karena produsen merancang sachet ini kuat.

Pertanyaan berikutnya  sampai seberapa besar orang-orang seperti ini mampu mereduksi sampah plastik?  Ongkosnya juga besar dan produksi massalnya butuh banyak tenaga dan biayanya bagaimana? Walau jas hujan  dengan bahan sachet ini bisa dijual?

Kalau pun ini jalan, apakah bisa mengimbangi pertambahan sampah plastik?

Pemilahan sampah organik dan sampah plastik itu sudah  saya lakukan.  Sekalipun di rumah sendiri. Saya makan tanpa sisa kok. Botol plastik saya kumpulkan saya kasih pemulung karena di dekat rumah tidak ada bank sampah. Sampah sachet tidak diterima pemulung dan itu masalah.

Produk Isi Ulang dan Kembali ke Era Sebelum Plastik Marak 

Solusinya refill atau isi ulang mungkin bisa jadi solusi kalau diterapkan. Jadi pergi ke pasar swalayan untuk beli isi ulang produk seperti  sampo , deterjen, sabun cair, kecap, sambal saus, minyak goreng dan sebagainya.  Ini perisis seperti galon air isi ulang.  Mau nggak produsen dan pasar swalayan membuat desain terkait isi ulang ini?  

Pertanyaan produsen saya kira cuma satu: berapa biayanya kalau menyediakan isi ulang di banyak titik. Dari pasar swalayan, tempatnya bagaimana? Kalau lima produk saja isi ulang berapa spot yang dibutuhkan di ruang yang terbatas.

Solusi lain balik semua ke era sebelum ada plastik. Kecap botol beling, sambal saus botol beling, deterjen di kotak kardus, sabun cair botol beling dan botol beling ini lebih mudah dipakai lagi oleh produsen. Risikonya ya mudah pecah dibanding plastik.

Bagi Aku sih tidak masalah.  Toh orang-orang yang hidup di zaman dahulu hingga awal 1970-an nyaman-nyaman saja hidup tanpa kantong plastik sekali pakai. Pertanyaannya, masyarakat pada mau nggak melakukan revolusi anti plastik seperti halnya plastik mendorong revolusi gaya hidup?

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun