Debat Cawapres pada Minggu 21 Januari 2024 Â bertema Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, serta Masyarakat Adat dan Desa adalah tema yang saya tunggu dan juga kemungkinan ditunggu kawan-kawan yang konsen pada lingkungan hidup.
Saya sepakat dengan mahasiswa Universitas PGRI Adhibuana (Unipa) Surabaya melakukan rembug lingkungan di Kantor Ecoton di Desa Wringinanom Gresik, Jawa Timur pada 20 Januari 2024  bahwa pemimpin Indonesia mendatang mempunyai terobosan untuk  menggantikan bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang tidak menimbulkan emisi karbon atau bahasa lain energi terbarukan.
Emisi Karbon Sudah Gawat
Layanan Perubahan Iklim Copernicus di Pusat Prakiraan Cuaca Jangka Menengah Eropa menyebutkan tahun 2023 secara resmi merupakan tahun terpanas. Para peneliti mengatakan bahwa 2024 bisa menjadi lebih buruk lagi.
Wakil direktur Layanan Perubahan Iklim Copernicus Samantha Burgess menyampaikan suhu global pada Januari 2024, khususnya di lautan, jauh di atas rata-rata sepanjang tahun.
Pola cuaca El Nio yang sedang berlangsung -- di mana air hangat mengalir ke Samudera Pasifik tropis bagian timur -- juga memasuki tahun kedua, saat dimana hal ini biasanya meningkatkan pemanasan global.
"Faktor-faktor ini dan lainnya menunjukkan bahwa pada  2024 kita akan mengalami dampak cuaca dan iklim yang lebih ekstrem dibandingkan tahun 2023, karena manusia terus melepaskan gas rumah kaca yang memerangkap panas ke atmosfer," ujar Burgess seperti dikutip Nature .
Suhu permukaan rata-rata global pada  2023 adalah 1,34--1,54 C di atas rata-rata pada tahun 1850--1900 -- periode 'pra-industri' sebelum aktivitas manusia mencapai puncaknya.
Kantor Met, layanan cuaca nasional Inggris yang berbasis di Exeter, memperkirakan bahwa, pada 2024, ada kemungkinan besar suhu permukaan rata-rata global akan melewati angka 1,5 C.
Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kondisi ekstrem pada  2023, kata Burgess. Salah satu di antaranya  gas rumah kaca yang dilepaskan manusia ke atmosfer.Â
"Pada 2023 terdapat emisi tertinggi sepanjang masa yaitu 36,8 miliar ton karbon dioksida dari bahan bakar fosil , serta lautan yang sangat hangat," imbuh Burgess.
Apa yang diungkapkan Copernicus juga diungkapkan oleh lembaga antariks aAmerika Serikat NASA.  Lembaga itu menyatakan suhu rata-rata permukaan bumi pada  2023 adalah yang terpanas yang pernah tercatat, menurut analisis NASA. Suhu global tahun lalu berada sekitar 1,2  derajat Celcius.
ilmuwan dari Goddard Institute for Space Studies (GISS) NASA di New York menyatakan miliaran orang di seluruh dunia tahun lalu  sedang menghadapi krisis iklim.
 "Dari panas ekstrem, kebakaran hutan, hingga naiknya permukaan air laut, kita bisa melihat bumi kita sedang berubah," kata Administrator NASA Bill Nelson seperti dikutip dari situs NASA.Â
Pada 2023, ratusan juta orang di seluruh dunia mengalami panas ekstrem, dan setiap bulan dari bulan Juni hingga Desember mencatat rekor global untuk bulan tersebut.
Apa gagasan para cawapres ini mngatasi masalah emisi karbon? Karena pemanasan global bukan saja sekadar kenaikan suhu tetapi berdampak pada naiknya permukaan laut, mengganggu perikanan dan masyarakat pantai, pertanian dan ekonomi masyarakat bawah. Â Dampaknya berantai bahkan kesehatan.
Penggunaan Plastik Sekali Pakai
Kembali ke mahasiswa Unipa.  Bersama Aeshnina Azzahra Aqilani, siswi SMA Muhamadyah 10 Gresik, para mahasiswa ini bergabung bersama 900 orang lainnya menyurati  tiga Capres 2024 yang intinya agar para pemimpin memperhatikan bahwa lingkungan hidup menjadi perhatian, pasalnya dampaknya akan menimpa generasi Z atau milenial pada masa mendatang.  Baca: Aeshnina Surati 3 Capres Minta Indonesia Bebas Plastik Sekali Pakai. Â
Selain soal terobosan untuk menggantikan bahan bakar fosil dengan energi terbarukan, mereka juga meminta agar penggunaan plastik sekali pakai dihentikan di seluruh Indonesia.Â
Saya juga sependapat, karena selama ini pelarangan penggunaan kantong plastik baru dilakukan sejumlah daerah.Â
Itu artinya pemimpin yang mendatang harus punya gagasan bagaimana menggantikan penggunaan plastik sekali pakai yang sudah terlanjur menjadi kebutuhan karena sudah berlangsung puluhan tahun.Â
Setahu saya penggunaan kantong plastik sekali pakai di Indonesia dimulai sejak 1960-an. Bahkan hingga 1970-an penggunaan kantong plastik setidaknya untuk para ibu yang belanja di pasar tradisional belum terlalu populer.
Sewaktu kecil saya kerap menemani ibu berbelaja di pasar tradisional membawa keranjang dan pulang membawa banyak bungkusan kertas atau daun. Baca: Sampah Plastik, Antara Regulasi, Gaya Hidup dan Kreativitas.Â
Produksi sampah plastik di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Â Pada 2022, total sampah plastik mencapai 12,54 juta ton.
Pertengahan 2023 lalu Direktur Pengelolaan Sampah, Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar menyampaikan perlu gerakan massif dan jika perlu revolusi budaya yakni gaya hidup minim sampah termasuk sampah plastik dalam sebuah seminar di FTUI.  Baca: Koridor dan KompasÂ
"Masyarakat seharusnya mengambil langkah tegas dengan tidak membeli produk-produk dari produsen yang tak punya komitmen tersebut!" seru Novrizal Tahar
Peneliti BRIN yang juga dosen Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) UI, Sri Wahyono, menyampaikan produk plastik meningkat tajam dalam beberapa dekade ini.
Ironisnya, dahulu plastik diciptakan untuk mengatasi masalah lingkungan yaitu mengurangi penebangan pohon, sekaligus untuk memudahkan kehidupan manusia. Namun setelah berapa dekade malah punya dampak lebih buruk pada lingkungan.
Pertanyaannya, apakah ada gagasan untuk menggantikan kantong sampah plastik sekali pakai yang tidak ramah lingkungan ini?Â
Apakah pemimpin mendtang membuat kebijakan mendorong inovasi mengganti penggunaan  plastik sekali pakai, berikut regulasi agar Indonesia dari penggunaan sampah plastik sekali pakai?
Soal ketiga ialah bagaimana menghentikan laju deforestasi. Â Sebagian hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatera berubah menjadi kebun sawit.Â
Earth.Org mengungkapkan meskipun luas tutupan hutan asli Indonesia tidak dapat dihitung secara pasti, negara ini hampir seluruhnya masih diselimuti lautan hijau pada awal abad yang lalu.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Indonesia pada 1950, diketahui bahwa tutupan hutan (termasuk hutan primer dan sekunder, serta perkebunan) mencakup 84% luas daratan, atau lebih dari 162 juta hektar.
Pada 1999, upaya kedua dalam melakukan inventarisasi hutan, sebuah perusahaan patungan antara pemerintah Indonesia dan Bank Dunia, mengkatalogkan kawasan hutan seluas 100 juta hektar.
Dimasukkannya perkebunan dalam angka-angka ini memerlukan diskusi mengenai konseptualisasi hutan di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memilah kawasan hutan nasional berdasarkan fungsinya menjadi hutan konservasi, lindung, dan produksi.
Kategori-kategori ini merupakan "perbedaan hukum" penggunaan lahan, dan belum tentu merupakan ukuran tutupan lahan. Lahan yang diperuntukkan untuk tujuan lain, di luar kawasan hutan, boleh mempunyai tutupan hutan, dan kawasan hutan itu sendiri boleh tanpa pepohonan.
Dari 23 tipe tutupan lahan dalam sistem klasifikasi KLHK, tujuh diantaranya termasuk dalam kategori hutan. Enam di antaranya merupakan hutan alam (primer dan sekunder), sedangkan yang terakhir adalah perkebunan, yang sebagian besar bergerak dalam produksi kertas dan pulp.
Menurut Global Forest Watch sejak 2001 hingga 2022, Indonesia kehilangan 29.4 Mha (juta hektar) tutupan pohon, setara dengan penurunan 18% tutupan pohon sejak 2000, dan setara dengan 21.1 Gt emisi COe. Â
Sebuah studi pada 2019 mengidentifikasi perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab atas 23% (proporsi terbesar) deforestasi di Indonesia antara 2001 dan 2016.
Hal ini tidak mengherankan mengingat minyak kelapa sawit adalah salah satu ekspor negara yang paling menguntungkan, memberikan kontribusi miliaran dolar bagi perekonomian negara dari pendapatan ekspor tahunan.
Pada 2019, lebih dari 3 juta hektar kawasan hutan dialokasikan untuk produksi kelapa sawit, yang merupakan pelanggaran berat terhadap undang-undang kehutanan nasional.
Meskipun perkebunan secara legal dapat beroperasi di hutan produksi, perkebunan juga melintasi hutan konservasi dan hutan lindung, yang secara jelas melarang kegiatan ekonomi tersebut.
Indonesia memiliki hutan hujan terluas ketiga. Â Sayangnya penggundulan hutan dan kebakaran yang diakibatkannya telah memungkinkan Indonesia menjadi salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.
Kebakaran yang terjadi pada 2019 merupakan kebakaran yang sangat merusak karena melepaskan 708 juta ton karbon dioksida. Jumlah ini  dua kali lipat jumlah yang dihasilkan oleh kebakaran di Amazon pada tahun itu.  Sebagian besar penyebabnya adalah pembakaran lahan gambut.
Empat  wilayah teratas di Indonesia  bertanggung jawab atas 51% dari semua kehilangan tutupan pohon antara tahun 2001 dan 2022. Riau mengalami kehilangan tutupan pohon paling banyak sebesar 4.09 juta hektar  dibandingkan dengan rata-rata sebesar 892 ribu hektar.
Padahal hutan  bukan saja berfungsi menyerap emisi karbon, tetapi habitat bagi satwa langka yang dlindungi seperti harimau, orangutan, gajah dan lain sebagainya. Bukan tidak mungkin konflik antara hewan-hewan dengan disebabkan karena berkurangnya wilayah habitat mereka.
Memang bukan hal mudah karena sawit di sisi lain adalah komoditi yang menggiurkan secara ekonomi. Namun apakah sawit juga bermanfaat secara ekonomi bagi masyarakat di daerah itu?
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indonesia memproduksi kelapa sawit sebanyak 45,58 juta ton pada  2022. Jumlah tersebut meningkat 1,02% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai 45,12 juta ton.
Produksi kelapa sawit Indonesia menunjukkan tren meningkat. Rekor produksi terbanyak dalam satu dekade terakhir mencapai 47,12 juta ton pada  2019.
Provinsi yang paling banyak memproduksi kelapa sawit adalah Riau yang mencapai 8,97 juta ton pada tahun lalu.
Kalimantan Tengah menyusul di urutan kedua dengan produksi sebanyak 7,04 juta ton. Lalu, Sumatera Utara memproduksi kelapa sawit sebanyak 5,99 juta ton pada 2022.
Jadi bagaimana nih, gagasan pemimpin yang mendatang menyelesaikan masalah ini? Â Apakah perlu moratorium perkebunan sawit dan kemudian mencari komoditas lain untuk menjadi andalan ekonomi Indonesia yang tidak merusak lingkungan?
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H