Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Rumah Berkelanjutan Butuh Ikhtiar dan Upaya Keras

11 November 2023   12:08 Diperbarui: 11 November 2023   12:31 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.medcom.id/gaya/interior/wkBXdWxN-4-langkah-mudah-menerapkan-rumah-berkelanjutan

Tidak mudah menjadi manusia yang ramah lingkungan dan hemat energi.  Sampai saat ini saya hanya bisa untuk berupaya makan tanpa sisa sejak berapa tahun terakhir. Kalau di rumah maupun jajan, saya ambil makanan di rumah, di kantor atau di acara selalu ambil sedikit.  Kalau kurang baru menambah lagi. Tidak peduli mata melihat dan berkomentar ini anak rakus sekali.

Saya miris melihat kelakuan orang-orang kalau datang menghadiri  sebuah event  atau pesta kalau mengambil  makanan ambil porsi dengan banyak lauk, tetapi akhirnya piringnya tersisa banyak makanan. Nah, yang datang belakangan tidak kebagian makanan yang layak. Selain itu mereka lupa di luar sana masih banyak yang kelaparan.

Sementara kalau makan di warung, rumah makan kaki lima saya pesan pada penjualnya untuk mengurangi porsinya agar saya habis, walau harus membayar sama dengan porsi standarnya. Kalau masih lapar, saya tambah camilan.  Begitu juga kalau sedang bertamu ditawari makan dengan porsi besar, saya minta dikurangi. 

Saya paham bahwa kalau sampah makanan bisa menjadi gas metana di TPA yang akhirnya bisa menjadi "bom waktu" yang berbahaya kalau menumpuk.  Alhamdullilah, orang-orang yang tinggal serumah dengan saya rata-rata habis hingga untuk sampah organik  kecil.

Bagaimana dengan sampah anorganik? Kecuali botol air mineral untuk dibawa bisa diganti tumbler. Tetapi untuk di rumah tetap harus beli karena keterbatasan air galon untuk jatah orang rumah. Lalu sisa botol plastik diberikan pemulung, untuk sampah jenis ini tidak sampai saya berikan ke tukang sampah.  

Kalau kantong kresek untuk di rumah bisa dikurangi dengan membawa kantong sendiri berbelanja, walau tidak untuk semua produk, seperti makanan.  Pasalnya udara yang kotor membuat ibu di rumah lebih merasa nyaman kalau makanan dibungkus plastik. Kalau saya berpergian membawa  punya tas belanja sendiri.  Tidak jadi soal bagi saya sendiri. 

Satu-satunya masalah saya untuk jenis sampah ini ialah sachet kopi campur instan yang saya kecanduan dan bisa habis 4-5 bungkus. Saya tidak punya solusi karena produsen juga tidak punya solusi dengan produk isi ulang di pasar swalayan. 

Sama halnya dengan deterjen atau sabun cuci piring sulit ditemukan di lingkungan saya yang isi ulang. Mungkin tidak ekonomis bagi produsen. Hingga bungkusnya jadi sampah.

Padahal kalau dijumlahkan total dari seluruh warga di sebuah lingkungan  berpotensi jadi sampah plastik yang entah mengapa ada di sungai dan menjadi mikroplastik.  Tetapi itu tanggungjawabnya banyak pihak. Memangnya otoritas berpikir sampai sejauh ini untuk membuat kebijakan menekan produsen?

Sampah residu seperti popok yang dipakai ibu saya yang rentah, ya memang tidak bisa dihindari apa boleh buat. Yang juga sulit baterai atau limbah elektronik yang pernah saya tulis.  

Hemat Listrik dan Energi Terbarukan

Itu baru sampah bagaimana dengan energi? Ya, kalau untuk laptop dan ponsel harus discharge tidak bisa dihindari. Lampu kalau berpergian bisa dimatikan. Kalau di kantor juga begitu, kalau keluar ruangan dalam waktu lama AC dimatikan dan lampu dimatikan.  Tidak ada masalah. Di rumah kami bayar listrik wajar saja.

Saya heran di kok bisa sampai  ada polemik di media massa terkait Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Walaupun teknologi ini mahal ke depannya bisa mengurangi ketergantungan terhadap energi listrik dari bakar fosil dari PLN. Bahkan secara logika bukan hanya rumah, tetapi juga komunitas bisa bersama menggunakannya. 

Menurut Survei Greenpeace Indonesia pada 2020 lebih dari 80% warga Jakarta ingin memasang panel surya di rumahnya. Dengan tingginya keinginan masyarakat yang ingin memasang panel surya, harusnya bisa menjadi landasan bagi pemerintah agar membuat payung hukum yang lebih serius untuk mendukung penerapan energi terbarukan di masyarakat. 

Yang terjadi malah Revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 26/ 2021 yang mengatur tentang pemasangan surya atap. Revisi tersebut mengakomodir memo internal PLN yang membatasi kapasitas pemasangan surya atap hanya 10-15% dari kapasitas terpasang.

Solusi energi berbasis komunitas dilakukan ilmuwan Tri Mumpuni dengan pembangkit listrik  tenaga air. Tri memanfaatkan potensi energi air yang terdapat desa untuk menggerakkan turbin, yang kemudian menghasilkan listrik. 

Meskipun penggunaan listrik dengan energi air yang secara prinsip bisa dilakukan suatu masyarakat akan menghadapi masalah bila terjadi kemarau panjang ekstrem seperti saat ini, apalagi kalau sungai sampai mengering.

Penghematan dan Konservasi Air

Kalau pemakaian air untuk mandi setiap orang punya standar sendiri. Kalau saya ketika di rumah lebih hemat biasanya tidak sampai satu ember. Lain ceritanya kalau seharian di luar, mandi lebih banyak dengan antiseptic pula karena ada masalah lain seperti kuman, bakteri dan virus.

Saya kapok waktu terkena Covid-19 pada 2022, menulari ibu karena tidak memperhatikan bahwa harus segera mandi dengan layak. Kemungkinan kena di luar, karena pekerjaan saya mengharuskan bersentuhan dengan banyak orang. Saya lalai soal vaksin. Jangan lupa ada kuman  lain yang bisa dibawa ke rumah. Jadi ada masalah lain yaitu kontaminasi dan juga polusi. Tinggal di kota lebih kompleks masalahnya.

Hemat air itu paling sulit.  Karena satu orang butuh dua liter air untuk minum saja.  Belum lagi untuk mandi dan cuci kakus.  Pemakaian air dari hujan yang ditampung dan kemudian disaring bisa mengurangi konsumsi air tanah, tetapi menurut saya hanya untuk menyiram tanaman atau menyiram kakus.  Sayang hal itu sulit dilakukan untuk diterapkan di rumah, secara teori bisa.

Saya pernah wawancara seorang warga Kelapa Gading yang di bawah rumahnya ada penampungan air hujan yang digunakan untuk keperluan tertentu, tetapi halaman rumahnya luas dan dia punya uang lebih untuk teknologi pertukaran air yang untuk mandi, mencuci baju dan  minum hingga air daur ulang untuk menyiram tanaman, mengepel lantai, menyiram kloset  hingga mencuci mobil.

Secara prinsip ada tiga komponen dasar yang harus ada dalam sistem pemanenan air hujan yaitu: catchment, yaitu penangkap air hujan berupa permukaan atap, delivery system, yaitu sistem penyaluran air hujan dari atap ke tempat penampungan melalui talang; dan storage reservoir, yaitu tempat penyimpan air hujan berupa tong, bak atau kolam.

Hal yang harus diperhatikan dalam memanen air hujan ialah mencegah berkambang biaknya serangga. Tong penampung air ditutup rapat untuk menghindari masuknya serangga seperti nyamuk.

Ada beberapa metode perlakuan sederhana dalam pemakaian air hujan, antara lain: merebus air akan mematikan bakteri, menambahkan chlorine (35ml sodium hypochlorite per 1.000 liter air) akan mendisinfeksi air, filtrasi pasir (biosand) akan menghilangkan organisme berbahaya.

Rumah dengan Konsep Keberlanjutan

Memang butuh biaya ekstra kalau membuat rumah hemat energi, sekaligus air dan pilah sampah.   Jika penghuni rumah itu memasang atap PLTS, melakukan perilaku memakai energi seperlunya, lalu melakukan konservasi air dengan menampung air hujan hingga menghemat air tanah, memakai air seperlunya, kemudian pilah sampah organik, nonorganik hingga residu?

Di halamannya pun ada tanaman semacam urban farming dengan pupuk organik dibuat sendiri. Komplit sudah keberlanjutan. Meskipun awalnya butuh biaya besar dan itu sebabnya isu keberlanjutan hingga saat ini masih menjadi milik kalangan menengah dan untuk kalangan bawah tidak akan  mudah melaksanakannya. 

Secara keseluruhan mengurangi sampah, menghemat energi dan air  enak dibicarakan, tetapi sulit dilaksanakan.  Perilaku itu butuh upaya dan ikhtiar dari satu orang atau keluarganya. Memang  tidak akan berhasil seratus persen melaksanakan keberlanjutan karena masih ada faktor kemampuan ekonomi dan dukungan regulasi dari otoritas.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun