Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tepatkah Impor Beras Jadi Jawaban Ancaman El Nino bagi Pertanian?

18 Oktober 2023   19:39 Diperbarui: 19 Oktober 2023   13:31 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi beras impor. Sumber: Dok. Perum Bulog via Kompas.com

Volume Impor Besar, Biaya Besar

Jika jumlah 3,5  juta ton terealisasi hingga akhir desember 2023, makan pemerintahan Jokowi sedang mencetak rekor tertinggi importasi beras sejak periode  awal pemerintahannya, melampaui volume impor pada  2018 sebesar 2,252 juta ton.

Bahkan jumlah ini mengungguli volume impor pada masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono  pada 2011 sebesar 2,7 juta ton.

Pada sisi  lain kebijakan ini menelan akan biaya besar jika terealisasi.  Dengan acuan harga saat penugasan impor di akhir  Desember 2022 sebesar Rp8.800/kg, maka nilai impor 3,5 juta ton akan membutuhkan total biaya sebesar Rp30,800 triliun.

Bina Desa dan JAPPA juga mengingatkan impor beras ini mengingkari tekad  Presiden Joko Widodo sendiri sejak periode pertama pemerintahannya  untuk memutus ketergantungan pangan dari negara-negara lain.  Pemerintah bertekad  swasembada setidaknya untuk tiga komoditas utama, yakni padi, jagung dan kedelai (Pajale).

Jalan ke arah swasembada pada praktiknya tidak mudah.  Program Upsus (Upaya Khusus) Pajale yang ditarget dapat dicapai dalam rentang tiga tahun di periode awal kepemimpinannya antara 2014-2019 terbukti tidak meninggalkan jejak.  Impor ketiga  komoditas tersebut masih terus berlangsung, bahkan cenderung meningkat hingga sekarang.

Laporan tersebut menyampaikan pada level hulu ragam kebijakan infrastruktur sektor pertanian serta proyek strategis nasional seperti food estate  dengan mengundang  investasi korporasi pertanian dan melibatkan intervensi oleh kementerian pertahanan, terbukti tidak mampu berbuat banyak untuk menyumbang pertumbuhan dan pengelolaan pertanian dan pangan secara lebih baik.

Perlu Keberadaan Data Tunggal

Parameter lain yang harus diperhatikan melakukan impor beras adalah belum tersedianya data tunggal yang dapat dijadikan rujukan utama oleh negara.  Data tunggal yang belum tersedia meliputi  jumlah produksi dan konsumsi beras dan pangan lain yang bersifat final dan terbarui untuk seluruh wilayah di Indonesia.

Jadi meski telah berulang kali melakukan impor, namun sebagian besar angka impor tersebut cenderung didasarkan pada data perkiraan, yang acap kali berbeda dan tumpang tindih antara data yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik, Kementerian  Pertanian, Kementerian Perdagangan dan lain-lain.

Padahal di saat yang sama gelontoran produk impor dapat dengan cepat mempengaruhi proses pembentukan harga di tingkat pasar.  Selanjutnya dapat berujung pada jatuhnya harga gabah di tingkat petani. Jika sudah demikian maka petanilah yang akan menjadi pihak paling dirugikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun