Volume Impor Besar, Biaya Besar
Jika jumlah 3,5  juta ton terealisasi hingga akhir desember 2023, makan pemerintahan Jokowi sedang mencetak rekor tertinggi importasi beras sejak periode  awal pemerintahannya, melampaui volume impor pada  2018 sebesar 2,252 juta ton.
Bahkan jumlah ini mengungguli volume impor pada masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono  pada 2011 sebesar 2,7 juta ton.
Pada sisi  lain kebijakan ini menelan akan biaya besar jika terealisasi.  Dengan acuan harga saat penugasan impor di akhir  Desember 2022 sebesar Rp8.800/kg, maka nilai impor 3,5 juta ton akan membutuhkan total biaya sebesar Rp30,800 triliun.
Bina Desa dan JAPPA juga mengingatkan impor beras ini mengingkari tekad  Presiden Joko Widodo sendiri sejak periode pertama pemerintahannya  untuk memutus ketergantungan pangan dari negara-negara lain.  Pemerintah bertekad  swasembada setidaknya untuk tiga komoditas utama, yakni padi, jagung dan kedelai (Pajale).
Jalan ke arah swasembada pada praktiknya tidak mudah.  Program Upsus (Upaya Khusus) Pajale yang ditarget dapat dicapai dalam rentang tiga tahun di periode awal kepemimpinannya antara 2014-2019 terbukti tidak meninggalkan jejak.  Impor ketiga  komoditas tersebut masih terus berlangsung, bahkan cenderung meningkat hingga sekarang.
Laporan tersebut menyampaikan pada level hulu ragam kebijakan infrastruktur sektor pertanian serta proyek strategis nasional seperti food estate  dengan mengundang  investasi korporasi pertanian dan melibatkan intervensi oleh kementerian pertahanan, terbukti tidak mampu berbuat banyak untuk menyumbang pertumbuhan dan pengelolaan pertanian dan pangan secara lebih baik.
Perlu Keberadaan Data Tunggal
Parameter lain yang harus diperhatikan melakukan impor beras adalah belum tersedianya data tunggal yang dapat dijadikan rujukan utama oleh negara.  Data tunggal yang belum tersedia meliputi  jumlah produksi dan konsumsi beras dan pangan lain yang bersifat final dan terbarui untuk seluruh wilayah di Indonesia.
Jadi meski telah berulang kali melakukan impor, namun sebagian besar angka impor tersebut cenderung didasarkan pada data perkiraan, yang acap kali berbeda dan tumpang tindih antara data yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik, Kementerian  Pertanian, Kementerian Perdagangan dan lain-lain.
Padahal di saat yang sama gelontoran produk impor dapat dengan cepat mempengaruhi proses pembentukan harga di tingkat pasar. Â Selanjutnya dapat berujung pada jatuhnya harga gabah di tingkat petani. Jika sudah demikian maka petanilah yang akan menjadi pihak paling dirugikan.